"Nit, boleh Mbak masuk?"Kepala Mbak Wati melongok ke dalam ruangan dapur rumah Nita. Istri Adam itu sedikit terlonjak kaget karena setiap kali sedang memasak maka Nita akan memfokuskan dirinya pada masakan di atas wajan. "Astaghfirullah, Mbak! Bikin kaget aja sih," gerutu Nita sedikit kesal. "Untung gak punya riwayat sakit jantung!"Mbak Wati nyengir. Dia melenggang masuk dan meletakkan satu mangkuk kolak hangat di atas meja makan rumah Nita."E-- eh, tumben?" Nita mengernyit curiga. "Gak lagi mau minta bantuan yang aneh-aneh kan? Ini bukan sogokan kan?"Mbak Wati terkekeh. Dia duduk di salah satu kursi yang tertata rapi melingkari meja makan. Nita masih bergeming, merasa mimpi dengan perubahan iparnya yang ... sangat tiba-tiba. Apakah memang menyadari kesalahan bisa terjadi secepat ini? "Mbak sengaja buat kolak banyak, makan sama suamimu nanti ya!" kata Mbak Wati membuka percakapan. "Maaf, cuma bisa ngasih kolak sebagai permintaan maaf."Nita seketika melirik meskipun tangannya ma
Tenggorokan Nita tercekat. Sakit sekali rasanya menahan tangis sejak tadi. "Mbak gak lagi bercanda kan?" tanya Nita di sela-sela tangisnya. "Gak lagi bikin prank kan?"Mbak Wati menjigak kepala adik iparnya itu dengan kesal. "Air mata Mbak mengandung kebohongan ya?"Nita menggeleng. Masih dalam posisi memeluk Mbak Wati yang juga menangis menyesali semua perbuatannya. Demi apa, dia hampir menyia-nyiakan ipar sebaik Nita."Terima kasih, Mbak. Terima kasih sekali," ucap Nita dengan suara bergetar. "Mbak mau menganggapku sebagai adik, iya?"Mbak Wati mengangguk. "Kamu memang adik kami. Adik Mbak dan Bang Hadi. Kamu dan Adam. Kita keluarga, Nit."Nita semakin terisak. Bukan waktu yang sebentar hidup dalam luka karena mendapat banyak perlakuan buruk dari Mbak Wati selama ini. Dua tahun bukan waktu yang sebentar bagi Nita untuk melupakan semua sakit hatinya di masa lalu. Namun, melihat air mata dan ketulusan Mbak Wati da
"Bawa apa kamu ke rumah Nita tadi?"Mbak Wati menghentikan langkah ketika Bulek Murni bertanya dan berdiri di samping rumahnya sambil bersedekap dada."Kolak, Bulek.""Oh, gitu ya kamu sekarang ... ngasih kolak ke Nita sama Bulek kamu lupakan, iya?""Eh?" Mbak Wati keheranan. "Kolak Bulek di meja dapur. Tadi aku panggil-panggil gak keluar, jadi aku taruh di atas meja. Coba Bulek lihat.""Halah, alasan!" Suara Bulek Murni meninggi. "Kamu sengaja kan gak mau ngasih Bulek kolak?! Mentang-mentang sudah baikan kamu sama Nita, iya?""Bukan begitu, Bulek ....""Sudah lah, istri keponakanku memang gak ada yang peka. Kamu tau kan kalau Bulek ini orang yang dituakan, harusnya dahulukan Bulek, bukan malah Nita!" Bulek Murni naik pitam melihat Mbak Wati yang mulai akur dengan iparnya. "Jangan mentang-mentang sudah baikan lalu kamu melupakan Bulek gitu aja. Dosa kamu! Zalim!"Hadi yang baru saja keluar dari rumah Adam seketika mengerutkan kening ketika matanya menatap pada sosok Mbak Wati yang ber
"K-- kok adu jotos, Dam? Mana unggah-ungguh kamu sama Paklik, hah?"Adam menoleh sengit. Kedua tangannya sudah bersiap mengepal dan sekali hajar saja dia bisa pastikan kalau Paklik menggelepar di depan rumahnya."Aku tidak peduli lagi tentang unggah-ungguh, Paklik ... keterlaluan! Sudah berapa tahun kami mengalah, tapi kalian ... masih saja berusaha membodohi kami!" Napas Adam tersengal. Mati-matian dia berusaha menahan dirinya agar tidak bertindak di luar kendali mengingat dua orang paruh baya itu adalah keluarganya. "Selama ini kami diam karena menghargai kalian, tapi ternyata makin lama Bulek dan Paklik makin tidak bisa diberi hati. Apa perlu aku memutuskan hubungan kekeluargaan ini sekarang juga?!"Paklik menatap ragu pada sosok pria yang dulu sering kali dia hardik ketika remaja. Sungguh, waktu sudah membuat banyak perubahan pada diri Adam dan Hadi. "Buka mata Bulek, sudah disakiti, ditinggal selingkuh, dibohongi hingga semua uang panen habis tak bersisa tapi masih saja memperta
"Mbak ... Bulek ...."Nita hendak berlari namun Mbak Wati segera mencekal pergelangan adik iparnya itu sambil menggeleng takut. "Cari mati kamu kalau datang kesana, Nit. Tunggu Mas Hadi atau Adam pulang," saran Mbak Wati ragu. "Kita ini wanita, sekali pukul langsung ...." Mbak Wati memperagakan gaya preman yang sedang menyayat leher di depan Nita."Mbak, tapi kasihan Bulek," ucap Nita cemas. "Kita minta bantuan warga ya, ayo!""Aakkhh ... ampun, Pak! Hu ... hu ... hu ...."Mendengar suara Bulek yang semakin pilu, Mbak Wati dan Nita segera berlari tanpa banyak bicara lagi. Tujuan mereka kali ini adalah rumah Pak RT. Rumah paling megah yang letaknya sedikit berada di ujung. Melihat Nita dan Mbak Wati berlarian, Seila dan Berta yang kebetulan berada di depan rumah justru menggoda keduanya."Cie ... yang sudah akur. Olahraga nih," celetuk Seila. "Mau dong diajakin."Berta dan Seila tertawa sementara Nita dan Mbak Wati tuli pada godaan dua bestie itu di depan rumah mereka."Nit, kenapa?"
Bugh ....Satu bogeman kuat mendarat asal di rahang Paklik. Pria paruh baya itu terjerembab bahkan dua pria yang sengaja memeganginya pun berjalan mundur. Napas Adam tersengal. Dia gelap mata tatkala melihat tubuh Bulek yang hancur berantakan."Pria gak tau diri!" bentak Adam. "Mau kamu bunuh Bulek kami, iya? Mau kamu kirim dia ke akhirat sementara Paklik bersenang-senang dengan harta peninggalannya, begitu?"Bugh ....Tendangan kaki Adam tepat mengenai wajah Paklik hingga bercak darah mulai terlihat di pipinya. "Yang pantas mati itu Paklik! Biar aku hajar sampai ....""Mas!" Nita berteriak dan memeluk lengan suaminya. "Kalau begini, bukan Paklik yang masuk Penjara tapi kamu!" hardiknya sambil menangis. "Serahkan urusan ini ke Polisi, kita rawat Bulek. Jaga emosimu!""Jaga emosi kamu bilang?! Melihat Bulek hampir mati di tangan pria brengsek seperti dia, kamu masih ingin Mas menjaga emosi, hah?"Nita memejamkan matanya erat. Dia paham jika bentakan yang Adam lontarkan semata karena h
"Cepat, Mas!" teriak Seila lantang. Suaminya seketika berlari semakin kencang karena teriakan Seila. "Lebih cepat lagi! Rugi kamu menjadi juara lomba lari kalau sampai disini kurang dari satu menit!" imbuhnya masih berteriak. Sementara di dalam rumah, Adam menepuk-nepuk lembut pipi Bulek berharap wanita paruh baya itu mau membuka mata."Buka mata, Bulek! Tolong ... dengarkan Adam, buka mata Bulek!"Mbak Wati dan Nita semakin kalut. Tangis keduanya semakin membuat Adam kebingungan."Ayo, Mas Adam, mobil sudah di depan," kata Seila. Adam segera membopong tubuh Bulek sendirian. Benar-benar sendirian. Kemarahan membuat tenaganya jauh lebih kuat meskipun tubuh Bulek tergolong berisi. Tidak, banyak lemak seharusnya. Gendut. Di teras rumah, Paklik menangis meminta maaf dan meneriaki istrinya. "Buk, maafkan Bapak, Buk!" teriak Paklik. "Buk ...."Bugh ....Adam sempat menendang tubuh Paklik yang menghalangi jalannya. Suami Nita itu benar-benar menjadi pria mengerikan sore ini. Kelembutan hat
Mbak Wati menghela napas lega ketika melihat suaminya menggandeng tangan Farhan menjauhi teras rumah Bulek. Setidaknya, wajah Paklik tidak semakin babak belur karena ulah Hadi. Kasihan, batin Wati. "Tolong Paklik diamankan dulu, Pak RT," kata Mbak Wati cemas. "Nanti kalau tetap disini sampai polisi datang, khawatir Mas Hadi gelap mata. Paklik bisa-bisa meregang nyawa saat ini juga."Wajah Paklik pias. Salah satu matanya sudah terasa semakin membengkak karena pukulan tangan Adam yang tidak main-main. Kalau sampai Hadi keluar lagi dan melampiaskan amarahnya, bisa dipastikan wajah Paklik sudah habis tak bersisa. "Selamatkan aku, Pak RT. Ayo!" rengek Pak RT takut. "Bawa aku sembunyi, mending masuk bui daripada mati di tangan keponakan sendiri," ucapnya dengan suara bergetar. "Biarkan saja lah, biar Mas Hadi hajar sekalian. Berani menyiksa istri sendiri harusnya paham konsekuensinya. Apalagi Bulek Murni punya dua keponakan yang pasti gak akan tinggal diam melihat Bulek mereka dihajar ha
"Mas ...."Nita merintih ketika perutnya dirasa semakin mulas. Keningnya mengkerut. Bibirnya meringis sambil sesekali kedua tangannya meremas seprai dengan cukup kuat."Mas Adam!" teriak Nita. Entah kemana Adam, malam ini Nita tidak mendapati suaminya tidur di ranjangnya. "Mas!" teriaknya lagi.Nita menangis. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat agar rasa sakit sedikit berkurang. "Mas Adam ...."Nita mencoba berdiri. Sejak sore dia memilih tidur karena perutnya terasa tidak nyaman. Berulang kali kandung kemihnya terasa penuh. Bahkan Nita merasa jika intensitas buang air kecilnya semakin sering. Nita terlalu awam. Dia berpikir jika mendekati hari persalinan maka semua hal yang ia rasakan adalah wajar. Malam ini, tepat pukul dua belas malam, dia meraba bagian belakang tubuhnya dan ...."Basah?" gumam Nita sambil sesekali meringis. "Apa iya aku ngompol?" imbuhnya. Nita meremas ujung dasternya. Sakit yang ia rasakan semakin terasa sering. Dia memindai kamar, namun sosok Adam tidak ia temu
Nita terpingkal-pingkal menceritakan kejadian pagi tadi pada Adam. Pun dengan Wati, ipar beradik itu sangat bersemangat membahas betapa kerennya Bulek mengusir Mesaroh beserta kedua orang tuanya jug Hafsah dan suaminya."Masa Bulek bilang begitu?" tanya Adam sambil tersenyum. "Bulek bilang mau mengirim tai-tai Paklik ke rumah Mesaroh, begitu? Serius?"Nita berulang kali mengangguk membenarkan. Tidak lupa pula tawa renyah menghiasi bibirnya yang ranum. "Badas emang Bulek," ucap Adam kemudian. "Baik-baik kalian, Bulek sudah gak punya siapapun selain kita."Tawa Nita berhenti. Dia mengangguk sendu dan berkata. "Tentu, Mas. Sejak awal kita menikah bukankah ini yang aku harapkan? Aku ingin kita semua akur selayaknya keluarga."Adam mengusap pucuk kepala Nita lembut. Harapan yang istrinya miliki ternyata dapat terwujud. Jika dulu hari-hari Nita dipenuhi dengan isak tangis dan rasa kesal karena selalu mendapat perlakuan buruk, lain dengan sekarang ... dia sudah mendapatkan kasih sayang dari
"Wanita serakah! Kembalikan hak anakku! Licik, culas!" teriak Mesaroh.Berta dan Seila saling sikut. Tiba-tiba dua wanita itu tertawa lebar dan Berta berteriak. "Lagi ngaca ya, Mbak? Kok pas banget ucapan sama kelakuan. Pasti ada kaca transparan ya?"Mesaroh menoleh. Lagi-lagi dia mencak-mencak dan kembali masuk ke dalam rumah Bulek membawa sisa-sisa dongkol akibat sikap Hafsah. "Jadi bagaimana ini, Bu Murni?" tanya Mesaroh gusar. "Seharusnya anakku dapat bagian ....""Kalau begitu kita urus saja masalah ini ke ranah hukum. Bagaimana?"Bu Murni dan suaminya saling pandang. "hu-- hukum? Untuk apa?""Ya, kalau Mesaroh masih belum yakin kalau semua yang aku miliki ini murni milikku, kita bisa usut ini ke ....""Eng-- enggak perlu," sela Bu Minah. "Kami ... percaya kalau tidak ada harta yang Kusni miliki di rumah ini. Kalau begitu ... kami permisi!"Bu Murni dan suaminya menarik tangan Mesaroh cukup kuat. Putrinya itu meronta-ronta dan menolak pergi karena calon bayinya belum mendapatkan
"Permisi," kata Mesaroh ketus. "Aku boleh masuk ke rumah suamiku kan?"Mesaroh bersedekap dada sementara Emak dan Bapaknya berdiri di belakang dengan wajah yang tak kalah ketus."Suamimu?" Ulang Hafsah bingung. "Ini rumah Mbak Murni sama Mas Kusni, kamu salah alamat?""Dia memang istri Masmu," sahut Bulek. Hafsah terkejut. Dia menganga melihat wanita yang berusia lebih muda darinya rela menjadi istri Paklik. "Dia juga sedang hamil keponakan kamu, Haf.""Apa?!" pekik Hafsah. "Ha-- hamil?"Bulek mengangguk. Dia mempersilahkan Mesaroh dan kedua orang tuanya untuk masuk dan duduk bersama dengan Hafsah dan suaminya."Kalau boleh tau, untuk apa datang ke rumahku, sudah tau kan kalau suamimu itu ada penjara?" tanya Bulek sarkas. "Oh ya, ingat baik-baik, Mesaroh, ini rumahku bukan rumah suamimu. Paham?"Mesaroh melengos namun tidak dengan Bu Minah. Wanita yang usianya sepadan dengan Bulek itu menatap sengit ke arah Nita dan Wati bergantian. "Astaga ... sejak kapan Mas Kusni punya istri, Mbak
Dua hari setelah Bulek dirawat di Rumah Sakit, hari ini keadaannya sudah semakin membaik dan diperbolehkan pulang oleh dokter yang bertugas. Nita dan Wati membantu mengemas barang-barang sementara Adam menyelesaikan biaya administrasi dan Hadi membantu Bulek berjalan menuju parkiran mobil. "Bulek bisa jalan sendiri," kata Bulek pada Hadi. "Bulek sudah sembuh, Hadi.""Jangan banyak bicara, Bulek!" hardik Hadi dingin. "Kalau ada keponakan mau bermanja-manja begini, Bulek diam saja!"Bulek tersenyum tipis. Hadi memang berbeda dengan Adam. Suami Wati ini sedikit kesulitan beramah tamah. Namun hatinya sangat baik dan semua orang paham karakter Hadi."Maafkan Bulek ya ....""Sekali lagi Bulek minta maaf, aku yakin pasti dapat hadiah piring," cibir Hadi. Bulek terkekeh. Hatinya menghangat mendapat perlakuan istimewa dari keponakannya yang selama ini terkesan menjaga jarak."Bulek buruk sekali dulu ....""Ya, memang," sahut Hadi gamblang. "Kalau sampai setelah ini Bulek belum juga berubah m
"Boleh ya, Mas Adam, aku harus menuntut hak buat calon bayiku."Adam hendak bangkit, namun Hadi mencekal pergelangan tangan adiknya dan menggeleng samar. "Duduk!"Dengan terpaksa suami Nita itu kembali duduk setelah menyentak napas kasar. "Ngelunjak!" desis Adam geram.Hadi bangkit. Dia berjalan dan mendekati Mesaroh yang terlihat sudah bersiap dengan tas selempang di pundaknya. "Ayo, Mas! Aku ini Bulek muda kalian, tolong lah kerja samanya!""Kita balik sekarang ya, Wat?" tanya Hadi pada istrinya. Wati mengangguk, Bu Asih dan Pak Panijo memahami keadaan anak menantunya. Senyum lega terbit di bibir Mesaroh, dia merapikan rambut dan bajunya saat Adam dan Hadi berjalan mendekati mobil mereka. Wati mendapat giliran terakhir mencium punggung tangan Emak dan Bapak sambil sejenak memeluk pasangan tua yang sudah membesarkannya selama ini. "Kalau Farhan sudah libur, kami kesini lagi, Mak.""Jangan pikirkan Emak dan Bapak, urus suami dan anakmu dengan baik. Hati-hati di jalan."Wati menganggu
"Janggal ya, dua tahun Mesaroh hilang tapi baru dicari beberapa hari belakangan kan? Mana langsung ketemu pula, kan aneh?" kata tetangga Mey. "Apalagi sampai bisa renovasi rumah, padahal suami Bu Minah gak kerja. Dapat uang darimana coba?""Iya, baru dicari sudah langsung ketemu, kenapa gak dicari dari dulu saja?" celetuk yang lain. "Janggal ya, aneh!"Kasak-kusuk tetangga santer terdengar. Mesaroh kesal, dia menghentak-hentakkan kaki dan melangkah masuk ke dalam kamar dengan perasaan dongkol."Tau apa kalian, jangan menuduh sembarangan! Sana pergi!" hardik Bu Minah. "Tetangga gak punya akhlak!"Para tetangga membubarkan diri sementara di rumah Bu Minah, wanita paruh baya itu marah-marah karena rencananya gagal total."Kamu seharusnya bisa gerak cepat, Saroh! Kalau sudah begini, sia-sia dua tahun kamu berpura-pura gila!" Bu Minah marah-marah dengan suara tertahan. Khawatir para tetangganya mendengar apa yang mereka ributkan. "Harusnya rumah Kusni bisa jadi milik kamu! Bodoh!"Mesaroh
"Kenapa, Mak?" Mesaroh datang dan menatap satu per satu orang yang ada di ruang tamu rumahnya. "Mas Kusni mau menikah ulang hari ini, Mak?" tanya Mesaroh sambil tersenyum malu. "Mana dia, kenapa gak manggil aku?"Bu Minah menunduk dalam. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini karena bagaimanapun kehamilan Mesaroh tanpa suami tentu menjadi aib untuknya."Nak, kasihan Mesaroh ... setidaknya beri sedikit harta gono-gini untuk calon bayinya," ucap Bu Minah memelas. Sangat berbeda dengan sikapnya beberapa menit yang lalu. Sungguh, Ibu Mesaroh ini adalah wanita yang pandai mengubah air muka dengan cepat. "Anu ... itu ... kalian ini kan keponakan istrinya Pak Kusni, setidaknya berikan sedikit bagian untuk Maesaroh. Anak yang dia kandung ini sepupu kalian loh."Hadi terkekeh sinis sementara Adam melengos mendengar suara Bu Minah yang mendadak berubah lembut. "Bu ... astaghfirullah," gumam Hadi sambil geleng-geleng. "Kami ini keponakan Bu Murni istri Pak Kusni. Jadi, semua yang berurusan d
Wati geleng-geleng. Bu Minah yang dia lihat sekarang seperti bukan Bu Minah yang datang ke rumah Bulek tempo hari. Sangat berbeda. "Bagaimanapun pernikahan anakku sama Paklik kalian itu gak sah! Dan besok aku mau Mesaroh dinikahi secara resmi, maharnya sertifikat rumah karena setelah menikah Mesaroh akan tinggal bersama suaminya." Bu Minah berbicara panjang lebar. "Harusnya begini sejak kemarin-kemarin, kenapa kalian sebagai keponakan ini gak peka sama sekali? Paklik kalian seharusnya diarahkan buat menikahi anakku secara resmi, bukan malah dilarang apalagi sampai diancam segala. Hei, sadar diri kalian ini, itu rumah punya Paklik kalian, kenapa kalian berdua justru marah-marah kalau Mesaroh minta mahar yang fantastis?!" Adam dan Hadi berusaha menahan emosinya. Kedua adik beradik itu saling pandang sambil menghela napas panjang. Bibir Wati hendak terbuka, namun Hadi menggenggam jemari istrinya memberikan isyarat agar diam.Wati menelan ludahnya kasar. Hampir saja mulutnya yang tajam