"Apa, mikir apa kamu?" bentak Bulek Murni sambil melotot. "Kamu mau suudzon sama Paklik, hah?"Nita nyengir. Tapi dalam hati dia benar-benar khawatir kalau Kusni yang Mey maksud adalah Paklik. Sebab, di jalan tadi Mey banyak bercerita tentang ciri-ciri pria yang dia cari. Tinggi tegap berkulit gelap. Kumis lebat dan mata lebar. Serta ... kedua tangannya punya cincin akik khas orang-orang jaman dulu. Itu adalah ciri-ciri Paklik sekali. Sangat Paklik!"Paklik itu pria paling tunduk di kampung ini. Kamu mau tahu apa rahasianya ... gak gratis!" Bulek mulai menyombongkan diri lagi. "Kalau sampai Paklik selingkuh, rugi Bulek tiap hari ngasih makan nasi kangkang ....""Mas Kusni!" teriak Mey membuat bibir Bulek menganga lebar. Tubuhnya menegang. Kepalanya berkunang-kunang dan telinganya berdengung mendengar Mey memanggil sosok yang tidak asing baginya. "Mas, aku cari-cari rumah kamu tau gak? Untung ada Mbak Nita, dua rumah yang aku d
Wanita yang semula memperkenalkan diri sebagai Mey, si cantik dari kota itu beringsut bersembunyi di balik tubuh Paklik yang gagah."Iya, aku gak mungkin salah lihat. Kamu Mey Saroh!" pekik Wati terkejut. "Kenapa bisa sampai di kampung suamiku, kamu lagi cari siapa?"Wati menoleh pada Bulek dan Paklik secara bergantian. Melihat Mey yang bersembunyi manja di tubuh Paklik sementara Bulek yang menangis dalam pelukan Hadi membuat otak Wati bekerja dengan cepat. "I-- ini ada apa, Bulek?""Kamu kenal dia, Wat? Tau kamu sama wanita murahan itu?"Wati mengangguk ragu. "Dia ....""Kamu salah orang!" sela Mey cepat. "Aku bukan Mey Saroh! Aku Meylinda, jangan sok kenal kamu sama aku!" Kening Wati mengerut. Dia tidak mungkin salah mengenali orang lain, apalagi orang itu adalah Mey."Dia pelakor, Wat! Dia ... Paklik kamu selingkuh, hu ... hu ... hu ...."Rahang Hadi mengeras. Kekesalannya pada Bulek memang masih menggebu-gebu karena sudah meracuni otak istrinya agar berbuat buruk dan bersikap tid
"Permisi," ucap salah satu petugas berbaju dinas. "Apa disini rumah Bapak Kusni?"Nita dan Wati mengangguk. Tidak lama, seorang wanita paruh baya dan pria paruh baya keluar dari sebuah mobil rentalan dan berjalan memasuki halaman rumah Bulek."Bu Minah?" sapa Wati pangling. "Ini benar Bu Minah, kan?""Masya Allah, Wati!" Wanita yang Wati panggil Bu Minah berjalan cepat mendekat. "Kamu tinggal di Kampung ini, Wat? Emak sama Bapak kamu gak pernah cerita kalau rumah suami kamu disini."Wati mencium punggung tangan tetangga orang tuanya di Kampung. Kini, tebakannya pasti tidak meleset. Dua pasangan paruh baya itu sedang mencari Mey. Mey Saroh, bukan Meylinda."Bu Minah cari Mey?"Kedua mata Bu Minah berembun. Kepalanya mengangguk lemah dan bibirnya berucap. "Sudah dua tahun ini kami kehilangan jejak Mey, Wat. Terakhir, ada teman Bapak yang bilang kalau mereka bertemu Mey di kota," papar Bu Minah sendu. "Waktu kami cari kesana, kontrakan Mey kosong, ada tetangga yang bilang kalau Mey sempa
"Gak! Gak bisa, enak saja tinggal bilang maaf, sebelum uang itu kembali, jangan harap kamu bisa pulang ke rumah ini, Pak!" Bulek yang semula megap-megap karena mengetahui suaminya yang sudah menikah lagi dan istri keduanya tengah hamil, kini kekuatannya sudah kembali. Sambil berkacak pinggang wanita paruh baya itu mengusir Paklik. "Muka jelek, harta gak punya, sok-sokan selingkuh. Kamu pikir ada wanita yang mau sama kau, Pak, hah? Cuma wanita gak waras yang mau menikahi pria jelek sepertimu! Tuh, Mesaroh contohnya!" seru Bulek menggebu-gebu.Wati dan Nita yang sejak beberapa menit yang lalu sudah menjadi bestie, kini keduanya saling sikut dan menahan tawa. Bukan hanya mereka, bahkan Adam serta Hadi pun saling tatap karena merasa geli dengan ucapan Bulek."Bulek!" panggil Wati, "Bulek waras kan?""Apa maksudmu tanya begitu, mau kamu samakan Bulek dengan tetanggamu yang gak waras itu, hah?"Wati menggeleng samar. "Tapi ... cuma wanita gak waras yang mau menikahi pria jelek seperti Pak
"Nit, boleh Mbak masuk?"Kepala Mbak Wati melongok ke dalam ruangan dapur rumah Nita. Istri Adam itu sedikit terlonjak kaget karena setiap kali sedang memasak maka Nita akan memfokuskan dirinya pada masakan di atas wajan. "Astaghfirullah, Mbak! Bikin kaget aja sih," gerutu Nita sedikit kesal. "Untung gak punya riwayat sakit jantung!"Mbak Wati nyengir. Dia melenggang masuk dan meletakkan satu mangkuk kolak hangat di atas meja makan rumah Nita."E-- eh, tumben?" Nita mengernyit curiga. "Gak lagi mau minta bantuan yang aneh-aneh kan? Ini bukan sogokan kan?"Mbak Wati terkekeh. Dia duduk di salah satu kursi yang tertata rapi melingkari meja makan. Nita masih bergeming, merasa mimpi dengan perubahan iparnya yang ... sangat tiba-tiba. Apakah memang menyadari kesalahan bisa terjadi secepat ini? "Mbak sengaja buat kolak banyak, makan sama suamimu nanti ya!" kata Mbak Wati membuka percakapan. "Maaf, cuma bisa ngasih kolak sebagai permintaan maaf."Nita seketika melirik meskipun tangannya ma
Tenggorokan Nita tercekat. Sakit sekali rasanya menahan tangis sejak tadi. "Mbak gak lagi bercanda kan?" tanya Nita di sela-sela tangisnya. "Gak lagi bikin prank kan?"Mbak Wati menjigak kepala adik iparnya itu dengan kesal. "Air mata Mbak mengandung kebohongan ya?"Nita menggeleng. Masih dalam posisi memeluk Mbak Wati yang juga menangis menyesali semua perbuatannya. Demi apa, dia hampir menyia-nyiakan ipar sebaik Nita."Terima kasih, Mbak. Terima kasih sekali," ucap Nita dengan suara bergetar. "Mbak mau menganggapku sebagai adik, iya?"Mbak Wati mengangguk. "Kamu memang adik kami. Adik Mbak dan Bang Hadi. Kamu dan Adam. Kita keluarga, Nit."Nita semakin terisak. Bukan waktu yang sebentar hidup dalam luka karena mendapat banyak perlakuan buruk dari Mbak Wati selama ini. Dua tahun bukan waktu yang sebentar bagi Nita untuk melupakan semua sakit hatinya di masa lalu. Namun, melihat air mata dan ketulusan Mbak Wati da
"Bawa apa kamu ke rumah Nita tadi?"Mbak Wati menghentikan langkah ketika Bulek Murni bertanya dan berdiri di samping rumahnya sambil bersedekap dada."Kolak, Bulek.""Oh, gitu ya kamu sekarang ... ngasih kolak ke Nita sama Bulek kamu lupakan, iya?""Eh?" Mbak Wati keheranan. "Kolak Bulek di meja dapur. Tadi aku panggil-panggil gak keluar, jadi aku taruh di atas meja. Coba Bulek lihat.""Halah, alasan!" Suara Bulek Murni meninggi. "Kamu sengaja kan gak mau ngasih Bulek kolak?! Mentang-mentang sudah baikan kamu sama Nita, iya?""Bukan begitu, Bulek ....""Sudah lah, istri keponakanku memang gak ada yang peka. Kamu tau kan kalau Bulek ini orang yang dituakan, harusnya dahulukan Bulek, bukan malah Nita!" Bulek Murni naik pitam melihat Mbak Wati yang mulai akur dengan iparnya. "Jangan mentang-mentang sudah baikan lalu kamu melupakan Bulek gitu aja. Dosa kamu! Zalim!"Hadi yang baru saja keluar dari rumah Adam seketika mengerutkan kening ketika matanya menatap pada sosok Mbak Wati yang ber
"K-- kok adu jotos, Dam? Mana unggah-ungguh kamu sama Paklik, hah?"Adam menoleh sengit. Kedua tangannya sudah bersiap mengepal dan sekali hajar saja dia bisa pastikan kalau Paklik menggelepar di depan rumahnya."Aku tidak peduli lagi tentang unggah-ungguh, Paklik ... keterlaluan! Sudah berapa tahun kami mengalah, tapi kalian ... masih saja berusaha membodohi kami!" Napas Adam tersengal. Mati-matian dia berusaha menahan dirinya agar tidak bertindak di luar kendali mengingat dua orang paruh baya itu adalah keluarganya. "Selama ini kami diam karena menghargai kalian, tapi ternyata makin lama Bulek dan Paklik makin tidak bisa diberi hati. Apa perlu aku memutuskan hubungan kekeluargaan ini sekarang juga?!"Paklik menatap ragu pada sosok pria yang dulu sering kali dia hardik ketika remaja. Sungguh, waktu sudah membuat banyak perubahan pada diri Adam dan Hadi. "Buka mata Bulek, sudah disakiti, ditinggal selingkuh, dibohongi hingga semua uang panen habis tak bersisa tapi masih saja memperta