Sova tak menyahut apapun. Pikirannya sibuk sendiri tentang apa yang biasanya diminta oleh pengantin baru. “Sova!” panggil Roy lagi karena tak mendapatkan respon apapun dari Sova. “Eh. Iya.” Sova menjawab panggilan Roy, namun tak juga menoleh ke arahnya. “Kita sudah menikah. Oleh sebab itu, kamu menjadi tanggung jawabku. Aku akan bekerja untuk membiayai hidupmu, juga pengobatan Ayahmu. Tapi maaf, semua hanya sesuai kemampuan Akang sebagai... “ Roy ragu untuk mengatakannya kepada Sova. Sova pun menoleh ke arah Roy, menunggu lanjutan dari ucapan Roy. “Sebagai ojol. Apa kamu mau menerima pekerjaan Akang? Juga, penghasilan Akang yang mungkin tak menentu.” Roy mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Di dalam hatinya, Ia tak tega untuk membohongi Sova. Namun, Ia harus benar-benar yakin bahwa Sova adalah orang yang tepat, yang Ia pilih. “Terimakasih banyak karena Akang mau bertanggungjawab sama Aku dan Ayah. Tapi, bagaimana dengan permintaan Sova yang kemarin dikirimkan via wa mb
“Akang berangkat dulu ya! Ini kunci rumah kontrakan di kontrakan bu Halim, kamar ke tiga. Nanti, Sari bakalan datang buat jagain Ayah. Kamu jangan dulu sekolah hari ini, biar fit dulu. Akang udah izinkan ke bu Halimah,” ucap Roy yang kemudian berlalu pergi. “Akang!” Sova memanggil Roy, menghampirinya dan menadahkan tangannya. Roy terhenyak. Ia memang salah karena lupa memberi Sova bekal, tapi Ia pun tak mengira jika Sova langsung berani meminta kepadanya. Roy mengeluarkan uang seratus ribu dari saku jaket ojol yang Ia kenakan, hasil meminjam dari orang suruhannya. “Ini, buat hari ini ya!” ucap Roy seraya menyerahkan uang itu di atas telapak tangan Sova yang masih menadah. “Makasih banyak ya, Kang. Tapi, Aku minta tangan Akang buat salam, bukan minta uang,” ucap Sova yang langsung saja menyalaminya. “Ooohhh... “ sahut Roy yang kini mulai tersenyum lagi. Ada hangat yang menjalari relung hatinya tatkala tahu bahwa Ia hanya salah paham dengan Sova. Ternyata, pikirannya salah. Ta
“Rahasia apa, Yah?” tanya Sova yang langsung berdiri di dekat pak Harun, demi memperjelas pendengarannya. “A... ap. Huhuhuhuhu... “ tangis pak Harun malah pecah saat mengatakan permintaan maafnya. “Ayah minta maaf kenapa? Rahasia apa Yah?” tanya Sova semakin penasaran. Bukannya berusaha mengatakan sesuatu lagi, pak Harun malah semakin terisak dan jatuh ke dalam tangisan pilu. Sova tak bisa berbuat banyak, apalagi jika Ia harus menekan sang Ayah untuk bicara. Ia malah khawatir jika kondisi pak Harun akan semakin memburuk. Bukankah dokter sudah memperingatkan dirinya agar membuat seorang penderita stroke tidak memiliki beban pikiran. Ya, diagnosa pak Harun saat ini sudah jelas, lelaki yang berstatus Ayah-nya tersebut terkena stroke, bahkan hampir keseluruhan badan bagian pentingnya. Semua itu terjadi karena keterlambatan dalam penanganan. Sova hanya mengingat bahwa awalnya pak Harun hanya tak bisa menggerakkan anggota badan sebelah kanan saja, namun lama kelamaan, ke
Sepanjang mereka berjalan, Sova tak dapat berpikir dengan jernih. Bahkan, sampai dia kali, kakinya terantuk sesuatu sehingga membuatnya hampir terjatuh. Dengan cekatan, Roy selalu menggagalkan tragedi jatuhnya Sova. Hanya saja, tak seromantis di film-film. Sesampainya di kontrakan, Sova segera membuka pintu rumah dengan kunci yang Ia selipkan di saku bajunya. “Ada kamar mandi kan?” tanya Roy yang sudah tak tahan ingin membuang hajatnya. Sesuatu hal yang sering Roy lakukan ketika dia sedang dalam kondisi tertekan, atau terlalu banyak berpikir. “Loh. Akang bukannya udah lihat dalamnya?” tanya Sova heran. Tapi, tetap saja Ia menjawab pertanyaan Roy. “Ada, kok. Ada kamar mandinya.”Saat pintu terbuka, Roy segera masuk ke dalam rumah kontrakan mereka. Ia langsung berlari ke ujung tembok. “Akang, toiletnya di sana!” tunjuk Sova ke arah pintu lain di ruangan itu. Roy langsung melihat ke arah telunjuk Sova mengarah. Ia pun berlari ke sana. Sova heran
“Apa? Kejutan apa?” tanya Sova seraya mundur sedikit. Ia betul-betul merasa takut dengan Roy. “Ya Tuhan, apa aku berdosa karena tak menginginkan ini?” tanya Sova di dalam hatinya sendiri. “Kamu mau kan...?” “Tunggu! Sebelumnya, kita harus ngobrol dulu! Ada banyak hal yang membuat kita harus saling mengenal. Kita belum saling mengenal, Kang!” tolak Sova dengan tegas. Sova terus mundur sampai dirinya tertentu pintu, bahkan dalam keadaan duduk. “Kamu merem dulu. Kalau Akang udah bilang buat buka mata, baru kamu buka!” ucap Roy. Lelaki itu kini duduk tepat di hadapan Sova. Jika dalam keadaan duduk seperti itu, setidaknya Sova bisa melawan dengan ilmu bela diri yang Ia bisa. “Merem!” pinta Roy lagi. Kali ini, tangan Roy memegang tas ransel yang tadi Ia bawa pulang. “Enggak. Tolong, jangan minta Aku merem. Aku takut gelap!” ungkap Sova sebagai alasan. Padahal, dia hanya ingin tetap berada dalam mode waspada. “Oh.kamu takut gelap? Maaf, Akang enggak tahu.” Nampak penyesalan da
Sova terbangun saat suara adzan subuh berkumandang. Ia merasa ada sesuatu yang asing di atas tubuhnya. “Heh... “Sova melepaskan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia teringat jika semalam tak ada selimut yang Ia pakai. Ia pun terbangun dengan cepat saat ingatannya tertuju pada sosok lelaki yang tidur di ruangan yang sama dengannya. Sova pun segera duduk dan memindai seisi ruangan. Tak ada siapapun. “Kang!” panggilnya sambil terus memindai seisi ruangan. Saat tak mendengar jawaban apapun, Sova langsung memeriksa seluruh tubuhnya. “Lengkap,” ucapnya saat mendapati seluruh tubuhnya masih terbungkus baju yang sama. Ia pun menarik nafas lega karenanya. Sova kembali memindai seisi ruangan. “Kang!” kembali Ia memanggil suaminya, namun tetap tak ada sahutan. Sova pun segera berdiri, mengambil ikat rambut yang Ia simpan di atas lemari plastik, kemudian mengikat rambutnya. Selanjutnya, Ia menuju dapur dan kamar mandi. “Kang, Akang di toilet?” tanya Sova. Lagi-lagi Sova dibuat kelimp
Sova berada di gedung SD yang menaungi sekolah satu atap, tempat di mana sofa mengenyam pendidikan SMA. Biasanya sofa berangkat ke sekolah siang, masuk sekolah setelah anak SD bubar. Namun kali ini, karena persiapan ujian akhir sedang dilakukan, mereka melaksanakan pembelajaran persiapan sekolah di kantor guru SD, pada pagi hari berbarengan dengan waktu sekolah pemilik gedung. Minggu depan, selama pelaksanaan ujian akhir, baik itu praktek maupun ujian tertulis, akan dilaksanakan di SMA yang selama ini menaungi sekolah satu atap Sova. Untung saja, letak SMA itu berada di kota dan tak jauh dari rumah sakit tempat Pak Harun dirawat."Hai!" Suara bariton seseorang menyadarkan lamunan Sova yang sedang mengotak-atik ponsel miliknya."Eh... Hai Rud!" Sahut Sova seraya meletakkan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.Saat ini mereka sedang beristirahat. Sebenarnya, jumlah siswa yang harus mengikuti ujian itu ada sekitar 28 siswa, termasuk Yulia. Namun diantara mereka, jarang yang mas
Sova menyuapi pak Harun yang sudah cukup lahap makan, meskipun masih memakan bubur tim dari rumah sakit. Bahkan, saat ini lelaki tua itu sudah bisa duduk bersender di atas brankar. “Bagus banget mbak Sari, makasih banyak karena sudah menyiapkan segala kebutuhan Ayah dengan sepenuh hati. Lihat, Ayah bisa tersenyum walaupun sedikit!” ucap Sova sambil terkekeh. “Sudah kewajiban saya, Bu!” tolak Sari saat dirinya mendapatkan pujian dari Sova. “Ah, mbak Sari. Jangan panggil Saya Ibu dong! Serasa udah menjadi paling tua sedunia,” protes Sova karena wanita di sampingnya itu, yang tak pernah mau menerima pujian darinya, selalu memanggil dirinya dengan embel-embel Ibu. “Tapi kan, memang... ““Sova. Memang enak kalau kita manggil bu Sova dengan nama saja. Serasa lebih dekat. Betul begitu kan, Sova?” tanya Hari yang sedari tadi sibuk membaca sebuah novel. Lelaki yang menjadi satu dari dua perawat yang menjaga pak Harun itu, bukannya malas dalam bekerja. Justru dia sudah menyelesaikan
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung