“Saya datang ke sini, bermaksud untuk melamar putri Bapak Harun, untuk ayah Saya, Pak Roy.”
Samar-samar, Sova mendengar suara obrolan yang sepertinya berasal dari ruang tamu. “Melamar?” lirihnya pelan. Sontak Ia pun menghentikan langkahnya untuk mencuri dengar. “Siapa yang dilamar?” tanyanya di dalam hati. Ia pun berjongkok di teras belakang rumahnya, sisi ruang tamu, seraya meletakkan ember berisi piring-piring yang baru saja Ia cuci di sumur umum. Rumah milik Sova merupakan rumah panggung yang berukuran empat kali enam meter, jadi antara ruang tamu dan tempat Ia berjongkok saat ini seolah tak ada sekat, terlebih dinding rumah pun terbuat dari bilik kayu.“Untuk siapa tadi?” Terdengar suara bu Devi, ibu tiri Sova yang mempertanyakan ucapan awal tamu.“Untuk Ayah Saya, Pak Roy,” jawabnya dengan suara yang tegas.Hening sesaat, tak ada suara dari siapapun. Sova mengerutkan keningnya, berpikir tentang satu hal. Biasanya yang datang melamar itu adalah Ayah untuk anaknya, mengapa sekarang dibalik? Apakah anaknya sudah cukup dewasa, sehingga bisa melamarkan seseorang untuk ayahnya? Jika anaknya dewasa, bagaimana dengan ayahnya?“Anda yakin? Berapa usia ayah Anda? Apa yang anda bawa untuk Saya?” tanya bu Devi terdengar ketus.“Bisakah Saya berbicara langsung dengan pak Harun?” tanya orang itu lagi yang entah siapa, Sova tak berani mengintip. Jika Ia berani mengintip, pasti akan ketahuan karena kaca jendela yang merupakan kaca bening tanpa gordeng tipis.“Tak perlu, suami saya masih sakit. Dia enggak bisa gerak. Semua keputusan ada di tangan saya. Saya cuma mau tanya dua hal. Satu, apa yang Anda janjikan untuk Saya sebagai orang tua? Dua, berapa usia ayah Anda?” tanya bu Devi to the point.“Baik. Saya akan memberikan uang tunai sebesar satu juta untuk Anda sebagai ibunya. Usia Ayah saya 57 tahun, tepat di bulan depan.”“Hah?” terdengar bu Devi kaget, sama halnya dengan Sova yang langsung menutup mulutnya saat Ia mendengar usia sang pelamar.“Tapi kan... yang ngebet pengen nikah Yulia.” Sova tak berpikir apapun saat mendengar obrolan Ibu tiri dan tamunya. Toh, yang selama ini ingin segera menikah adalah Yulia, adik tirinya.“Untuk usia segitu ya!” ucap bu Devi yang membuat Sova sedikit tersenyum lega. Nada bicara bu Devi seperti sedang mempertanyakan atau menunjukkan keraguan untuk menerima lamaran. Dia merasa kasihan kepada Yulia jika harus berakhir dengan menikahi seorang lansia. Bagaimana pun jahatnya Yulia kepadanya, Sova masih memiliki rasa sayang kepada anak ibu tirinya itu.“Kalau kamu mau menaikkan harga menjadi lima juta, kita deal.” Sova lebih serius mendengarkan obrolan kedua orang tersebut. Ia pun melirik ke kiri dan ke kanan, mencari sosok Yulia yang setiap hari memang jarang berada di rumah. Ia ingin mewanti-wanti agar adiknya bisa tegas menolak lamaran ini. Tapi nihil, ia tak menemukan sosok Yulia di sekitaran rumah.“Baik. Sebulan lagi akan kita adakan pernikahan ini. Dan saya, melamar untuk yang ini!” ucap tamu lelaki tersebut.“Yang ini?” monolog Sova sambil mengerutkan keningnya. “Apa di dalam ada Yulia? Jadi, dia nunjuk Yulia.” Sova terus menerka-nerka pemikirannya sendiri. Ia tak berani mengintip untuk sekedar menuntaskan rasa penasarannya.“Sebulan lagi, kami akan datang lagi untuk melaksanakan pernikahan.”“Oke, deal. Sepakat!” sahut bu Devi terdengar sumringah. “Tapi, saya minta DP sebesar satu juta, sekarang!” lanjut bu Devi yang membuat Sova lebih mengeratkan pegangannya pada gagang ember. Ia memikirkan nasib Yulia yang akan menikahi lelaki tua. “Kasihan! Mendingan kayak aku, lebih memilih mengejar cita-cita daripada harus berakhir menikah di usia muda. Aku masih mau bahagiain Ayah, Mama dan Yulia juga. Ahhh, semoga aku bisa merubah pikiran Yulia,” gumamnya di dalam hati.“Baik. Kita bertemu lagi bulan depan. Assalamu’alaikum,” ucap suara bariton yang berasal dari ruang tamu.Sova segera berdiri dari jongkoknya, kemudian Ia segera masuk ke dapur dengan segera. Ia cukup kaget karena disaat pikirannya sedang mengembara, tamu tersebut malah pulang dan keluar dari rumah. Ia buru-buru masuk dan tak sempat melihat perawakan tamu tersebut. Bahkan, setelah Ia berada di luar rumah sekalipun.“Sova!” panggil bu Devi setelah kepergian tamu tersebut. Wanita paruh baya itu menyadari kedatangan Sova saat Ia mendengar seseorang membuka pintu dapur.“Iya, Ma!” sahut Sova sambil menyimpan pekerjaannya. Ia sedang merapikan piring-piring yang baru Ia cuci ke atas rak kayu yang dibuat jauh di atas tungku.“Kamu...” Sejenak bu Devi berhenti berbicara, seolah Ia sedang memikirkan sesuatu.“Ada apa, Bu?” tanya Sova penasaran.“Kapan datang dari sumur?” tanya bu Devi pada akhirnya.“Baru masuk dapur, Bu. Kenapa gitu?” tanya Sova seolah Ia tak tahu kemana bu Devi akan membawa pembicaraan mereka. Ia memang benar-benar baru memasuki dapur seperti apa yang diucapkannya.“Oh, enggak apa-apa. Ya sudah, sana lanjutkan!” titah bu Devi seraya mengibaskan tangannya.“Iya, Ma!” sahut Sova seraya berlalu, kembali ke dapur.“Jangan lupa, sapuin rumah lagi. Tadi baru ada tamu, dirapiin gelas yang di meja!” titah bu Devi sambil melenggang menuju kamar.“Iya, Ma!” Lagi-lagi hanya kalimat itu yang terucap dari mulut kecilnya. Ia tak pernah mempermasalahkan apapun yang Ia terima di keluarga ini. Baginya, hidup bahagia adalah bagaimana cara seseorang menyikapi keadaan saja. Ia ikhlas.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Sova teringat dengan Yulia yang sedari tadi tak Ia lihat batang hidungnya. Bukankah lelaki tadi menunjuk ke arah Sova?Sova berjalan ke kamar bu Devi dan pak Harun. Ia pun berhenti tepat di depan pintu yang hanya tertutup oleh gorden, tanpa daun pintu. “Ma!” panggil Sova.“Apa?” bu Devi tiba-tiba menyibak gorden dan berdiri tepat di depan wajah Sova.“Astaghfirullah!” ucap Sova karena kaget dengan keberadaan bu Devi yang tak sempat Ia perkirakan. Gadis cantik itu pun mengelus dadanya demi menurunkan rasa kaget yang Ia rasakan. Bahkan, Ia melihat dandanan bu Devi yang begitu mencolok.“Apa?” ulang bu Devi dengan pertanyaannya.“Mama mau kemana?” tanya Sova saat Ia melihat tampilan bu Devi yang cetar.Karena pertanyaannya sendiri, Sova merasa serba salah karena melihat delikan tak suka dari bu Devi. Bahkan, wanita yang sudah menjadi ibu tirinya sejak Ia masih belum sekolah SD itu, tak sedikitpun menjawab pertanyaannya. “Emmmhh, Yulia mana?” tanya Sova pada akhirnya.“Enggak ada. Dari pagi juga enggak ada,” jawab bu Yulia seraya menggeser tubuh Sova yang menghalangi jalannya.Sova mengernyitkan keningnya. “Bukankan Yulia ikut keluar sama tamu tadi?” tanya Sova yang hanya bercokol di dalam otaknya saja. Ia tak berani mengungkap pertanyaan itu karena Ibunya akan otomatis tahu kalau dia mengetahui tentang keberadaan tamu tadi. Ia pun memilih bungkam.“Jangan lupa, bersihin Ayah kamu!” titah bu Devi seraya membuka pintu keluar.“Mama mau kemana?” tanya Sova lagi sambil melihat Ibunya yang sedang mengenakan sendal, dengan membawa dompet kecil andalan bu Devi kalau mau pergi keluar.Tak ada jawaban apapun dari bu Devi atas pertanyaan Sova. Bahkan, wanita paruh baya itu melenggang pergi tanpa mengucapkan salam kepada Sova yang masih setia berdiri di pintu keluar.Sova segera masuk ke dalam rumah setelah menetralkan perasaannya dengan menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti barusan. Sekarang, Ia harus segera mengurus rumah dan Ayahnya.Sova pun segera berbalik dan berniat membereskan gelas air putih yang berada di meja, serta piring yang berisi pisang goreng yang tadi pagi Ia siapkan di buffet. Saat Ia mengambil gelas tersebut, matanya menangkap sebuah foto yang tergeletak di sana. “Foto aku?” tanyanya dalam hati seraya memungut foto candid saat Ia mengenakan seragam sekolah.Deggg... Tiba-tiba hatinya bergetar hebat karena teringat dengan obrolan antara bu Devi dan tamunya tadi. “Apakah tadi benar-benar tak ada Yulia?”1 Bulan Kemudian... Sova menutup resleting tas barunya dengan riang. Ia begitu senang karena bu Halimah mengatakan bahwa perlombaan debat bahasa Inggris di Kabupaten dilaksanakan hari ini. Ia selalu bermimpi untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah. “Va, ini Ibu bawakan sesuatu untuk kamu,” ucap bu Halimah di hari kemarin seraya menyodorkan sebuah bingkisan plastik hitam. Sova menatap bingkisan itu dengan penuh haru, tapi juga berbarengan dengan rasa tak enak hati. “Ambillah, Nak!” titah bu Halimah seolah paham apa yang ada di pikiran anak didiknya. “Buat Saya, Bu?” tanya Sova sekali lagi. Ia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik. “Iya. Alhamdulillah Ibu ada rezeki. Besok pas lomba, pakai baju seragam dan tas yang baru ini ya!” titah bu Halimah sekali lagi. Dengan senyum yang mengembang, Sova pun menerima bingkisan itu seraya menciumi tangan gurunya dengan bahagia. Bahkan, ia ingat bahwa kemarin ia menciumi tangan bu Halimah sampai dibolak
“Diam kamu di sini! Berani keluar, tamat riwayat Ayahmu yang pesakitan itu!” ancam bu Devi dengan gerakan tangan seolah memotong leher. “Ingat itu! Selangkah saja kamu pergi, Ayahmu mati!” Wanita itu mengulangi ancamannya. Bola matanya membulat seolah mau keluar. Bu Devi tak sedikitpun merasa iba melihat Sova yang sudah rapi memakai seragam sekolah, kini duduk bersimpuh dengan berurai air mata. “Ma, tolong kasih Sova kesempatan. Sova harus berangkat ke sekolah. Ma, tolong Sova!” rengek gadis berseragam SMA itu sambil memegangi kaki bu Devi yang hendak keluar. Tangisnya terdengar sangat pilu bagi orang yang memiliki hati selembut sutera, tapi tidak bagi ibu tirinya itu. “Heh, anak tak tahu diuntung! Silakan kamu pergi dari sini, tapi Ayahmu mati. Kamu tentu tahu kalau ancaman Mama tidak pernah main-main.” Bu Devi berusaha melepaskan kakinya dari Sova dengan menendang-nendangkan kakinya ke tubuh Sova, tapi gadis itu bertahan. “Ma, izinin Sova sekolah hari ini. Sova janji, Sova aka
“Sova...!!!” Karena anak tirinya tak juga menghampiri, bu Devi kesal bukan kepalang. Ia pun segera berjalan sambil mengetuk kakinya keras-keras di setiap langkah, bermaksud menghampiri anak tirinya yang tadi masih terdengar menangis di kamarnya. “Iya Ma!” sahut Sova yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meskipun mata bulatnya sembab dan masih memerah, tapi bibir gadis delapan belas tahun itu melengkungkan senyuman, tentunya senyuman yang tersungging dengan terpaksa. “Dipanggil dari tadi, bukannya nyahut!” bentak bu Devi meluapkan rasa kesalnya. Sova tak ambil pusing dengan teriakan ibu tirinya. Ia tentu tahu alasan sang Mama tiri memanggilnya. Rumah mereka tidaklah luas, bahkan tiga perempat dinding rumahnya terbuat dari bilik khas kampung. Jadi, mana mungkin Sova tak mendengar makian yang diarahkan kepada ayah kandungnya. Saat mendengarnya tadi, Sova berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan. Ia menetralkan semua rasa gundah di hati. Menarik nafas terdalam demi menyebar
“Akhirnya, kamu pulang juga hah?” teriak bu Devi seraya berkacak pinggang di samping rumah, di sisi pintu dapur. Baru saja Ia melihat Sova dari kejauhan, Ia langsung menghujani gadis itu dengan tatapan membunuh. Sova yang biasanya selalu memasang wajah senyum dalam keadaan apapun, kini nampak lebih cuek dan tak begitu peduli dengan ocehan ibu tirinya. “Assalamu’alaikum!” ucap Sova dengan wajah sumringah, namun tak tertuju untuk bu Devi. Gadis itu tetap menyalami tangan bu Devi dan berlalu begitu saja, memasuki rumah lewat pintu dapur seperti biasanya. Tujuannya kamar, shalat maghrib setelah dia wudhu terlebih dahulu di sumur umum. Sebenarnya Sova diantar pulang menggunakan mobil oleh pak Syamsul, kepala sekolah dimana Ia menuntut ilmu. Mobil sewaan pak Syamsul itu berlaku 24 jam, jadi beliau dengan leluasa bisa mengatar Sova sampai ke rumahnya. Hanya saja, Sova meminta diturunkan di sumur umum. “Heh!” bu Devi mencekal lengan Sova yang berlalu begitu saja setelah menyalaminya.
Bu Devi terdiam sesaat setelah mendengar tawaran Sova. Hatinya bertolak belakang dengan kalimat yang diucapkan oleh Sova. Di satu sisi, wanita paruh baya itu memang menginginkan uang lima juta yang ditawarkan oleh Beni, lelaki yang melamarkan Sova untuk ayahnya, Roy. Tapi di sisi lain, Ia sudah berniat untuk menikahkannya, setelah uang itu didapat, ibu Devi akan membuat Sova bercerai dari lelaki tua itu. Ia akan untung berkali-kali lipat karena sudah mendapatkan uang imbalan sebesar 5 Juta, tapi ia pun tidak kehilangan Sova yang selama ini sudah menjadi tulang punggung baginya, juga menjadi pembantu gratisan."Bagaimana? Kalau Mama setuju, Aku siap dinikahi oleh kakek Roy kapanpun dia mau." Tak ada gurat sedih ataupun takut dari wajah sova. Di kepalanya sudah tersusun berbagai macam rencana yang akan Ia lakukan ke depannya."Sepakat, " sahut Yulia sambil menghampiri sova, menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tanda dimulainya kesepakatan. "Yulia!
“Apa ini?” tanya Hani yang nampak enggan mengambil kertas tersebut. “Tolong Mbak! Kalau tidak ada persetujuan tentang hal ini, maka Saya tidak bersedia menikah,” tekan Sova dengan mata tajam. Ditatap seperti itu oleh sang calon istri bos nya, membuat nyali Hani menciut. Ia pun segera mengangguk dan mengambil kertas tersebut, memotretnya, lantas mengirimkannya langsung kepada Roy. “Sudah. Bisakah kita mulai berhias?” tanya Hani lagi. Ia tak ingin membuang-buang waktu berdua dengan Sova. Ia khawatir akan ada banyak pertanyaan lain yang tak akan sanggup Ia jawab. “Tunggu jawabannya!” titah Sova tanpa melirik sedikit pun ke arah Hani. Tak menunggu lama, ponsel Hani pun segera berdering. Wanita itu pun segera menggeser gambar telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan dari Roy. “Hallo. Iya.” Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Hani, sebelum akhirnya Ia menyerahkan ponsel itu kepada Sova. Sova yang sudah mengira siapa yang menghubungi Hani
Sova tak pernah mengira akan bertemu lagi dengan orang tersebut. Rasa kesal yang baru saja melanda karena kabar bahwa dirinya sudah dinikahi, ternyata sedikit terlupakan saat melihat sosok suaminya. “Duduk si sini, Neng!” pinta pak RT yang sedari tadi duduk di tempat saksi, menepuk karpet yang tak diduduki siapa pun, tepat di samping mempelai pria. Roy menyunggingkan senyumannya kepada Sova. Senyuman tulus sebagai tanda bahwa lelaki itu menikahi Sova dengan baik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat berbicara di sambungan telepon. “Ayo!” Lina berdiri untuk menuntun Sova duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pak RT, tepat di samping lelaki yang baru menjadi suaminya. Sova pun menurut, melangkahkan kakinya untuk duduk di samping Roy. Seolah mengerti dengan kegelisahan yang sofa rasakan, Pak RT dengan inisiatifnya sendiri membuka galeri video yang ada pada ponsel miliknya. Ia memperlihatkan sebuah video kepada Sova, “Ini, saat ijab kabul tadi!"
“Aaahhh... “ Mendengar teriakan Sova, seketika Roy bangkit dan berlari tunggang langgang. “Ada apa?” tanya Roy seraya menarik Sova dari guyuran shower di atas bathtub, di dalam toilet. Roy menarik Sova keluar dari bathtub sekuat tenaga, sampai kaki Sova terpentuk sisi bathtub. “Ada apa?” tanya Roy lagi sambil melihat ke arah Sova yang masih memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bekas air yang mengguyur dari ujung kepalanya. “Kang, lepas dulu!” pinta Sova masih memejamkan matanya. Sova berada dalam pelukan Roy karena lelaki itu menarik paksa Sova yang berada di bawah guyuran shower, di atas bath tub. Roy yang melihat Sova basah, seketika hasratnya membuncah. Terlebih lekuk tubuh Sova yang membentuk, sangat menantang untuk segera Ia jamah. Bibir Sova yang seksi dan berwarna merah alami, membuat pikiran Roy semakin kotor. Tapi, hatinya yang mengatakan bahwa Sova Ia nikahi bukan untuk Ia jadikan budak nafsu, segera menahan hasrat yang sudah lama Ia pendam. Hasrat yang Ia kubur be