Nita terpingkal-pingkal menceritakan kejadian pagi tadi pada Adam. Pun dengan Wati, ipar beradik itu sangat bersemangat membahas betapa kerennya Bulek mengusir Mesaroh beserta kedua orang tuanya jug Hafsah dan suaminya."Masa Bulek bilang begitu?" tanya Adam sambil tersenyum. "Bulek bilang mau mengirim tai-tai Paklik ke rumah Mesaroh, begitu? Serius?"Nita berulang kali mengangguk membenarkan. Tidak lupa pula tawa renyah menghiasi bibirnya yang ranum. "Badas emang Bulek," ucap Adam kemudian. "Baik-baik kalian, Bulek sudah gak punya siapapun selain kita."Tawa Nita berhenti. Dia mengangguk sendu dan berkata. "Tentu, Mas. Sejak awal kita menikah bukankah ini yang aku harapkan? Aku ingin kita semua akur selayaknya keluarga."Adam mengusap pucuk kepala Nita lembut. Harapan yang istrinya miliki ternyata dapat terwujud. Jika dulu hari-hari Nita dipenuhi dengan isak tangis dan rasa kesal karena selalu mendapat perlakuan buruk, lain dengan sekarang ... dia sudah mendapatkan kasih sayang dari
"Mas ...."Nita merintih ketika perutnya dirasa semakin mulas. Keningnya mengkerut. Bibirnya meringis sambil sesekali kedua tangannya meremas seprai dengan cukup kuat."Mas Adam!" teriak Nita. Entah kemana Adam, malam ini Nita tidak mendapati suaminya tidur di ranjangnya. "Mas!" teriaknya lagi.Nita menangis. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat agar rasa sakit sedikit berkurang. "Mas Adam ...."Nita mencoba berdiri. Sejak sore dia memilih tidur karena perutnya terasa tidak nyaman. Berulang kali kandung kemihnya terasa penuh. Bahkan Nita merasa jika intensitas buang air kecilnya semakin sering. Nita terlalu awam. Dia berpikir jika mendekati hari persalinan maka semua hal yang ia rasakan adalah wajar. Malam ini, tepat pukul dua belas malam, dia meraba bagian belakang tubuhnya dan ...."Basah?" gumam Nita sambil sesekali meringis. "Apa iya aku ngompol?" imbuhnya. Nita meremas ujung dasternya. Sakit yang ia rasakan semakin terasa sering. Dia memindai kamar, namun sosok Adam tidak ia temu
"Beli kulkas baru, Nit?"Nita mengangguk ragu sambil mempersilahkan petugas toko membawa masuk kulkas barunya. "Buat apa sih, Nit? Ngabisin duit aja, kasihan Adam yang kerja, eh di rumah istrinya malah ngabisin duit beli hal-hal nggak guna!" hardik Wati-- istri dari Hadi, kakak Adam-- suami Nita."Ini bukan hal nggak guna, Mbak. Kulkas juga penting loh, apalagi aku kesulitan stok bahan makanan kalau nggak ada kulkas. Mbak tau sendiri kan kalau Mas Adam nggak mau makanan yang sama buat nanti sore," elak Nita membela diri. "Halah, itu sih cuma akal-akalan kamu saja, buktinya dulu waktu ikut sama Ibu, Adam itu pemakan segala!""Ya itu kan dulu, Mbak. Lain dulu lain sekarang dong!" sahut Nita tak mau kalah. "Lagipula kenapa Mbak yang marah-marah sih, Mas Adam saja nggak keberatan loh kalau aku bebelian barang elektronik.""Kamu itu ya, suka ngeyel kalau dibilangin!" seru Wati, "Aku itu kasihan sama adik iparku yang tenaganya kamu peras tapi hasil kerja malah dibuat foya-foya begini. Men
"Eh, tunggu, gimana maksudnya, Mbak?" Adam memicingkan mata sambil menatap Mbak Wati keheranan. "Kalau aku belikan Nita kulkas, itu karena dia kesulitan untuk menyetok bahan makanan. Nah, urusannya sama Farhan apa?"Mbak Wati berdecak sebal. Wanita bertubuh agak berisi itu bersedekap dada sembari menatap Nita yang tersenyum penuh kemenangan."Ya jangan begitu lah, Dam. Kamu kan tahu kalau Farhan itu suka banget sama es, Mbak mau beli kulkas juga Masmu belum punya uang. Lagian gak ada salahnya kan kamu menyenangkan hati Farhan," seru Mbak Wati tidak mau kalah. "Kamu sama Nita itu belum ada anak, anggap saja Farhan itu anak kalian, jadi kalau Nita beli apa-apa, usahakan Farhan juga dapat."Adam melongo. "Bisa begitu ya, Mbak?" tanya Adam sok lugu. Mbak Wati mengulas senyum penuh kemenangan sambil berkata. "Ya bisa dong! Anggap saja anak Mbak sama Masmu itu juga anak kamu. Jangan sungkan, Dam," ucap Wati legowo. "Mbak tau gimana rasanya nikah bertahun-tahun tapi belum dikaruniai anak, mu
"Bulek lupa siapa aku?" tanya Nita sengit. "Aku istri Mas Adam, aku juga punya hak atas rumah ini!""Kamu ikut andil apa memangnya?" sahut Bulek sinis. "Sudahlah, lagipula Wati cuma ambil ....""Cuma?" seru Nita semakin kesal. "Semua yang Bulek lihat di lantai itu hanyalah cuma buat Bulek?"Bulek Murni menelan ludahnya kasar sementara Wati melengos melihat Nita yang semakin menjadi."Jangan diambil ribut lah, Nit!""Keluar!" teriak Nita, "Keluar sekarang juga!""Nit, kamu sudah keterlaluan ....""Aku nggak peduli!" sela Nita cepat. "Keluar atau aku seret tubuh kalian berdua!"Bulek Murni menyikut lengan Wati. Keduanya saling pandang dan mengangguk samar."Nasib buruk apa yang menimpa kita, Wat. Bisa-bisanya Adam punya istri seperti dia," gerutu Bulek Marni. "Seharusnya dulu Bulek kekeuh saja jodohkan dia sama Melani, dia berpendidikan, bisa menghormati yang lebih tua."Wati mengangguk takut. Wanita berusia tiga puluh tahun itu menunduk hendak memungut beberapa bahan dapur yang bercece
"Farhan! Farhan!"Nita yang sedang membereskan alat memasak dibuat kaget dengan suara Mbak Wati yang berteriak di depan rumahnya."Farhan, keluar kamu, Nak!""Farhan!"Nita segera mengelap tangannya yang basah dan berjalan ke tergesa menghampiri Farhan yang sekarang justru tertidur pulas di depan Televisi yang masih menyala."Cepat sekali anak ini tidur," gumam Nita lirih."Nita! Buka pintunya, jangan kau culik anakku!" teriak Mbak Wati jauh lebih lantang lagi.Nita mendelik, baru saja emosinya mereda akibat ulah ipar unik satu itu, kini Mbak Wati sudah datang dan menyulut emosinya untuk yang entah ke berapa kali."Farhan, keluar kamu, Nak! Ibu ada di depan!"Ceklek ....Beberapa tetangga terlihat berkerumun di depan rumah Nita sementara Mbak Wati pura-pura menangis dalam pelukan Bulek Murni."Mana anakku?" bentak Mbak Wati marah. "Kenapa kamu sekap anakku, Nita?""Sekap?" Ulang Nita, "Untuk apa aku menyekap Farhan, Mbak?""Halah, jangan sok pura-pura lugu kamu, Nit! Kamu sengaja kan
"Siapa yang ngajarin kamu bicara begitu, hah? Bilang sama Mama, pasti Tante Nita kan yang suruh kamu bilang begini di depan semua orang?" hardik Wati kepalang malu.Farhan menggaruk pelipisnya sambil memicing. "Mama kenapa marah-marah sih? Ibu Guru bilang, kalau ada orang yang nasehatin kita, harus didengar, gak boleh marah-marah.""Halah, banyak omong kamu! Ayo pulang, dan jangan datang kesini lagi. Haram kamu menginjakkan kaki di rumah ini, Farhan. Dengar apa kata Mama kan?"Farhan mengangguk takut sementara beberapa tetangga yang menyaksikan keributan di depan rumah Nita bisa menyimpulkan dengan sendiri siapa yang salah dan benar karena setiap hari mereka pun menjadi saksi betapa kerap Farhan bermain di rumah Nita hingga menjelang malam. Tidak mungkin seorang anak bisa betah berlama-lama dengan orang lain selain kedua orang tuanya kecuali memang Nita yang memperlakukan Farhan dengan sangat baik sehingga membuat bocah kecil itu merasa nyaman."Jangan racuni otak anak-anak, Mbak Wati
"Astaghfirullah, Bulek Murni, sudah benar tindakan Adam membela Nita. Jangan jadi orang tua yang hasad," tegur Mpok Faridah-- tetangga samping rumah Mbak Wati. "Seharusnya 'sampean' itu bangga punya keponakan yang sayang istri, tidak mudah terpengaruh omongan orang lain. Kalau Adam jadi menantuku, sudah kubangga-banggakan seantero kampung."Bulek Murni mencebik. "Jangan ikut campur kamu, Dah! Ini urusan keponakan sama Buleknya!" hardik Bulek Murni kesal."Tau nih, pulang sana, Mpok! Kenapa para pendatang di kampung ini suka sekali mencampuri urusan orang lain sih, hah?""Lah, kalau gak mau tetangga tau masalah kalian, gak mau dapat komentar dari tetangga, ya jangan ribut di depan rumah dong. Gak tau malu!"Mpok Faridah menggerutu sambil berlalu meninggalkan halaman rumah Nita yang masih memanas. "Tuh kan, Dam, gara-gara tindakan kamu yang berat sebelah ini jadinya para tetangga sudah gak menghargai Bulek lagi!" "Bulek, dengarkan aku!" pinta Adam, "Nita adalah istriku, aku memintanya