Share

Status WhatsApp Ipar
Status WhatsApp Ipar
Author: Lian Nai

Wati, oh Wati

"Beli kulkas baru, Nit?"

Nita mengangguk ragu sambil mempersilahkan petugas toko membawa masuk kulkas barunya. 

"Buat apa sih, Nit? Ngabisin duit aja, kasihan Adam yang kerja, eh di rumah istrinya malah ngabisin duit beli hal-hal nggak guna!" hardik Wati-- istri dari Hadi, kakak Adam-- suami Nita.

"Ini bukan hal nggak guna, Mbak. Kulkas juga penting loh, apalagi aku kesulitan stok bahan makanan kalau nggak ada kulkas. Mbak tau sendiri kan kalau Mas Adam nggak mau makanan yang sama buat nanti sore," elak Nita membela diri. 

"Halah, itu sih cuma akal-akalan kamu saja, buktinya dulu waktu ikut sama Ibu, Adam itu pemakan segala!"

"Ya itu kan dulu, Mbak. Lain dulu lain sekarang dong!" sahut Nita tak mau kalah. "Lagipula kenapa Mbak yang marah-marah sih, Mas Adam saja nggak keberatan loh kalau aku bebelian barang elektronik."

"Kamu itu ya, suka ngeyel kalau dibilangin!" seru Wati, "Aku itu kasihan sama adik iparku yang tenaganya kamu peras tapi hasil kerja malah dibuat foya-foya begini. Mending juga ditabung, siapa tau ada saudara yang butuh pinjaman."

"Seperti meminjamkan uang ke Mbak Wati, begitu maksud Mbak?"

Wajah Wati memerah. Tiap kali berbicara dengan Nita memang ia tidak pernah menang. Ada saja kalimat-kalimat yang akan dikembalikan oleh Nita pada Wati. 

"Kok kamu masih ungkit-ungkit utangku sih?"

"Siapa yang ungkit-ungkit, Mbak? Aku cuma nanya, kan kamu sendiri yang bilang mending uangnya ditabung biar kalau ada saudara yang pinjam bisa kasih pinjaman. Selama ini yang berani pinjam uang ke kita cuma Mbak Wati loh," cibir Nita. 

"Lagipula aku ini bukan orang lain, Nita! Aku ini ipar suamimu, memang salah kalau aku dan Mas Hadi pinjam uang ke kalian, lagipula kalian belum punya anak, pengeluaran juga nggak banyak kan?"

Nita menghela napas kasar. Selalu saja ucapan Wati merepet pada urusan anak. Jika sudah begini, maka mau tidak mau wanita itu memilih untuk diam daripada harus menanggung luka karena sentilan yang sengaja Wati lontarkan.

"Diingetin yang baik malah nyolot, pake segala bahas utang, lagipula berapa sih utangku, cuma lima juta doang! Dasar nggak tau diri, kamu itu cuma orang yang kebetulan diberi kepercayaan sama Adam buat atur uangnya, jangan belagu!"

Nita geleng-geleng mendengar ucapan Wati yang semakin melantur. Semakin ditanggapi, maka akan semakin kesana dan semakin kesini. Definisi panas hati melihat orang lain senang, namun berusaha menutupi meskipun tidak berhasil.

"Mending kamu balikin itu kulkas, daripada adik iparku punya tanggungan cicilan nanti," seru Wati lagi.

"Bu, mohon ditanda tangani ya," ucap petugas toko. "Pembelian kulkas secara tunai, sudah kami cek dan barangnya aman, garansi satu tahun dari toko ya, Bu."

Nita mengangguk dan membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang diberikan oleh petugas toko. Setelah berterima kasih, dua orang pria yang ditugaskan oleh toko tempat Nita membeli kulkas itu pamit untuk kembali.

"Ka-- kamu beli cash?" pekik Wati sambil memegang dadanya. "Be-- berapa harganya?"

Nita melengos. "Empat juta," sahutnya cuek.

"Astaga, Nita! Kamu ini benar-benar keterlaluan ya!" hardik Wati semakin kesal. "Kamu tau kan kalau bulan depan Farhan mau ulang tahun?"

"Ya, terus? Kenapa kalau Farhan bulan depan ulang tahun, Mbak? Ngaruh gitu sama kulkas baruku?"

Wati menghembuskan napas kasar. Dilihatnya istri dari adik iparnya itu dengan tatapan tajam menguliti.

"Ya jelas ngaruh dong, Nit! Kamu lupa Farhan itu siapa? Anakku, keponakan Adam, seharusnya kamu mikir dong kalau bulan depan Farhan mau ngerayain ulang tahun, lebih baik uang buat beli kulkas ini dipakai buat sewa badut sama beli kue, bahkan masih sisa. Kamu lama-lama keterlaluan, Nit. Nggak ngotak!"

Dada Nita naik turun. Emosinya terpancing mendengar Wati yang semakin menjadi-jadi menghardiknya.

"Kenapa sih, Wat, rame amat?"

"Ini nih, Bulek ... Nita keterlaluan banget beli kulkas baru harganya empat juta, padahal kan bulan depan Farhan mau ulang tahun!" cerocosnya menggebu-gebu. "Harusnya dia kasih uang itu buat sumbangan ulang tahun Farhan, toh dia sama Adam belum ada anak ...."

"Beneran itu, Nit? Kalau benar begitu, kamu keterlaluan loh, Nit," sahut Bulek Murni-- adik almarhum Mertuanya. "Kamu harus tau diri jadi istri. Kasihan Adam nyari duit kalau kamu boros bebelian ini itu."

"Tuh, bener kan apa kubilang?" imbuh Wati seraya tersenyum sinis. "Dia itu memang nggak tau diri, Bulek. Aku sudah ingatkan, eh malah marah-marah sambil ungkit-ungkit hutang yang nggak seberapa."

"Benar-benar kamu, Nita," timpal Bulek Murni.

"Sudah, cukup!" bentak Nita membuat bibir Wati dan Bulek Murni mengatup rapat. 

"Mbak Wati lupa berapa nominal utang Mbak ke suamiku? Lima juta! Dan utang itu mangkrak sudah tiga tahun lamanya. Sekarang dengan entengnya Mbak bilang kalau itu utang nggak seberapa?" tutur Nita, "Kalau memang nggak seberapa, ya balikin dong! Jangan jadi ipar nggak tau diri!"

Napas Wati memburu melihat Nita semakin berani membuka aib-aibnya. 

"Dan satu lagi ... Farhan itu cuma keponakan kami. Keponakan Mas Adam, bukan anak kami, Mbak! Dengar ... bukan anak kami!" Suara Nita meninggi. "Kalau untuk semua biaya Farhan kamu mengandalkan Mas Adam, lalu kemana uang suamimu selama ini?"

"Nita ... kamu ...."

"Apa?" sela Nita tanpa takut."Benar kan apa kataku? Mbak nggak mendadak lupa kan kalau hampir separuh biaya sekolah Farhan sudah ditanggung Mas Adam? Mbak berharap apa lagi, semua uang suamiku kamu yang ngatur, begitu?"

"Kami memang belum punya anak, Mbak. Tapi bukan berarti aku dan Mas Adam tidak punya pengeluaran yang lain! Bukan aku yang keterlaluan, tapi kamu, Mbak!"

Nita melenggang meninggalkan Wati dan Bulek Marni yang berdiri melongo di depan rumah. Kedua tangan Wati mengepal kuat melihat tingkah Nita yang sudah mulai berani melawan.

"Lihat kan, Bulek ... si mandul itu memang nggak tau diri!" gumamnya. Nita yang sedikit mencuri dengar sambil berjalan menuju pintu pura-pura tuli dengan cibiran yang Wati lontarkan. "Sudah kubilang berulang kali, wanita yatim piatu itu serakah, tapi Adam malah nggak percaya. Sekarang Bulek tau sendiri kan, uang buat keponakan saja dia itung-itungan. Nggak tau diri! Dia pikir siapa dia?"

Brak ....

Nita menutup pintu rumah dengan kasar membuat Wati dan Bulek Marni terlonjak. Dadanya bergemuruh. Air mata siap tumpah ketika mengingat gelar yang diberikan oleh Wati kepadanya.

***

|Buat apa beli kulkas baru kalau sama keponakan sendiri pelitnya minta ampun. Ingat, kalau ada apa-apa yang dicari itu saudara, bukan barang-barang elektronik. Emang kulkas bisa menolong saat susah? Nggak ada otak!|

Jemari Nita gatal ingin membalas Status W******p yang sudah Wati bagikan. Tapi mendengar deru motor Adam seketika ia urungkan niat dan memilih berlari kecil membuka pintu untuk menyambut Sang Suami yang baru pulang bekerja.

"Adam!" 

Nita yang baru membuka pintu lagi-lagi dibuat geram dengan kedatangan Wati.

"Jailangkung!" gumam Nita sambil cemberut.

"Ada apa, Mbak?" tanya Adam. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu menanti iparnya yang nampak malu-malu untuk berbicara.

"Ada apa, Mbak Wati?" ulang Adam. "Kalau nggak ada yang penting, aku masuk!"

"Eh, tunggu!" cegah Wati cepat. "Anu ... itu ... Nita habis beli kulkas baru, kamu tau?"

"Ya tahulah! Nita kalau mau bebelian selalu ijin dulu kok. Kenapa?"

Bibir Wati mencebik. Sejurus kemudian ia melirik tajam ke arah Nita yang mengulas senyum sinis.

"Kamu kok nggak adil sih, Dam? Kalau Nita saja kamu belikan kulkas, harusnya aku juga dong ... kamu lupa kalau Farhan itu keponakan kamu?"

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status