“Apa ini?” tanya Hani yang nampak enggan mengambil kertas tersebut.
“Tolong Mbak! Kalau tidak ada persetujuan tentang hal ini, maka Saya tidak bersedia menikah,” tekan Sova dengan mata tajam.Ditatap seperti itu oleh sang calon istri bos nya, membuat nyali Hani menciut. Ia pun segera mengangguk dan mengambil kertas tersebut, memotretnya, lantas mengirimkannya langsung kepada Roy.“Sudah. Bisakah kita mulai berhias?” tanya Hani lagi. Ia tak ingin membuang-buang waktu berdua dengan Sova. Ia khawatir akan ada banyak pertanyaan lain yang tak akan sanggup Ia jawab.“Tunggu jawabannya!” titah Sova tanpa melirik sedikit pun ke arah Hani.Tak menunggu lama, ponsel Hani pun segera berdering. Wanita itu pun segera menggeser gambar telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan dari Roy.“Hallo. Iya.” Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Hani, sebelum akhirnya Ia menyerahkan ponsel itu kepada Sova.Sova yang sudah mengira siapa yang menghubungi Hani, segera meraih ponsel itu sambil menganggukkan kepalanya sebagai pengganti kata Terima kasih kepada Hani.“Hallo!” kata itu yang diucapkan Sova, namun bertalu dengan bunyi genderang perang di dalam batinnya. Bagaimana pun, bisa saja Ia berbicara dengan seorang lelaki tua yang akan menjadi suaminya.“Ya. Sova!” terdengar suara bariton menyapanya dari seberang telepon. Suara itu terdengar begitu berwibawa, membuat Sova merasa terlindungi. Tidak terdengar seperti suara kakek-kakek yang pesakitan.“Ya, Pak Roy!” sahut Sova dengan menekan gemetarnya.“Kamu memberikan Saya dua persyaratan tadi? Tapi, saat ini kita tidak sedang dalam keadaan tawar menawar. Ayahmu ada padaku!” ucapnya terdengar lebih tegas daripada saat lelaki itu hanya menyebut namanya, di awal obrolan mereka.Sova menarik nafasnya dalam-dalam. Ia berusaha menetralkan rasa takut dan terintimidasi, agar menjadi kuat dan tak diremehkan. Dia merasa belum tahu siapa sosok calon suaminya yang sebenarnya, jadi dia harus tegas juga.“Saya tak tahu bagaimana nasib Ayah saat ini. Bisa saja ini hanya akal-akalan kalian agar bisa menjebakku!” ucap Sova membuat Roy sedikit terhenyak. Ia tak mengira bahwa gadis desa yang Ia pilih karena kagum dengan pandangan pertama tersebut, bisa bersikap tegas dan memulai negosiasi dengan menarik. Sudut bibirnya pun melengkung, menggambarkan bahwa Ia cukup senang dengan sikap Sova.“Ayahmu aman, selama semua ini berjalan lancar!” jawab Roy tetap tenang.“Tidak, jika tak ada bukti apapun. Saya bisa melaporkan anda dengan pasal berlapis. Penculikan, pem... pembunuhan,” ucap Sova seraya menarik nafas panjangnya saat Ia harus mengatakan kata ‘pembunuhan'. Di otaknya terbersit kekhawatiran jika apa yang diucapkannya memang nyata. “Eksploitasi anak di bawah umur, perbuatan tak menyenangkan dan masih banyak lagi... “ ucap Sova yang pernah membaca sedikit buku tentang hukum. Padahal, Ia tak begitu faham dengan isinya, namun lumayan juga untuk menggertak lelaki tua yang sedang mempermainkan hidupnya ini.“Silakan! Tapi, saat kamu masih di perjalanan untuk ke kantor polisi, itu artinya kamu tidak bertemu lagi dengan Ayahmu!” sahut Roy dengan tetap tenang.“Jangan macam-macam!” bentak Sova dengan tangan terkepal.“Segeralah bersiap. Setelah akad, kita akan melihat ayahmu! Saya, pak RT, pak Amil dan saksi-saksi semua sudah ada di depan rumahmu. Jangan terlambat, supaya kita tak terlambat menemui Ayahmu, Ayah kita!” ucap Roy. “Oya, jangan panggil saya Pak. Panggil saja Sayang, atau Bang, Mas, Kang, Aa, Uda. Apapun yang kamu senang, asal jangan Bapak!” ucapnya lagi seraya menutup panggilan telepon secara sepihak.“Sudahlah, secepatnya pakai baju ini!” Hani segera meminta ponselnya kembali, kemudian menggantinya dengan satu set kebaya berwarna broken white.Tanpa berpikir panjang, Sova pun segera mengenakan kebaya tersebut, dan akhirnya pasrah didandani dengan make up flawless.“Selesai. Ayo, sudah ditunggu di luar!” pinta Lina yang tiba-tiba berada di balik pintu.Sova langsung menoleh ke arah sumber suara. “Tunggu Mbak, saya mau ketemu Ibu saya dulu. Boleh minta tolong panggilkan? Maaf, merepotkan!” ucap Sova merasa tak enak hati. Selama ini, dia terbiasa disuruh, dan hampir tak pernah balik menyuruh orang lain, meskipun itu teman-temannya sendiri. Keadaannya di rumah lah, yang membuat Ia terbiasa melakukan segala hal sendiri dan tak mengandalkan orang lain.Tanpa menjawab ucapan Sova, Lina pun segera berbalik arah lagi. Tak lama, muncul bu Devi dari balik pintu.“Ada apa?” tanya bu Devi yang nampak sumringah. Hatinya begitu senang karena akan segera mendapatkan sisa uangnya. Setelah itu, dia akan meminta Sova bercerai. Selesai. Hal itulah yang membuat wanita paruh baya itu sangat senang.“Mama, tolong tanda tangani di sini!” pinta Sova seraya menyerahkan sebuah pulpen dan secarik kertas yang sudah Ia bubuhkan tulisan dan materai.“Di mana?” tanya bu Devi seraya mengambil pulpen dan kertas itu.“Di sini!” tunjuk Sova ke bagian tanda tangan pihak ke dua. “Sebagian tanda tangannya kena ke materai sini ya, Ma!” tunjuk Sova lagi.“Maksudnya?” tanya bu Devi tak mengerti. Jangankan untuk mengerti permintaan Sova, baca tulis pun dia tak bisa. Tapi kalau tanda tangan, dia terpaksa bisa karena harus membubuhkan tanda tangan di KTP.“Ini. Begini!” Sova memberikan contoh dengan membubuhkan tanda tangannya sendiri di pihak ke satu.“Oh, iya. Mama ngerti. Begini doang sih... gampang!” ucap bu Devi sambil mencebik dan menarikan pulpen yang Ia genggam. Ia membubuhkan tanda tangan tepat di tempatnya. “Selesai. Nih!” Bu Devi setengah melemparkan kertas dan pulpen tersebut ke hadapan Sova.“Ma, makasih ya!” ucap Sova tulus, yang langsung menubrukkan dirinya di pelukan bu Devi. Bagaimana pun tahun-tahun yang Ia lalui bersama sang Ibu tiri, tetaplah bagi Sova bahwa bu Devi merupakan ibu baginya. Andai saja bu Devi bersikap sedikit lebih baik, dia akan dengan senang hati mengabdikan diri untuk wanita yang bukan merupakan ibu kandungnya tersebut.“Ih, apaan sih.” Bu Devi meronta, berusaha melepaskan diri dari Sova. Wanita paruh baya itu tidak mengingat perjanjiannya dengan Sova tadi. Dia pun tak mengira apapun tentang apa yang ia tanda tangani. Bahkan, wanita itu tak menyadari jika Sova sedang mengucapkan salam perpisahan kepadanya.Bu Devi segera pergi ke luar kamar Sova. Sedangkan Hani yang membaca surat perjanjian itu lewat ekor matanya, mengerti dengan perasaan Sova yang berkecamuk.“Jangan nangis, Mbak! Ada keluarga baru yang pasti lebih baik, yang mau menerima Mbak apa adanya!” ucap Hani seraya menyodorkan tissue kepada Sova. “Hapus air matanya, khawatir kena make up, nanti mukanya kaya ondel-ondel,” kekeh Hani yang membuat Sova ikut terkekeh. Untung saja make up yang dipakaikan bukan make up murahan, yang sekali kena air mata langsung memudar.“Yuk!” ajak Hani lagi sambil meminta tangan Sova untuk Ia tuntun. Mereka pun berjalan beriringa menuju ruang tamu.“Nah, ini dia pengantin yang kita tunggu-tunggu!” Nyaring suara pak RT yang disambut riuh oleh para tetangga yang ikut berkumpul sampai ke luar rumah. Mereka tak menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan wanita muda, karena di kampung mereka, wanita seusia Sova sudah banyak yang menimbang bayi, bahkan sudah banyak juga yang menimbang bayi dalam keadaan janda. Jadi, usia Sova bukanlah usia pernikahan di bawah umur bagi mereka.“Sini Neng Sova, duduk di samping suamimu! Akarnya tadi sudah di depan pak Harun, sekarang tinggal tanda tangan dokumen sama foto-foto saja,” ucap pak Amil yang membuat Sova membelalakkan matanya. Ia kaget dengan pernyataan bahwa dirinya sudah sah dinikahi tanpa sepengetahuannya.Sova pun mengalihkan pandangannya kepada sosok lelaki yang mengenakan tuxedo hitam, yang saat ini sedang mengangkat wajahnya untuk melihat Sova.Pandangan mata mereka pun bertemu, membuat Sova kaget bukan kepalang. “Hah. Anda!”Sova tak pernah mengira akan bertemu lagi dengan orang tersebut. Rasa kesal yang baru saja melanda karena kabar bahwa dirinya sudah dinikahi, ternyata sedikit terlupakan saat melihat sosok suaminya. “Duduk si sini, Neng!” pinta pak RT yang sedari tadi duduk di tempat saksi, menepuk karpet yang tak diduduki siapa pun, tepat di samping mempelai pria. Roy menyunggingkan senyumannya kepada Sova. Senyuman tulus sebagai tanda bahwa lelaki itu menikahi Sova dengan baik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat berbicara di sambungan telepon. “Ayo!” Lina berdiri untuk menuntun Sova duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pak RT, tepat di samping lelaki yang baru menjadi suaminya. Sova pun menurut, melangkahkan kakinya untuk duduk di samping Roy. Seolah mengerti dengan kegelisahan yang sofa rasakan, Pak RT dengan inisiatifnya sendiri membuka galeri video yang ada pada ponsel miliknya. Ia memperlihatkan sebuah video kepada Sova, “Ini, saat ijab kabul tadi!"
“Aaahhh... “ Mendengar teriakan Sova, seketika Roy bangkit dan berlari tunggang langgang. “Ada apa?” tanya Roy seraya menarik Sova dari guyuran shower di atas bathtub, di dalam toilet. Roy menarik Sova keluar dari bathtub sekuat tenaga, sampai kaki Sova terpentuk sisi bathtub. “Ada apa?” tanya Roy lagi sambil melihat ke arah Sova yang masih memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bekas air yang mengguyur dari ujung kepalanya. “Kang, lepas dulu!” pinta Sova masih memejamkan matanya. Sova berada dalam pelukan Roy karena lelaki itu menarik paksa Sova yang berada di bawah guyuran shower, di atas bath tub. Roy yang melihat Sova basah, seketika hasratnya membuncah. Terlebih lekuk tubuh Sova yang membentuk, sangat menantang untuk segera Ia jamah. Bibir Sova yang seksi dan berwarna merah alami, membuat pikiran Roy semakin kotor. Tapi, hatinya yang mengatakan bahwa Sova Ia nikahi bukan untuk Ia jadikan budak nafsu, segera menahan hasrat yang sudah lama Ia pendam. Hasrat yang Ia kubur be
Roy bergegas mengeluarkan ponselnya. Sambil terus melangkah menjauhi ruangan rawat inap yang ditempati pak Harun, Roy pun segera menghubungi Beni. Tak membutuhkan nada panggilan lebih banyak, Beni, sang tangan kanan Roy langsung menerima panggilan darinya. “Malam, Bos!” ucap Beni di sebrang telepon. “Di mana?” tanya Roy tanpa basa-basi. “Baru sampai rumah. Ada yang bisa saya lakukan, Bos?” tanya Beni. Ada rasa tak tega di hati Roy saat mendengar titik keberadaan Beni. Padahal, biasanya Ia seolah sudah tak memiliki empati terhadap Beni. Jika dia membutuhkan sesuatu, apapun caranya harus terlaksana saat itu juga. “Siapa yang jaga di sini?” tanya Roy pada akhirnya. “Agus, Heru dan Jack. Apa Bos tak melihat keberadaan mereka?” tanya Beni memastikan. Masalahnya, selama dia mengawali pernikahannya, Roy sudah meminta bodyguard bayangan agar tak menimbulkan kecurigaan untuk Sova, maupun orang-orang yang berada di sekitar Sova. “Bilang saja sama mereka, carikan baju untuk aku d
“Aaa... uuu... “ Pak Harun yang kini berada di lantai dekat dengan brankarnya, berderai air mata. Selang infus yang terlepas, membuat tangannya bersimbah darah. Sepertinya karena tercabut dengan paksa, akibat lelaki itu terjatuh dari atas brankarnya. Secepatnya, Roy melanjutkan niatnya untuk menekan tombol untuk memanggil perawat. Dia menekan bel berkali-kali, menandakan bahwa keadaan cukup darurat. “Suster!” Ia pun berteriak seraya berusaha mengangkat Pak Harun untuk ditidurkan lagi di atas brankarnya. Kondisi Pak Harun yang sudah sangat kurus, membuat Roy tak memiliki kesulitan saat harus memindahkan Pak Harun ke atas brankarnya. Saat Roy mengangkat Pak Harun, muncul dua perawat dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa, Pak?” tanya salah satu perawat. Mereka pun sigap melaksanakan tugasnya, meskipun matanya mengernyit melihat kondisi tangan Pak Harun yang bersimbah darah. “Jatuh, Pak!” sahut Roy yang masih melihat keadaan Pak Harun. “Jatuh? Kok bisa?” tanya pe
“Pak!” Putri menepuk pundak Roy sambil berteriak memanggilnya. “Eh, sudah, Mbak?” tanya Roy kepada Putri yang kini berdiri di sampingnya. Lamunan dan senyumannya buyar seketika. Memori tentang apa yang dilakukan oleh Sova di balik pohon itu, membuat Roy sering tertawa sendiri. Hal itulah yang membuat Ia memantapkan hati untuk menjadikan Sova sebagai pewaris sah baginya. “Pak Roy, Bapaknya sudah kami tangani. Besok saat visit dokter akan dikonsultasikan, semua keluhan sudah kami catat di lembar anamnesa. Untuk istrinya, kami sudah konsultasikan dengan dokter jaga di IGD. Kebetulan di sana sedang tidak ramai pasien, jadi dokter Arif akan periksa ke sini. Istrinya juga sudah kami pindahkan ke brankar.” Panjang lebar Putri menjelaskan kepada Roy, yang akhirnya hanya dijawab dengan kata ‘oh' saja. “Jadi, istri saya kenapa?” tanya Roy yang kini bangkit dari duduknya. “Sebentar lagi dokter Arif akan visit ke sini,” sahut Putri sebelum Roy menanyakan hal lain yang sebenarnya sudah dij
Sova tak menyahut apapun. Pikirannya sibuk sendiri tentang apa yang biasanya diminta oleh pengantin baru. “Sova!” panggil Roy lagi karena tak mendapatkan respon apapun dari Sova. “Eh. Iya.” Sova menjawab panggilan Roy, namun tak juga menoleh ke arahnya. “Kita sudah menikah. Oleh sebab itu, kamu menjadi tanggung jawabku. Aku akan bekerja untuk membiayai hidupmu, juga pengobatan Ayahmu. Tapi maaf, semua hanya sesuai kemampuan Akang sebagai... “ Roy ragu untuk mengatakannya kepada Sova. Sova pun menoleh ke arah Roy, menunggu lanjutan dari ucapan Roy. “Sebagai ojol. Apa kamu mau menerima pekerjaan Akang? Juga, penghasilan Akang yang mungkin tak menentu.” Roy mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Di dalam hatinya, Ia tak tega untuk membohongi Sova. Namun, Ia harus benar-benar yakin bahwa Sova adalah orang yang tepat, yang Ia pilih. “Terimakasih banyak karena Akang mau bertanggungjawab sama Aku dan Ayah. Tapi, bagaimana dengan permintaan Sova yang kemarin dikirimkan via wa mb
“Akang berangkat dulu ya! Ini kunci rumah kontrakan di kontrakan bu Halim, kamar ke tiga. Nanti, Sari bakalan datang buat jagain Ayah. Kamu jangan dulu sekolah hari ini, biar fit dulu. Akang udah izinkan ke bu Halimah,” ucap Roy yang kemudian berlalu pergi. “Akang!” Sova memanggil Roy, menghampirinya dan menadahkan tangannya. Roy terhenyak. Ia memang salah karena lupa memberi Sova bekal, tapi Ia pun tak mengira jika Sova langsung berani meminta kepadanya. Roy mengeluarkan uang seratus ribu dari saku jaket ojol yang Ia kenakan, hasil meminjam dari orang suruhannya. “Ini, buat hari ini ya!” ucap Roy seraya menyerahkan uang itu di atas telapak tangan Sova yang masih menadah. “Makasih banyak ya, Kang. Tapi, Aku minta tangan Akang buat salam, bukan minta uang,” ucap Sova yang langsung saja menyalaminya. “Ooohhh... “ sahut Roy yang kini mulai tersenyum lagi. Ada hangat yang menjalari relung hatinya tatkala tahu bahwa Ia hanya salah paham dengan Sova. Ternyata, pikirannya salah. Ta
“Rahasia apa, Yah?” tanya Sova yang langsung berdiri di dekat pak Harun, demi memperjelas pendengarannya. “A... ap. Huhuhuhuhu... “ tangis pak Harun malah pecah saat mengatakan permintaan maafnya. “Ayah minta maaf kenapa? Rahasia apa Yah?” tanya Sova semakin penasaran. Bukannya berusaha mengatakan sesuatu lagi, pak Harun malah semakin terisak dan jatuh ke dalam tangisan pilu. Sova tak bisa berbuat banyak, apalagi jika Ia harus menekan sang Ayah untuk bicara. Ia malah khawatir jika kondisi pak Harun akan semakin memburuk. Bukankah dokter sudah memperingatkan dirinya agar membuat seorang penderita stroke tidak memiliki beban pikiran. Ya, diagnosa pak Harun saat ini sudah jelas, lelaki yang berstatus Ayah-nya tersebut terkena stroke, bahkan hampir keseluruhan badan bagian pentingnya. Semua itu terjadi karena keterlambatan dalam penanganan. Sova hanya mengingat bahwa awalnya pak Harun hanya tak bisa menggerakkan anggota badan sebelah kanan saja, namun lama kelamaan, ke