"Pak, jawab!" bentak Bulek Murni. "Uang hasil panen masih rutin kamu tabung kan?"Paklik menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jantungnya berdegup kencang mendengar pertanyaan dari Sang Istri."Y-- ya, rutin lah!" sahutnya gugup. Bulek Murni tersenyum puas. "Bagus lah! Kalau begitu kita bisa pakai uang itu sementara sampai aku bisa membujuk Adam nanti."Paklik menghela napas kasar. "Mending kita ke rumah mereka sekarang. Jangan sampai Adam dikuasai penuh sama istrinya. Enak saja, kita yang sudah merawat mereka waktu orang tuanya meninggal, sekarang main ambil-ambil saja sawah yang sudah lama kita kelola. Harusnya gak begitu, Buk!" Paklik menggebu-gebu berbicara di depan Bulek Murni. "Kamu juga jadi orang yang dituakan jangan lemah dong! Kamu mau kalah sama Nita yang baru dua tahun jadi istrinya Adam, hah?"Dada Bulek Murni naik turun. Benar yang dikatakan suaminya, enak saja Nita mendapatkan semuanya sementara dia hanya berhasil menjual dua petak sawah dan satu kebun pada tetangganya
"Ya, sepertinya aku memang serakah, Bulek," aku Nita bangga. "Saking serakahnya aku, sampai-sampai sawah milik mendiang Ibu Mas Adam saja terjual dua petak, belum lagi ada satu sawah yang ingin aku kuasai, juga satu kebun berukuran lebar yang disewakan pada orang lain. Wah, hebat sekali aku ya, Bulek. Sangat serakah!"Wajah Bulek Murni memerah. Bibirnya mencap-mencep mendengar sindiran yang keluar dari mulut Nita. "Lancang kamu, Nit! Kalau bukan karena Adam, kamu mana bisa hidup terjamin begini!" hardik Paklik sengit.Nita lagi-lagi hanya manggut-manggut. "Ya, benar sekali!" Istri Adam itu menjentikkan jarinya. "Seharusnya Paklik sama Bulek juga berkaca, jika bukan karena harta kedua orang tua Mas Adam dan Bang Hadi, Paklik sama Bulek mana bisa menikmati hidup dari hasil berbuat culas pada keponakan sendiri. Betul apa betul?""Diam kamu, Nita!" bentak Bulek Murni. Telunjuknya mengarah tepat di wajah Nita, namun Adam tiba-tiba
"Nit, cuma lima ratus ribu ini, enteng lah buat kamu!" desak Mbak Wati, "Kamu gak kasihan sama aku, gimana kalau Bank Semok itu datang sewaktu ada Mas Hadi, mampus aku, Nit!"Nita menarik napas panjang. Baru dua hari merasakan hidupnya tenang tanpa ada suara Mbak Wati, kini ia datang membawa masalahnya untuk dibagi bersama Nita."Aku gak ada, Mbak. Uangnya dibawa Mas Adam semua," sahut Nita tidak jujur. "Kalau Mbak mau, tunggu Mas Adam pulang nanti, Mbak."Mbak Wati berkacak pinggang. Deru napasnya masih memburu mendengar penolakan dari bibir Nita."Kalau aku pinjam sama Adam, yang ada nanti ujung-ujungnya Mas Hadi tau, Nit! Kamu ini gak bisa diajak kerja sama banget sih sama ipar sendiri!"Nita meletakkan panci di tempatnya setelah ia cuci bersih sambil mendengarkan dongeng dari bibir Mbak Wati. "Kalau gak mau Mas Hadi tau, ya jangan hutang sembunyi-sembunyi dong, Mbak! Jadi ipar jangan ngajakin berbuat buruk, dosa!""Aku kepepet, Nit. Ck, ayolah!""Memang kurang jatah dari Mas Hadi
"Buat apalagi, Wat?" desis Hadi tertahan. "Buat apa ambil hutang di Bank Semok, hah?"Wati menggeleng lemah. Air mata sudah menganak sungai melihat Sang Suami yang bersiap meledak-ledak di depan rumah."Jangan begitu kamu, Hadi, biarkan saja istrimu punya hutang, toh itu hal yang wajar," sahut Bulek sok bijak. "Kenapa harus malu sih punya cicilan, udah ... sudah hal biasa disini. Jangan marah-marah cuma gara-gara hutang, norak kamu!"Nita dan Adam menyimak di teras rumah sambil ngeteh berdua. Bisa keduanya lihat betapa Bulek Murni adalah aktris yang pandai memainkan perannya."Jangan samakan istrimu sama Nita, mereka itu beda! Wati itu perempuan masa kini, bisa mengikuti perkembangan jaman, kalau Nita ... maklum, dia dari dulu gak pernah pegang uang banyak. Sekalinya dapat Adam, sok-sokan gak mau berhutang. Sombong!""Kena lagi," gumam Nita kesal. "Diam kena, ikut campur pun nanti tambah kena," imbuhnya menggerutu. Adam masih menyeruput teh panas yang diseduh di atas piring kecil. Uc
"Terima kasih ya, Pak," kata wanita cantik itu lembut. Suaranya mendayu-dayu, tubuhnya tinggi dibalut kulit yang tidak hitam, tidak juga putih. Sedang-sedang saja. Namun wajahnya cerah bersinar seperti iklan B-erl.Setelah taksi itu melaju pergi, si cantik berbalik dan menatap bingung pada bangunan sederhana di depannya namun mewah untuk ukuran orang kampung. "Cari siapa, Mbak?"Seila mendekat. Kebetulan dia sedang menyuapi Abin-- putranya di depan rumah Bulek Murni. Wanita itu menoleh, dia tersenyum canggung dan bertanya. "I-- ini benar kampung Bulu?" Seila mengangguk membenarkan. "Iya, ini Kampung Bulu RT 03 RW 01, Mbak cari rumah siapa?" selidik Seila, "Jangan sungkan bertanya, insyaallah kami semua tahu nama penghuni di Kampung ini. Mbak dari Kota?""Iya," sahutnya malu-malu. "Kentara sekali ya kalau saya orang kota? Maklum, wajah saya memang bukan wajah kuno."Seila mengerutkan kening. Heran juga dengan tingkat ke-pede-an yang dimiliki wanita di depannya ini."Alamak, berarti k
"Apa, mikir apa kamu?" bentak Bulek Murni sambil melotot. "Kamu mau suudzon sama Paklik, hah?"Nita nyengir. Tapi dalam hati dia benar-benar khawatir kalau Kusni yang Mey maksud adalah Paklik. Sebab, di jalan tadi Mey banyak bercerita tentang ciri-ciri pria yang dia cari. Tinggi tegap berkulit gelap. Kumis lebat dan mata lebar. Serta ... kedua tangannya punya cincin akik khas orang-orang jaman dulu. Itu adalah ciri-ciri Paklik sekali. Sangat Paklik!"Paklik itu pria paling tunduk di kampung ini. Kamu mau tahu apa rahasianya ... gak gratis!" Bulek mulai menyombongkan diri lagi. "Kalau sampai Paklik selingkuh, rugi Bulek tiap hari ngasih makan nasi kangkang ....""Mas Kusni!" teriak Mey membuat bibir Bulek menganga lebar. Tubuhnya menegang. Kepalanya berkunang-kunang dan telinganya berdengung mendengar Mey memanggil sosok yang tidak asing baginya. "Mas, aku cari-cari rumah kamu tau gak? Untung ada Mbak Nita, dua rumah yang aku d
Wanita yang semula memperkenalkan diri sebagai Mey, si cantik dari kota itu beringsut bersembunyi di balik tubuh Paklik yang gagah."Iya, aku gak mungkin salah lihat. Kamu Mey Saroh!" pekik Wati terkejut. "Kenapa bisa sampai di kampung suamiku, kamu lagi cari siapa?"Wati menoleh pada Bulek dan Paklik secara bergantian. Melihat Mey yang bersembunyi manja di tubuh Paklik sementara Bulek yang menangis dalam pelukan Hadi membuat otak Wati bekerja dengan cepat. "I-- ini ada apa, Bulek?""Kamu kenal dia, Wat? Tau kamu sama wanita murahan itu?"Wati mengangguk ragu. "Dia ....""Kamu salah orang!" sela Mey cepat. "Aku bukan Mey Saroh! Aku Meylinda, jangan sok kenal kamu sama aku!" Kening Wati mengerut. Dia tidak mungkin salah mengenali orang lain, apalagi orang itu adalah Mey."Dia pelakor, Wat! Dia ... Paklik kamu selingkuh, hu ... hu ... hu ...."Rahang Hadi mengeras. Kekesalannya pada Bulek memang masih menggebu-gebu karena sudah meracuni otak istrinya agar berbuat buruk dan bersikap tid
"Permisi," ucap salah satu petugas berbaju dinas. "Apa disini rumah Bapak Kusni?"Nita dan Wati mengangguk. Tidak lama, seorang wanita paruh baya dan pria paruh baya keluar dari sebuah mobil rentalan dan berjalan memasuki halaman rumah Bulek."Bu Minah?" sapa Wati pangling. "Ini benar Bu Minah, kan?""Masya Allah, Wati!" Wanita yang Wati panggil Bu Minah berjalan cepat mendekat. "Kamu tinggal di Kampung ini, Wat? Emak sama Bapak kamu gak pernah cerita kalau rumah suami kamu disini."Wati mencium punggung tangan tetangga orang tuanya di Kampung. Kini, tebakannya pasti tidak meleset. Dua pasangan paruh baya itu sedang mencari Mey. Mey Saroh, bukan Meylinda."Bu Minah cari Mey?"Kedua mata Bu Minah berembun. Kepalanya mengangguk lemah dan bibirnya berucap. "Sudah dua tahun ini kami kehilangan jejak Mey, Wat. Terakhir, ada teman Bapak yang bilang kalau mereka bertemu Mey di kota," papar Bu Minah sendu. "Waktu kami cari kesana, kontrakan Mey kosong, ada tetangga yang bilang kalau Mey sempa