1 Bulan Kemudian...
Sova menutup resleting tas barunya dengan riang. Ia begitu senang karena bu Halimah mengatakan bahwa perlombaan debat bahasa Inggris di Kabupaten dilaksanakan hari ini. Ia selalu bermimpi untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah.“Va, ini Ibu bawakan sesuatu untuk kamu,” ucap bu Halimah di hari kemarin seraya menyodorkan sebuah bingkisan plastik hitam.Sova menatap bingkisan itu dengan penuh haru, tapi juga berbarengan dengan rasa tak enak hati.“Ambillah, Nak!” titah bu Halimah seolah paham apa yang ada di pikiran anak didiknya.“Buat Saya, Bu?” tanya Sova sekali lagi. Ia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik.“Iya. Alhamdulillah Ibu ada rezeki. Besok pas lomba, pakai baju seragam dan tas yang baru ini ya!” titah bu Halimah sekali lagi.Dengan senyum yang mengembang, Sova pun menerima bingkisan itu seraya menciumi tangan gurunya dengan bahagia. Bahkan, ia ingat bahwa kemarin ia menciumi tangan bu Halimah sampai dibolak-balik. Gurunya itu tak tahu saja, saat Sova di perjalanan pulang, ia sempatkan untuk melipir di semak dekat pohon bambu untuk menangis. Bukan karena derita yang ia rasa, tapi ia bahagia karena perhatian gurunya, bahagia karena akan ikut lomba dan rindu yang membuncah kepada ibu kandungnya yang telah tiada. Ia tak pernah memperlihatkan tangisnya kepada siapapun, termasuk kepada ayahnya.Hari ini, ia mematut dirinya di depan cermin yang telah memudar, memamerkan betapa indahnya baju seragam baru yang dihadiahkan oleh bu Halimah. “What a beautiful I am!” Ia terkekeh sendiri saat mengatakannya.Setelah dirasa cukup, ia pun segera meraih tas dan menggendongnya dengan bangga. Rencananya, sebelum berangkat ke Sekolah, ia akan mampir ke warung seblak Ceu Salma untuk mengambil uang gajinya seminggu ini. Pekerjaan yang ia lakoni untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Krekkk...Pintu kamarnya berbunyi sangat nyaring jika ia buka. Untungnya, kamar yang ia tempati berada di belakang, lebih belakang dari dapur yang dihiasi oleh tungku sebagai alat untuk memasak sehari-hari.Ia menuju ke bufet (lemari untuk menyimpan makanan) dan menyendok nasi dari rice cooker yang terletak di sebelah bufet. Matanya melirik ke isi bufet yang tadi subuh ia masak semua, tentunya setelah selesai shalat. Rutinitas setiap habis shalat subuh, memasak dan membersihkan seluruh rumah, serta memberi makan ayam.“Eh, Sova. Enggak usah lirik-lirik ke bufet ya! Makanan itu enggak bakalan cukup kalau kamu makan,” teriak Yulia dengan suara lengkingan yang khas.“Eh, enggak kok. Aku lagi ngambil nasi aja!” sahut Sova dengan senyuman khas nya. Ia pun segera menarik kakinya untuk mundur dan menjauh.“Nih, bajuku harus bener-bener bersih! Kemarin aku nembus!” ucap Yulia seraya melemparkan beberapa baju dan celana dalam yang masih bernoda merah ke wajah Sova. Bahkan, celana kotornya itu nyangkut di atas piring Sova.“Yuli!” kesal Sova seraya melemparkan celana dalam milik saudara tirinya itu ke sembarang arah.“Cuci makanya!” teriak Yulia sambil tertawa terbahak.“Iya, taro aja di tempat biasa. Nanti aku cuci kalau pulang sekolah,” sahut Sova sambil duduk di sisi pintu belakang. Ia pun segera melahap nasi putih tanpa lauk apapun.“Awas kalau lupa!” Yulia memperingatkan Sova agar tak lupa mencuci baju miliknya.“Iya... iya. Lagian, kamu enggak sekolah hari ini? sama kemaren? sama kemarennya lagi dan seterusnya?” tanya Sova yang sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan dikatakan oleh Yulia.“Ya elah, tibang juga sekolah seatap, enggak perlu ke sekolah juga lulus. Sombong amat baru sekolah di situ juga!” ucap Yulia seraya pergi meninggalkan Sova yang menghentikan aktifitas mengunyah nasi putihnya, demi menggerakkan mulutnya sesuai dengan ucapan Yulia. Ya, gadis cantik itu sudah hafal diluar kepala jawaban dari saudara tirinya.Setelah menyelesaikan aktifitas makannya, Sovia pun segera meletakkan piring bekas ia pakai di ember, kemudian ia mencuci tangannya dengan sedikit air yang ada di ember. Air hasil dari menimba di sumur umum. Sova memang terbiasa menumpuk piring cucian karena sumur yang biasa ia mencuci piring dan mencuci pakaian, merupakan sumur umum dan letaknya terhalang tiga rumah dan sepetak kebun pisang.“Pamit dulu ke Ayah!” ucapnya dengan langkah ragu-ragu. Ia khawatir ibu tirinya akan ikut terbangun jika ia masuk ke kamar ayahnya. Walaupun sakit, Ayah dan ibu tirinya masih tidur sekamar, meskipun di tengahnya, dibikinkan penghalang agar terpisah. Yulia enggak mau kalau kamarnya direcoki ibunya sendiri.Saat ia membuka pintu kamar ayahnya, ia tak menemukan ibu tirinya di kamar. Hanya ada ayahnya yang sudah sebulan ini tak berdaya di atas kasur karena terserang stroke dan tak mampu berobat. “Tumben,” lirih Sova karena tidak mendapati ibu tirinya yang biasanya masih tertidur pulas di jam segini.Sova segera menghampiri ranjang kapuk ayahnya. “Yah!” panggil Sova seraya duduk di tepi ranjang.Lelaki tua itu melirikkan bola matanya ke arah dimana Sova duduk. “Yah, do’ain Sova ya! Hari ini Sova mau ikut lomba debat bahasa Inggris di tingkat kabupaten. Kalau nanti juara, masuk ke tingkat provinsi, terus ke nasional. Nah, kalau di nasional juara, Sova bisa dapat beasiswa kuliah di jurusan bahasa Inggris atau hubungan internasional di kampus incaran Sova. Cita-cita Sova ingin jadi diplomat Yah! Kalau nanti Sova jadi diplomat, Sova janji akan mengobati Ayah dengan pengobatan terbaik. Enggak... enggak, kalau dalam waktu dekat Sova punya uang juga, Sova mau obatin Ayah biar sembuh.”Sova mendekatkan mulutnya ke telinga sang ayah dan berkata “Sova selalu nyisihin uang gaji dari Ceu Salma sebelum dikasih ke Mama. sova kumpulin buat Ayah berobat,” ucapnya dengan suara lirih, kemudian ia pun duduk kembali dengan tegak. “Do’ain ya Yah! Doa Ayah yang membuat Sova masih berdiri kuat sampai hari ini,” lanjutnya lagi sambil tersenyum manis.Ada air mata yang jatuh di kedua sudut mata pak Harun. Ucapan anaknya barusan berhasil meluluhlantakkan hatinya yang semakin hari semakin berdenyut nyeri. Bagaimana tidak? Semua beban dipikul oleh anaknya sendiri. Anak perempuan yang waktu itu sempat membolos sekolah selama satu bulan karena tuntutan ibu tiri. Sampai akhirnya, bu Halimah dan beberapa guru datang untuk mempertanyakan mengapa Sova tak lagi masuk sekolah. Berkat rayuan gurunya, bu Devi akhirnya memberikan izin Sova kembali sekolah dengan syarat agar ia bisa memberikan uang nafkah kepadanya, sebagai tambahan nafkah dari pak Harun yang tak selalu dikatakan tak cukup. Bahkan, pak Harun sendiri tak pernah benar-benar membela anak kandungnya di depan istri barunya. Untung saja, Ceu Salma yang kerepotan melayani pelanggan seblaknya, mau mempekerjakan Sova sepulang ia bersekolah, meskipun gajinya kecil.“Ya sudah, Yah. Sova berangkat sekolah dulu!” pamit Sova seraya mengambil tangan ayahnya yang tak dapat digerakkan sama sekali, kemudian ia cium beberapa lama. Ia pun meletakkan kembali tangan ayahnya dengan hati-hati.“Heh, mau kemana kamu?” tanya bu Devi yang tiba-tiba berada di ambang pintu kamar dengan dandanan menornya. Gadis itu merasa heran karena tidak biasanya bu Devi sudah nampak rapi dari pagi.Sova segera bangun dari duduknya dan berbalik menghadap ibu tirinya, kemudian ia raih tangan bu Devi untuk ia cium. Namun, dengan angkuhnya wanita itu menepis tangan Sova sehingga terhempas.“Aku mau ke sekolah, Ma. Mau lomba debat bahasa Inggris tingkat kabupaten. Nanti diantar sama guru-guru di sekolah, naik mobil pak Heru,” jelas Sova masih dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.“Jangan berani-berani kamu keluar dari rumah ini. Ayo, kamu tunggu kakek tua itu di kamar. Hari ini kamu mau dinikahi si kakek!” teriak bu Devi seraya menarik kasar lengan Sova, mengarahkannya agar masuk kembali ke kamarnya.“Apa? Enggak Ma, enggak mau. Sova mau sekolah. Sova mau lomba!” rengek gadis itu yang kini mampu mengobral air matanya. Petir itu kini benar-benar datang, harapannya seolah hancur dengan ucapan ibu tirinya. Pikirannya seolah kembali ke satu bulan lalu, dimana Ia menemukan foto candidnya yang tergeletak di atas meja tamu. “Apakah pengantinnya dirinya? Dia yang sebulan lalu dilamar, bukan Yulia?” gumamnya dalam hati.“Diam kamu di sini! Berani keluar, tamat riwayat Ayahmu yang pesakitan itu!” ancam bu Devi dengan gerakan tangan seolah memotong leher. “Ingat itu! Selangkah saja kamu pergi, Ayahmu mati!” Wanita itu mengulangi ancamannya. Bola matanya membulat seolah mau keluar. Bu Devi tak sedikitpun merasa iba melihat Sova yang sudah rapi memakai seragam sekolah, kini duduk bersimpuh dengan berurai air mata. “Ma, tolong kasih Sova kesempatan. Sova harus berangkat ke sekolah. Ma, tolong Sova!” rengek gadis berseragam SMA itu sambil memegangi kaki bu Devi yang hendak keluar. Tangisnya terdengar sangat pilu bagi orang yang memiliki hati selembut sutera, tapi tidak bagi ibu tirinya itu. “Heh, anak tak tahu diuntung! Silakan kamu pergi dari sini, tapi Ayahmu mati. Kamu tentu tahu kalau ancaman Mama tidak pernah main-main.” Bu Devi berusaha melepaskan kakinya dari Sova dengan menendang-nendangkan kakinya ke tubuh Sova, tapi gadis itu bertahan. “Ma, izinin Sova sekolah hari ini. Sova janji, Sova aka
“Sova...!!!” Karena anak tirinya tak juga menghampiri, bu Devi kesal bukan kepalang. Ia pun segera berjalan sambil mengetuk kakinya keras-keras di setiap langkah, bermaksud menghampiri anak tirinya yang tadi masih terdengar menangis di kamarnya. “Iya Ma!” sahut Sova yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meskipun mata bulatnya sembab dan masih memerah, tapi bibir gadis delapan belas tahun itu melengkungkan senyuman, tentunya senyuman yang tersungging dengan terpaksa. “Dipanggil dari tadi, bukannya nyahut!” bentak bu Devi meluapkan rasa kesalnya. Sova tak ambil pusing dengan teriakan ibu tirinya. Ia tentu tahu alasan sang Mama tiri memanggilnya. Rumah mereka tidaklah luas, bahkan tiga perempat dinding rumahnya terbuat dari bilik khas kampung. Jadi, mana mungkin Sova tak mendengar makian yang diarahkan kepada ayah kandungnya. Saat mendengarnya tadi, Sova berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan. Ia menetralkan semua rasa gundah di hati. Menarik nafas terdalam demi menyebar
“Akhirnya, kamu pulang juga hah?” teriak bu Devi seraya berkacak pinggang di samping rumah, di sisi pintu dapur. Baru saja Ia melihat Sova dari kejauhan, Ia langsung menghujani gadis itu dengan tatapan membunuh. Sova yang biasanya selalu memasang wajah senyum dalam keadaan apapun, kini nampak lebih cuek dan tak begitu peduli dengan ocehan ibu tirinya. “Assalamu’alaikum!” ucap Sova dengan wajah sumringah, namun tak tertuju untuk bu Devi. Gadis itu tetap menyalami tangan bu Devi dan berlalu begitu saja, memasuki rumah lewat pintu dapur seperti biasanya. Tujuannya kamar, shalat maghrib setelah dia wudhu terlebih dahulu di sumur umum. Sebenarnya Sova diantar pulang menggunakan mobil oleh pak Syamsul, kepala sekolah dimana Ia menuntut ilmu. Mobil sewaan pak Syamsul itu berlaku 24 jam, jadi beliau dengan leluasa bisa mengatar Sova sampai ke rumahnya. Hanya saja, Sova meminta diturunkan di sumur umum. “Heh!” bu Devi mencekal lengan Sova yang berlalu begitu saja setelah menyalaminya.
Bu Devi terdiam sesaat setelah mendengar tawaran Sova. Hatinya bertolak belakang dengan kalimat yang diucapkan oleh Sova. Di satu sisi, wanita paruh baya itu memang menginginkan uang lima juta yang ditawarkan oleh Beni, lelaki yang melamarkan Sova untuk ayahnya, Roy. Tapi di sisi lain, Ia sudah berniat untuk menikahkannya, setelah uang itu didapat, ibu Devi akan membuat Sova bercerai dari lelaki tua itu. Ia akan untung berkali-kali lipat karena sudah mendapatkan uang imbalan sebesar 5 Juta, tapi ia pun tidak kehilangan Sova yang selama ini sudah menjadi tulang punggung baginya, juga menjadi pembantu gratisan."Bagaimana? Kalau Mama setuju, Aku siap dinikahi oleh kakek Roy kapanpun dia mau." Tak ada gurat sedih ataupun takut dari wajah sova. Di kepalanya sudah tersusun berbagai macam rencana yang akan Ia lakukan ke depannya."Sepakat, " sahut Yulia sambil menghampiri sova, menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tanda dimulainya kesepakatan. "Yulia!
“Apa ini?” tanya Hani yang nampak enggan mengambil kertas tersebut. “Tolong Mbak! Kalau tidak ada persetujuan tentang hal ini, maka Saya tidak bersedia menikah,” tekan Sova dengan mata tajam. Ditatap seperti itu oleh sang calon istri bos nya, membuat nyali Hani menciut. Ia pun segera mengangguk dan mengambil kertas tersebut, memotretnya, lantas mengirimkannya langsung kepada Roy. “Sudah. Bisakah kita mulai berhias?” tanya Hani lagi. Ia tak ingin membuang-buang waktu berdua dengan Sova. Ia khawatir akan ada banyak pertanyaan lain yang tak akan sanggup Ia jawab. “Tunggu jawabannya!” titah Sova tanpa melirik sedikit pun ke arah Hani. Tak menunggu lama, ponsel Hani pun segera berdering. Wanita itu pun segera menggeser gambar telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan dari Roy. “Hallo. Iya.” Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Hani, sebelum akhirnya Ia menyerahkan ponsel itu kepada Sova. Sova yang sudah mengira siapa yang menghubungi Hani
Sova tak pernah mengira akan bertemu lagi dengan orang tersebut. Rasa kesal yang baru saja melanda karena kabar bahwa dirinya sudah dinikahi, ternyata sedikit terlupakan saat melihat sosok suaminya. “Duduk si sini, Neng!” pinta pak RT yang sedari tadi duduk di tempat saksi, menepuk karpet yang tak diduduki siapa pun, tepat di samping mempelai pria. Roy menyunggingkan senyumannya kepada Sova. Senyuman tulus sebagai tanda bahwa lelaki itu menikahi Sova dengan baik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat berbicara di sambungan telepon. “Ayo!” Lina berdiri untuk menuntun Sova duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pak RT, tepat di samping lelaki yang baru menjadi suaminya. Sova pun menurut, melangkahkan kakinya untuk duduk di samping Roy. Seolah mengerti dengan kegelisahan yang sofa rasakan, Pak RT dengan inisiatifnya sendiri membuka galeri video yang ada pada ponsel miliknya. Ia memperlihatkan sebuah video kepada Sova, “Ini, saat ijab kabul tadi!"
“Aaahhh... “ Mendengar teriakan Sova, seketika Roy bangkit dan berlari tunggang langgang. “Ada apa?” tanya Roy seraya menarik Sova dari guyuran shower di atas bathtub, di dalam toilet. Roy menarik Sova keluar dari bathtub sekuat tenaga, sampai kaki Sova terpentuk sisi bathtub. “Ada apa?” tanya Roy lagi sambil melihat ke arah Sova yang masih memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bekas air yang mengguyur dari ujung kepalanya. “Kang, lepas dulu!” pinta Sova masih memejamkan matanya. Sova berada dalam pelukan Roy karena lelaki itu menarik paksa Sova yang berada di bawah guyuran shower, di atas bath tub. Roy yang melihat Sova basah, seketika hasratnya membuncah. Terlebih lekuk tubuh Sova yang membentuk, sangat menantang untuk segera Ia jamah. Bibir Sova yang seksi dan berwarna merah alami, membuat pikiran Roy semakin kotor. Tapi, hatinya yang mengatakan bahwa Sova Ia nikahi bukan untuk Ia jadikan budak nafsu, segera menahan hasrat yang sudah lama Ia pendam. Hasrat yang Ia kubur be
Roy bergegas mengeluarkan ponselnya. Sambil terus melangkah menjauhi ruangan rawat inap yang ditempati pak Harun, Roy pun segera menghubungi Beni. Tak membutuhkan nada panggilan lebih banyak, Beni, sang tangan kanan Roy langsung menerima panggilan darinya. “Malam, Bos!” ucap Beni di sebrang telepon. “Di mana?” tanya Roy tanpa basa-basi. “Baru sampai rumah. Ada yang bisa saya lakukan, Bos?” tanya Beni. Ada rasa tak tega di hati Roy saat mendengar titik keberadaan Beni. Padahal, biasanya Ia seolah sudah tak memiliki empati terhadap Beni. Jika dia membutuhkan sesuatu, apapun caranya harus terlaksana saat itu juga. “Siapa yang jaga di sini?” tanya Roy pada akhirnya. “Agus, Heru dan Jack. Apa Bos tak melihat keberadaan mereka?” tanya Beni memastikan. Masalahnya, selama dia mengawali pernikahannya, Roy sudah meminta bodyguard bayangan agar tak menimbulkan kecurigaan untuk Sova, maupun orang-orang yang berada di sekitar Sova. “Bilang saja sama mereka, carikan baju untuk aku d