“Saya datang ke sini, bermaksud untuk melamar putri Bapak Harun, untuk ayah Saya, Pak Roy.”
Samar-samar, Sova mendengar suara obrolan yang sepertinya berasal dari ruang tamu. “Melamar?” lirihnya pelan. Sontak Ia pun menghentikan langkahnya untuk mencuri dengar. “Siapa yang dilamar?” tanyanya di dalam hati. Ia pun berjongkok di teras belakang rumahnya, sisi ruang tamu, seraya meletakkan ember berisi piring-piring yang baru saja Ia cuci di sumur umum. Rumah milik Sova merupakan rumah panggung yang berukuran empat kali enam meter, jadi antara ruang tamu dan tempat Ia berjongkok saat ini seolah tak ada sekat, terlebih dinding rumah pun terbuat dari bilik kayu.“Untuk siapa tadi?” Terdengar suara bu Devi, ibu tiri Sova yang mempertanyakan ucapan awal tamu.“Untuk Ayah Saya, Pak Roy,” jawabnya dengan suara yang tegas.Hening sesaat, tak ada suara dari siapapun. Sova mengerutkan keningnya, berpikir tentang satu hal. Biasanya yang datang melamar itu adalah Ayah untuk anaknya, mengapa sekarang dibalik? Apakah anaknya sudah cukup dewasa, sehingga bisa melamarkan seseorang untuk ayahnya? Jika anaknya dewasa, bagaimana dengan ayahnya?“Anda yakin? Berapa usia ayah Anda? Apa yang anda bawa untuk Saya?” tanya bu Devi terdengar ketus.“Bisakah Saya berbicara langsung dengan pak Harun?” tanya orang itu lagi yang entah siapa, Sova tak berani mengintip. Jika Ia berani mengintip, pasti akan ketahuan karena kaca jendela yang merupakan kaca bening tanpa gordeng tipis.“Tak perlu, suami saya masih sakit. Dia enggak bisa gerak. Semua keputusan ada di tangan saya. Saya cuma mau tanya dua hal. Satu, apa yang Anda janjikan untuk Saya sebagai orang tua? Dua, berapa usia ayah Anda?” tanya bu Devi to the point.“Baik. Saya akan memberikan uang tunai sebesar satu juta untuk Anda sebagai ibunya. Usia Ayah saya 57 tahun, tepat di bulan depan.”“Hah?” terdengar bu Devi kaget, sama halnya dengan Sova yang langsung menutup mulutnya saat Ia mendengar usia sang pelamar.“Tapi kan... yang ngebet pengen nikah Yulia.” Sova tak berpikir apapun saat mendengar obrolan Ibu tiri dan tamunya. Toh, yang selama ini ingin segera menikah adalah Yulia, adik tirinya.“Untuk usia segitu ya!” ucap bu Devi yang membuat Sova sedikit tersenyum lega. Nada bicara bu Devi seperti sedang mempertanyakan atau menunjukkan keraguan untuk menerima lamaran. Dia merasa kasihan kepada Yulia jika harus berakhir dengan menikahi seorang lansia. Bagaimana pun jahatnya Yulia kepadanya, Sova masih memiliki rasa sayang kepada anak ibu tirinya itu.“Kalau kamu mau menaikkan harga menjadi lima juta, kita deal.” Sova lebih serius mendengarkan obrolan kedua orang tersebut. Ia pun melirik ke kiri dan ke kanan, mencari sosok Yulia yang setiap hari memang jarang berada di rumah. Ia ingin mewanti-wanti agar adiknya bisa tegas menolak lamaran ini. Tapi nihil, ia tak menemukan sosok Yulia di sekitaran rumah.“Baik. Sebulan lagi akan kita adakan pernikahan ini. Dan saya, melamar untuk yang ini!” ucap tamu lelaki tersebut.“Yang ini?” monolog Sova sambil mengerutkan keningnya. “Apa di dalam ada Yulia? Jadi, dia nunjuk Yulia.” Sova terus menerka-nerka pemikirannya sendiri. Ia tak berani mengintip untuk sekedar menuntaskan rasa penasarannya.“Sebulan lagi, kami akan datang lagi untuk melaksanakan pernikahan.”“Oke, deal. Sepakat!” sahut bu Devi terdengar sumringah. “Tapi, saya minta DP sebesar satu juta, sekarang!” lanjut bu Devi yang membuat Sova lebih mengeratkan pegangannya pada gagang ember. Ia memikirkan nasib Yulia yang akan menikahi lelaki tua. “Kasihan! Mendingan kayak aku, lebih memilih mengejar cita-cita daripada harus berakhir menikah di usia muda. Aku masih mau bahagiain Ayah, Mama dan Yulia juga. Ahhh, semoga aku bisa merubah pikiran Yulia,” gumamnya di dalam hati.“Baik. Kita bertemu lagi bulan depan. Assalamu’alaikum,” ucap suara bariton yang berasal dari ruang tamu.Sova segera berdiri dari jongkoknya, kemudian Ia segera masuk ke dapur dengan segera. Ia cukup kaget karena disaat pikirannya sedang mengembara, tamu tersebut malah pulang dan keluar dari rumah. Ia buru-buru masuk dan tak sempat melihat perawakan tamu tersebut. Bahkan, setelah Ia berada di luar rumah sekalipun.“Sova!” panggil bu Devi setelah kepergian tamu tersebut. Wanita paruh baya itu menyadari kedatangan Sova saat Ia mendengar seseorang membuka pintu dapur.“Iya, Ma!” sahut Sova sambil menyimpan pekerjaannya. Ia sedang merapikan piring-piring yang baru Ia cuci ke atas rak kayu yang dibuat jauh di atas tungku.“Kamu...” Sejenak bu Devi berhenti berbicara, seolah Ia sedang memikirkan sesuatu.“Ada apa, Bu?” tanya Sova penasaran.“Kapan datang dari sumur?” tanya bu Devi pada akhirnya.“Baru masuk dapur, Bu. Kenapa gitu?” tanya Sova seolah Ia tak tahu kemana bu Devi akan membawa pembicaraan mereka. Ia memang benar-benar baru memasuki dapur seperti apa yang diucapkannya.“Oh, enggak apa-apa. Ya sudah, sana lanjutkan!” titah bu Devi seraya mengibaskan tangannya.“Iya, Ma!” sahut Sova seraya berlalu, kembali ke dapur.“Jangan lupa, sapuin rumah lagi. Tadi baru ada tamu, dirapiin gelas yang di meja!” titah bu Devi sambil melenggang menuju kamar.“Iya, Ma!” Lagi-lagi hanya kalimat itu yang terucap dari mulut kecilnya. Ia tak pernah mempermasalahkan apapun yang Ia terima di keluarga ini. Baginya, hidup bahagia adalah bagaimana cara seseorang menyikapi keadaan saja. Ia ikhlas.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Sova teringat dengan Yulia yang sedari tadi tak Ia lihat batang hidungnya. Bukankah lelaki tadi menunjuk ke arah Sova?Sova berjalan ke kamar bu Devi dan pak Harun. Ia pun berhenti tepat di depan pintu yang hanya tertutup oleh gorden, tanpa daun pintu. “Ma!” panggil Sova.“Apa?” bu Devi tiba-tiba menyibak gorden dan berdiri tepat di depan wajah Sova.“Astaghfirullah!” ucap Sova karena kaget dengan keberadaan bu Devi yang tak sempat Ia perkirakan. Gadis cantik itu pun mengelus dadanya demi menurunkan rasa kaget yang Ia rasakan. Bahkan, Ia melihat dandanan bu Devi yang begitu mencolok.“Apa?” ulang bu Devi dengan pertanyaannya.“Mama mau kemana?” tanya Sova saat Ia melihat tampilan bu Devi yang cetar.Karena pertanyaannya sendiri, Sova merasa serba salah karena melihat delikan tak suka dari bu Devi. Bahkan, wanita yang sudah menjadi ibu tirinya sejak Ia masih belum sekolah SD itu, tak sedikitpun menjawab pertanyaannya. “Emmmhh, Yulia mana?” tanya Sova pada akhirnya.“Enggak ada. Dari pagi juga enggak ada,” jawab bu Yulia seraya menggeser tubuh Sova yang menghalangi jalannya.Sova mengernyitkan keningnya. “Bukankan Yulia ikut keluar sama tamu tadi?” tanya Sova yang hanya bercokol di dalam otaknya saja. Ia tak berani mengungkap pertanyaan itu karena Ibunya akan otomatis tahu kalau dia mengetahui tentang keberadaan tamu tadi. Ia pun memilih bungkam.“Jangan lupa, bersihin Ayah kamu!” titah bu Devi seraya membuka pintu keluar.“Mama mau kemana?” tanya Sova lagi sambil melihat Ibunya yang sedang mengenakan sendal, dengan membawa dompet kecil andalan bu Devi kalau mau pergi keluar.Tak ada jawaban apapun dari bu Devi atas pertanyaan Sova. Bahkan, wanita paruh baya itu melenggang pergi tanpa mengucapkan salam kepada Sova yang masih setia berdiri di pintu keluar.Sova segera masuk ke dalam rumah setelah menetralkan perasaannya dengan menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti barusan. Sekarang, Ia harus segera mengurus rumah dan Ayahnya.Sova pun segera berbalik dan berniat membereskan gelas air putih yang berada di meja, serta piring yang berisi pisang goreng yang tadi pagi Ia siapkan di buffet. Saat Ia mengambil gelas tersebut, matanya menangkap sebuah foto yang tergeletak di sana. “Foto aku?” tanyanya dalam hati seraya memungut foto candid saat Ia mengenakan seragam sekolah.Deggg... Tiba-tiba hatinya bergetar hebat karena teringat dengan obrolan antara bu Devi dan tamunya tadi. “Apakah tadi benar-benar tak ada Yulia?”1 Bulan Kemudian... Sova menutup resleting tas barunya dengan riang. Ia begitu senang karena bu Halimah mengatakan bahwa perlombaan debat bahasa Inggris di Kabupaten dilaksanakan hari ini. Ia selalu bermimpi untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah. “Va, ini Ibu bawakan sesuatu untuk kamu,” ucap bu Halimah di hari kemarin seraya menyodorkan sebuah bingkisan plastik hitam. Sova menatap bingkisan itu dengan penuh haru, tapi juga berbarengan dengan rasa tak enak hati. “Ambillah, Nak!” titah bu Halimah seolah paham apa yang ada di pikiran anak didiknya. “Buat Saya, Bu?” tanya Sova sekali lagi. Ia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik. “Iya. Alhamdulillah Ibu ada rezeki. Besok pas lomba, pakai baju seragam dan tas yang baru ini ya!” titah bu Halimah sekali lagi. Dengan senyum yang mengembang, Sova pun menerima bingkisan itu seraya menciumi tangan gurunya dengan bahagia. Bahkan, ia ingat bahwa kemarin ia menciumi tangan bu Halimah sampai dibolak
“Diam kamu di sini! Berani keluar, tamat riwayat Ayahmu yang pesakitan itu!” ancam bu Devi dengan gerakan tangan seolah memotong leher. “Ingat itu! Selangkah saja kamu pergi, Ayahmu mati!” Wanita itu mengulangi ancamannya. Bola matanya membulat seolah mau keluar. Bu Devi tak sedikitpun merasa iba melihat Sova yang sudah rapi memakai seragam sekolah, kini duduk bersimpuh dengan berurai air mata. “Ma, tolong kasih Sova kesempatan. Sova harus berangkat ke sekolah. Ma, tolong Sova!” rengek gadis berseragam SMA itu sambil memegangi kaki bu Devi yang hendak keluar. Tangisnya terdengar sangat pilu bagi orang yang memiliki hati selembut sutera, tapi tidak bagi ibu tirinya itu. “Heh, anak tak tahu diuntung! Silakan kamu pergi dari sini, tapi Ayahmu mati. Kamu tentu tahu kalau ancaman Mama tidak pernah main-main.” Bu Devi berusaha melepaskan kakinya dari Sova dengan menendang-nendangkan kakinya ke tubuh Sova, tapi gadis itu bertahan. “Ma, izinin Sova sekolah hari ini. Sova janji, Sova aka
“Sova...!!!” Karena anak tirinya tak juga menghampiri, bu Devi kesal bukan kepalang. Ia pun segera berjalan sambil mengetuk kakinya keras-keras di setiap langkah, bermaksud menghampiri anak tirinya yang tadi masih terdengar menangis di kamarnya. “Iya Ma!” sahut Sova yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meskipun mata bulatnya sembab dan masih memerah, tapi bibir gadis delapan belas tahun itu melengkungkan senyuman, tentunya senyuman yang tersungging dengan terpaksa. “Dipanggil dari tadi, bukannya nyahut!” bentak bu Devi meluapkan rasa kesalnya. Sova tak ambil pusing dengan teriakan ibu tirinya. Ia tentu tahu alasan sang Mama tiri memanggilnya. Rumah mereka tidaklah luas, bahkan tiga perempat dinding rumahnya terbuat dari bilik khas kampung. Jadi, mana mungkin Sova tak mendengar makian yang diarahkan kepada ayah kandungnya. Saat mendengarnya tadi, Sova berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan. Ia menetralkan semua rasa gundah di hati. Menarik nafas terdalam demi menyebar
“Akhirnya, kamu pulang juga hah?” teriak bu Devi seraya berkacak pinggang di samping rumah, di sisi pintu dapur. Baru saja Ia melihat Sova dari kejauhan, Ia langsung menghujani gadis itu dengan tatapan membunuh. Sova yang biasanya selalu memasang wajah senyum dalam keadaan apapun, kini nampak lebih cuek dan tak begitu peduli dengan ocehan ibu tirinya. “Assalamu’alaikum!” ucap Sova dengan wajah sumringah, namun tak tertuju untuk bu Devi. Gadis itu tetap menyalami tangan bu Devi dan berlalu begitu saja, memasuki rumah lewat pintu dapur seperti biasanya. Tujuannya kamar, shalat maghrib setelah dia wudhu terlebih dahulu di sumur umum. Sebenarnya Sova diantar pulang menggunakan mobil oleh pak Syamsul, kepala sekolah dimana Ia menuntut ilmu. Mobil sewaan pak Syamsul itu berlaku 24 jam, jadi beliau dengan leluasa bisa mengatar Sova sampai ke rumahnya. Hanya saja, Sova meminta diturunkan di sumur umum. “Heh!” bu Devi mencekal lengan Sova yang berlalu begitu saja setelah menyalaminya.
Bu Devi terdiam sesaat setelah mendengar tawaran Sova. Hatinya bertolak belakang dengan kalimat yang diucapkan oleh Sova. Di satu sisi, wanita paruh baya itu memang menginginkan uang lima juta yang ditawarkan oleh Beni, lelaki yang melamarkan Sova untuk ayahnya, Roy. Tapi di sisi lain, Ia sudah berniat untuk menikahkannya, setelah uang itu didapat, ibu Devi akan membuat Sova bercerai dari lelaki tua itu. Ia akan untung berkali-kali lipat karena sudah mendapatkan uang imbalan sebesar 5 Juta, tapi ia pun tidak kehilangan Sova yang selama ini sudah menjadi tulang punggung baginya, juga menjadi pembantu gratisan."Bagaimana? Kalau Mama setuju, Aku siap dinikahi oleh kakek Roy kapanpun dia mau." Tak ada gurat sedih ataupun takut dari wajah sova. Di kepalanya sudah tersusun berbagai macam rencana yang akan Ia lakukan ke depannya."Sepakat, " sahut Yulia sambil menghampiri sova, menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tanda dimulainya kesepakatan. "Yulia!
“Apa ini?” tanya Hani yang nampak enggan mengambil kertas tersebut. “Tolong Mbak! Kalau tidak ada persetujuan tentang hal ini, maka Saya tidak bersedia menikah,” tekan Sova dengan mata tajam. Ditatap seperti itu oleh sang calon istri bos nya, membuat nyali Hani menciut. Ia pun segera mengangguk dan mengambil kertas tersebut, memotretnya, lantas mengirimkannya langsung kepada Roy. “Sudah. Bisakah kita mulai berhias?” tanya Hani lagi. Ia tak ingin membuang-buang waktu berdua dengan Sova. Ia khawatir akan ada banyak pertanyaan lain yang tak akan sanggup Ia jawab. “Tunggu jawabannya!” titah Sova tanpa melirik sedikit pun ke arah Hani. Tak menunggu lama, ponsel Hani pun segera berdering. Wanita itu pun segera menggeser gambar telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan dari Roy. “Hallo. Iya.” Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Hani, sebelum akhirnya Ia menyerahkan ponsel itu kepada Sova. Sova yang sudah mengira siapa yang menghubungi Hani
Sova tak pernah mengira akan bertemu lagi dengan orang tersebut. Rasa kesal yang baru saja melanda karena kabar bahwa dirinya sudah dinikahi, ternyata sedikit terlupakan saat melihat sosok suaminya. “Duduk si sini, Neng!” pinta pak RT yang sedari tadi duduk di tempat saksi, menepuk karpet yang tak diduduki siapa pun, tepat di samping mempelai pria. Roy menyunggingkan senyumannya kepada Sova. Senyuman tulus sebagai tanda bahwa lelaki itu menikahi Sova dengan baik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat berbicara di sambungan telepon. “Ayo!” Lina berdiri untuk menuntun Sova duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pak RT, tepat di samping lelaki yang baru menjadi suaminya. Sova pun menurut, melangkahkan kakinya untuk duduk di samping Roy. Seolah mengerti dengan kegelisahan yang sofa rasakan, Pak RT dengan inisiatifnya sendiri membuka galeri video yang ada pada ponsel miliknya. Ia memperlihatkan sebuah video kepada Sova, “Ini, saat ijab kabul tadi!"
“Aaahhh... “ Mendengar teriakan Sova, seketika Roy bangkit dan berlari tunggang langgang. “Ada apa?” tanya Roy seraya menarik Sova dari guyuran shower di atas bathtub, di dalam toilet. Roy menarik Sova keluar dari bathtub sekuat tenaga, sampai kaki Sova terpentuk sisi bathtub. “Ada apa?” tanya Roy lagi sambil melihat ke arah Sova yang masih memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bekas air yang mengguyur dari ujung kepalanya. “Kang, lepas dulu!” pinta Sova masih memejamkan matanya. Sova berada dalam pelukan Roy karena lelaki itu menarik paksa Sova yang berada di bawah guyuran shower, di atas bath tub. Roy yang melihat Sova basah, seketika hasratnya membuncah. Terlebih lekuk tubuh Sova yang membentuk, sangat menantang untuk segera Ia jamah. Bibir Sova yang seksi dan berwarna merah alami, membuat pikiran Roy semakin kotor. Tapi, hatinya yang mengatakan bahwa Sova Ia nikahi bukan untuk Ia jadikan budak nafsu, segera menahan hasrat yang sudah lama Ia pendam. Hasrat yang Ia kubur be
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung