"Mas!" seru Wati tidak terima. "Kamu kenapa jadi begini sih, cuma gara-gara omongan Nita sekarang kamu jadi dzolim sama aku?" Hadi melengos. Napasnya semakin memburu mendengar Wati yang masih saja membela diri. Tidak ada penyesalan di wajahnya karena sudah membohongi suami selama ini. Belum lagi Farhan yang ia sengsarakan karena setiap hari hanya diberi nasi hangat dan kecap."Argh, terserah!" bentak Hadi, "Lelah bicara sama kamu, Wat! Jangan harap bulan depan kamu dapat jatah belanja."Hadi berlalu meninggalkan Wati yang menitikkan air mata di ruang tamu. Hatinya terluka karena dia anggap jika suaminya sudah termakan omongan Nita. Apa salahnya berhemat demi memiliki sesuatu yang berharga. Mobil misalnya!"Kamu jahat, Mas!" teriak Wati di sela-sela tangisnya. "Tega kamu menzolimi istri!" Blam ....Hadi menutup pintu kamar tanpa peduli teriakan Wati yang semakin menjadi-jadi. Kep
Nita meredam emosinya melihat status Wati yang bertebaran di WhatsApp. Tidak ada cara lain, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk melindungi hati adalah dengan menyembunyikan status Wati agar berada di bagian bottom, yang paling bawah. Tidak akan terlihat jika memang tidak mau dilihat. Karena kemarin sore Adam ada keperluan sehingga belum sempat menemui Paklik untuk membicarakan perihal uang sewa sawah, maka pagi ini setelah sarapan bersama Sang Istri, Adam menyempatkan diri mendiskusikan masalah sawah yang mereka kelola mengingat hari ini adalah hari libur, tentu saja Paklik ada di rumah. Pikir Adam."Yakin mau menemui Paklik, Mas?" tanya Nita ketar-ketir. "Kalau ternyata Paklik sudah ngasih uang sewa, gimana?""Maksudnya?""Y-- ya, maksudku ... maaf, kalau ternyata Paklik sudah mempercayakan uang sewa pada Bulik, bagaimana?""Dan Bulek menilap uang itu, begitu maksud kamu, Nit?"Nita mengangguk ragu. "Maaf, Mas, bukannya aku menuduh Bulek ....""Ya bagus dong! Memang seharusn
"Tumben kalian main ke rumah Paklik, ada apa, Dam?"Paklik yang sedang menyulut rokok memindai tubuh Adam dan Nita bergantian. "Duduk!""Terima kasih, Paklik. Tapi ... Bulek gak bilang kalau kami mau datang?"Paklik menggeleng. "Memang kenapa? Penting sekali kedatangan kalian kali ini? Padahal rumah kita ini dekat, kamu itu juga keponakan istriku, Adam. Tapi sejak sudah menikah ... Bulek kamu itu bilang kalau kamu jarang mengunjunginya. Kenapa? Istrimu yang gak bolehin?" Nita terkejut dengan pertanyaan pembuka yang Paklik lontarkan. Pasalnya, Nita pun tidak pernah melarang Adam untuk mengunjungi Bulek. Tapi ... ah sudahlah!"Tidak, Paklik. Mana mungkin Nita melarang, lagipula setiap hari aku sama Bulek juga sering ketemu dan mengobrol sebentar di depan rumah," papar Adam. "Halah, benar kata Bulek kamu, otakmu itu sudah dicuci sama Nita."Nita menghela napas kasar. Selain Bulek dan Mbak Wati, Paklik memang menjadi salah tiga diantara mereka yang tidak menyukai pernikahannya dengan Ad
"Sakit hati karena kami mau ambil sawah yang Bulek kelola, iya?"Suara Adam meninggi. Mau tidak mau Paklik keluar dan menatap sengit ke arahnya. Terlihat Bulek juga mengekor di belakang sambil melengos enggan melihat Nita."Aku sama Bang Hadi selama ini diam bukan karena kami tidak tau apa-apa, Bulek! Aku mengikhlaskan semua yang Bulek lakukan pada kami! Tapi ... jika Bulek dan Paklik masih saja menganggap aku dan Bang Hadi tidak pernah mau membalas budi, maka sekalian saja kembalian uang penjualan sawah orang tua kami dulu! Aku dan Bang Hadi siap membayar uang makan selama tiga tahun lamanya, mulai dari aku kelas 1 SMA sampai lulus sekolah. Aku yakin ... biaya makan untukku saja tidak lebih dari seratus juta selama tiga tahun itu. Bagaimana?"Bulek menoleh dengan cepat. Tiba-tiba wanita paruh baya itu menangis dan terduduk di lantai rumahnya. "Tega kamu, Adam! Ya Allah, tega sekali keponakanku ini. Hu ... hu ... hu ....""Aku tidak mungkin semarah ini jika Paklik tau diri, Bulek! Bis
"Mas, tunggu!" Nita mengejar langkah suaminya yang semakin menjauh. Demi apa, mereka pergi tanpa mengucap salam padahal datang tadi sudah niat untuk berbicara baik-baik. Ternyata benar apa kata pepatah, "Jangan menolong orang yang tidak punya hati, atau kamu akan makan hati tiap hari."Adam menghentikan langkah tepat di depan rumah Hadi. Niat hati ingin membagi luka hatinya pada Sang Kakak, namun sepertinya disana pun sedang terjadi ketegangan yang amat sangat menegangkan.Nita menggenggam tangan Sang Suami dan mengatur napasnya yang mulai terengah."Maaf ya, Dek," kata Adam sesal. "Tapi emosi sekali sampai melupakan kamu di belakang."Nita cemberut. Belum sempat ia menunjukkan air mukanya yang sedang kesal, Adam sudah menarik tangan istrinya untuk mendekat ke arah dimana Hadi tengah berdiri di halaman rumahnya."Kenapa, Bang?" Hadi yang sedang melakukan aksi tarik menarik dengan Wati pun melepaskan tangannya secara tiba-tiba. "Tau nih, Mbakmu, main tarik-tarik aja!" gerutu Hadi me
"Pak, jawab!" bentak Bulek Murni. "Uang hasil panen masih rutin kamu tabung kan?"Paklik menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jantungnya berdegup kencang mendengar pertanyaan dari Sang Istri."Y-- ya, rutin lah!" sahutnya gugup. Bulek Murni tersenyum puas. "Bagus lah! Kalau begitu kita bisa pakai uang itu sementara sampai aku bisa membujuk Adam nanti."Paklik menghela napas kasar. "Mending kita ke rumah mereka sekarang. Jangan sampai Adam dikuasai penuh sama istrinya. Enak saja, kita yang sudah merawat mereka waktu orang tuanya meninggal, sekarang main ambil-ambil saja sawah yang sudah lama kita kelola. Harusnya gak begitu, Buk!" Paklik menggebu-gebu berbicara di depan Bulek Murni. "Kamu juga jadi orang yang dituakan jangan lemah dong! Kamu mau kalah sama Nita yang baru dua tahun jadi istrinya Adam, hah?"Dada Bulek Murni naik turun. Benar yang dikatakan suaminya, enak saja Nita mendapatkan semuanya sementara dia hanya berhasil menjual dua petak sawah dan satu kebun pada tetangganya
"Ya, sepertinya aku memang serakah, Bulek," aku Nita bangga. "Saking serakahnya aku, sampai-sampai sawah milik mendiang Ibu Mas Adam saja terjual dua petak, belum lagi ada satu sawah yang ingin aku kuasai, juga satu kebun berukuran lebar yang disewakan pada orang lain. Wah, hebat sekali aku ya, Bulek. Sangat serakah!"Wajah Bulek Murni memerah. Bibirnya mencap-mencep mendengar sindiran yang keluar dari mulut Nita. "Lancang kamu, Nit! Kalau bukan karena Adam, kamu mana bisa hidup terjamin begini!" hardik Paklik sengit.Nita lagi-lagi hanya manggut-manggut. "Ya, benar sekali!" Istri Adam itu menjentikkan jarinya. "Seharusnya Paklik sama Bulek juga berkaca, jika bukan karena harta kedua orang tua Mas Adam dan Bang Hadi, Paklik sama Bulek mana bisa menikmati hidup dari hasil berbuat culas pada keponakan sendiri. Betul apa betul?""Diam kamu, Nita!" bentak Bulek Murni. Telunjuknya mengarah tepat di wajah Nita, namun Adam tiba-tiba
"Nit, cuma lima ratus ribu ini, enteng lah buat kamu!" desak Mbak Wati, "Kamu gak kasihan sama aku, gimana kalau Bank Semok itu datang sewaktu ada Mas Hadi, mampus aku, Nit!"Nita menarik napas panjang. Baru dua hari merasakan hidupnya tenang tanpa ada suara Mbak Wati, kini ia datang membawa masalahnya untuk dibagi bersama Nita."Aku gak ada, Mbak. Uangnya dibawa Mas Adam semua," sahut Nita tidak jujur. "Kalau Mbak mau, tunggu Mas Adam pulang nanti, Mbak."Mbak Wati berkacak pinggang. Deru napasnya masih memburu mendengar penolakan dari bibir Nita."Kalau aku pinjam sama Adam, yang ada nanti ujung-ujungnya Mas Hadi tau, Nit! Kamu ini gak bisa diajak kerja sama banget sih sama ipar sendiri!"Nita meletakkan panci di tempatnya setelah ia cuci bersih sambil mendengarkan dongeng dari bibir Mbak Wati. "Kalau gak mau Mas Hadi tau, ya jangan hutang sembunyi-sembunyi dong, Mbak! Jadi ipar jangan ngajakin berbuat buruk, dosa!""Aku kepepet, Nit. Ck, ayolah!""Memang kurang jatah dari Mas Hadi
"Mas ...."Nita merintih ketika perutnya dirasa semakin mulas. Keningnya mengkerut. Bibirnya meringis sambil sesekali kedua tangannya meremas seprai dengan cukup kuat."Mas Adam!" teriak Nita. Entah kemana Adam, malam ini Nita tidak mendapati suaminya tidur di ranjangnya. "Mas!" teriaknya lagi.Nita menangis. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat agar rasa sakit sedikit berkurang. "Mas Adam ...."Nita mencoba berdiri. Sejak sore dia memilih tidur karena perutnya terasa tidak nyaman. Berulang kali kandung kemihnya terasa penuh. Bahkan Nita merasa jika intensitas buang air kecilnya semakin sering. Nita terlalu awam. Dia berpikir jika mendekati hari persalinan maka semua hal yang ia rasakan adalah wajar. Malam ini, tepat pukul dua belas malam, dia meraba bagian belakang tubuhnya dan ...."Basah?" gumam Nita sambil sesekali meringis. "Apa iya aku ngompol?" imbuhnya. Nita meremas ujung dasternya. Sakit yang ia rasakan semakin terasa sering. Dia memindai kamar, namun sosok Adam tidak ia temu
Nita terpingkal-pingkal menceritakan kejadian pagi tadi pada Adam. Pun dengan Wati, ipar beradik itu sangat bersemangat membahas betapa kerennya Bulek mengusir Mesaroh beserta kedua orang tuanya jug Hafsah dan suaminya."Masa Bulek bilang begitu?" tanya Adam sambil tersenyum. "Bulek bilang mau mengirim tai-tai Paklik ke rumah Mesaroh, begitu? Serius?"Nita berulang kali mengangguk membenarkan. Tidak lupa pula tawa renyah menghiasi bibirnya yang ranum. "Badas emang Bulek," ucap Adam kemudian. "Baik-baik kalian, Bulek sudah gak punya siapapun selain kita."Tawa Nita berhenti. Dia mengangguk sendu dan berkata. "Tentu, Mas. Sejak awal kita menikah bukankah ini yang aku harapkan? Aku ingin kita semua akur selayaknya keluarga."Adam mengusap pucuk kepala Nita lembut. Harapan yang istrinya miliki ternyata dapat terwujud. Jika dulu hari-hari Nita dipenuhi dengan isak tangis dan rasa kesal karena selalu mendapat perlakuan buruk, lain dengan sekarang ... dia sudah mendapatkan kasih sayang dari
"Wanita serakah! Kembalikan hak anakku! Licik, culas!" teriak Mesaroh.Berta dan Seila saling sikut. Tiba-tiba dua wanita itu tertawa lebar dan Berta berteriak. "Lagi ngaca ya, Mbak? Kok pas banget ucapan sama kelakuan. Pasti ada kaca transparan ya?"Mesaroh menoleh. Lagi-lagi dia mencak-mencak dan kembali masuk ke dalam rumah Bulek membawa sisa-sisa dongkol akibat sikap Hafsah. "Jadi bagaimana ini, Bu Murni?" tanya Mesaroh gusar. "Seharusnya anakku dapat bagian ....""Kalau begitu kita urus saja masalah ini ke ranah hukum. Bagaimana?"Bu Murni dan suaminya saling pandang. "hu-- hukum? Untuk apa?""Ya, kalau Mesaroh masih belum yakin kalau semua yang aku miliki ini murni milikku, kita bisa usut ini ke ....""Eng-- enggak perlu," sela Bu Minah. "Kami ... percaya kalau tidak ada harta yang Kusni miliki di rumah ini. Kalau begitu ... kami permisi!"Bu Murni dan suaminya menarik tangan Mesaroh cukup kuat. Putrinya itu meronta-ronta dan menolak pergi karena calon bayinya belum mendapatkan
"Permisi," kata Mesaroh ketus. "Aku boleh masuk ke rumah suamiku kan?"Mesaroh bersedekap dada sementara Emak dan Bapaknya berdiri di belakang dengan wajah yang tak kalah ketus."Suamimu?" Ulang Hafsah bingung. "Ini rumah Mbak Murni sama Mas Kusni, kamu salah alamat?""Dia memang istri Masmu," sahut Bulek. Hafsah terkejut. Dia menganga melihat wanita yang berusia lebih muda darinya rela menjadi istri Paklik. "Dia juga sedang hamil keponakan kamu, Haf.""Apa?!" pekik Hafsah. "Ha-- hamil?"Bulek mengangguk. Dia mempersilahkan Mesaroh dan kedua orang tuanya untuk masuk dan duduk bersama dengan Hafsah dan suaminya."Kalau boleh tau, untuk apa datang ke rumahku, sudah tau kan kalau suamimu itu ada penjara?" tanya Bulek sarkas. "Oh ya, ingat baik-baik, Mesaroh, ini rumahku bukan rumah suamimu. Paham?"Mesaroh melengos namun tidak dengan Bu Minah. Wanita yang usianya sepadan dengan Bulek itu menatap sengit ke arah Nita dan Wati bergantian. "Astaga ... sejak kapan Mas Kusni punya istri, Mbak
Dua hari setelah Bulek dirawat di Rumah Sakit, hari ini keadaannya sudah semakin membaik dan diperbolehkan pulang oleh dokter yang bertugas. Nita dan Wati membantu mengemas barang-barang sementara Adam menyelesaikan biaya administrasi dan Hadi membantu Bulek berjalan menuju parkiran mobil. "Bulek bisa jalan sendiri," kata Bulek pada Hadi. "Bulek sudah sembuh, Hadi.""Jangan banyak bicara, Bulek!" hardik Hadi dingin. "Kalau ada keponakan mau bermanja-manja begini, Bulek diam saja!"Bulek tersenyum tipis. Hadi memang berbeda dengan Adam. Suami Wati ini sedikit kesulitan beramah tamah. Namun hatinya sangat baik dan semua orang paham karakter Hadi."Maafkan Bulek ya ....""Sekali lagi Bulek minta maaf, aku yakin pasti dapat hadiah piring," cibir Hadi. Bulek terkekeh. Hatinya menghangat mendapat perlakuan istimewa dari keponakannya yang selama ini terkesan menjaga jarak."Bulek buruk sekali dulu ....""Ya, memang," sahut Hadi gamblang. "Kalau sampai setelah ini Bulek belum juga berubah m
"Boleh ya, Mas Adam, aku harus menuntut hak buat calon bayiku."Adam hendak bangkit, namun Hadi mencekal pergelangan tangan adiknya dan menggeleng samar. "Duduk!"Dengan terpaksa suami Nita itu kembali duduk setelah menyentak napas kasar. "Ngelunjak!" desis Adam geram.Hadi bangkit. Dia berjalan dan mendekati Mesaroh yang terlihat sudah bersiap dengan tas selempang di pundaknya. "Ayo, Mas! Aku ini Bulek muda kalian, tolong lah kerja samanya!""Kita balik sekarang ya, Wat?" tanya Hadi pada istrinya. Wati mengangguk, Bu Asih dan Pak Panijo memahami keadaan anak menantunya. Senyum lega terbit di bibir Mesaroh, dia merapikan rambut dan bajunya saat Adam dan Hadi berjalan mendekati mobil mereka. Wati mendapat giliran terakhir mencium punggung tangan Emak dan Bapak sambil sejenak memeluk pasangan tua yang sudah membesarkannya selama ini. "Kalau Farhan sudah libur, kami kesini lagi, Mak.""Jangan pikirkan Emak dan Bapak, urus suami dan anakmu dengan baik. Hati-hati di jalan."Wati menganggu
"Janggal ya, dua tahun Mesaroh hilang tapi baru dicari beberapa hari belakangan kan? Mana langsung ketemu pula, kan aneh?" kata tetangga Mey. "Apalagi sampai bisa renovasi rumah, padahal suami Bu Minah gak kerja. Dapat uang darimana coba?""Iya, baru dicari sudah langsung ketemu, kenapa gak dicari dari dulu saja?" celetuk yang lain. "Janggal ya, aneh!"Kasak-kusuk tetangga santer terdengar. Mesaroh kesal, dia menghentak-hentakkan kaki dan melangkah masuk ke dalam kamar dengan perasaan dongkol."Tau apa kalian, jangan menuduh sembarangan! Sana pergi!" hardik Bu Minah. "Tetangga gak punya akhlak!"Para tetangga membubarkan diri sementara di rumah Bu Minah, wanita paruh baya itu marah-marah karena rencananya gagal total."Kamu seharusnya bisa gerak cepat, Saroh! Kalau sudah begini, sia-sia dua tahun kamu berpura-pura gila!" Bu Minah marah-marah dengan suara tertahan. Khawatir para tetangganya mendengar apa yang mereka ributkan. "Harusnya rumah Kusni bisa jadi milik kamu! Bodoh!"Mesaroh
"Kenapa, Mak?" Mesaroh datang dan menatap satu per satu orang yang ada di ruang tamu rumahnya. "Mas Kusni mau menikah ulang hari ini, Mak?" tanya Mesaroh sambil tersenyum malu. "Mana dia, kenapa gak manggil aku?"Bu Minah menunduk dalam. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini karena bagaimanapun kehamilan Mesaroh tanpa suami tentu menjadi aib untuknya."Nak, kasihan Mesaroh ... setidaknya beri sedikit harta gono-gini untuk calon bayinya," ucap Bu Minah memelas. Sangat berbeda dengan sikapnya beberapa menit yang lalu. Sungguh, Ibu Mesaroh ini adalah wanita yang pandai mengubah air muka dengan cepat. "Anu ... itu ... kalian ini kan keponakan istrinya Pak Kusni, setidaknya berikan sedikit bagian untuk Maesaroh. Anak yang dia kandung ini sepupu kalian loh."Hadi terkekeh sinis sementara Adam melengos mendengar suara Bu Minah yang mendadak berubah lembut. "Bu ... astaghfirullah," gumam Hadi sambil geleng-geleng. "Kami ini keponakan Bu Murni istri Pak Kusni. Jadi, semua yang berurusan d
Wati geleng-geleng. Bu Minah yang dia lihat sekarang seperti bukan Bu Minah yang datang ke rumah Bulek tempo hari. Sangat berbeda. "Bagaimanapun pernikahan anakku sama Paklik kalian itu gak sah! Dan besok aku mau Mesaroh dinikahi secara resmi, maharnya sertifikat rumah karena setelah menikah Mesaroh akan tinggal bersama suaminya." Bu Minah berbicara panjang lebar. "Harusnya begini sejak kemarin-kemarin, kenapa kalian sebagai keponakan ini gak peka sama sekali? Paklik kalian seharusnya diarahkan buat menikahi anakku secara resmi, bukan malah dilarang apalagi sampai diancam segala. Hei, sadar diri kalian ini, itu rumah punya Paklik kalian, kenapa kalian berdua justru marah-marah kalau Mesaroh minta mahar yang fantastis?!" Adam dan Hadi berusaha menahan emosinya. Kedua adik beradik itu saling pandang sambil menghela napas panjang. Bibir Wati hendak terbuka, namun Hadi menggenggam jemari istrinya memberikan isyarat agar diam.Wati menelan ludahnya kasar. Hampir saja mulutnya yang tajam