"Permisi," ucap salah satu petugas berbaju dinas. "Apa disini rumah Bapak Kusni?"Nita dan Wati mengangguk. Tidak lama, seorang wanita paruh baya dan pria paruh baya keluar dari sebuah mobil rentalan dan berjalan memasuki halaman rumah Bulek."Bu Minah?" sapa Wati pangling. "Ini benar Bu Minah, kan?""Masya Allah, Wati!" Wanita yang Wati panggil Bu Minah berjalan cepat mendekat. "Kamu tinggal di Kampung ini, Wat? Emak sama Bapak kamu gak pernah cerita kalau rumah suami kamu disini."Wati mencium punggung tangan tetangga orang tuanya di Kampung. Kini, tebakannya pasti tidak meleset. Dua pasangan paruh baya itu sedang mencari Mey. Mey Saroh, bukan Meylinda."Bu Minah cari Mey?"Kedua mata Bu Minah berembun. Kepalanya mengangguk lemah dan bibirnya berucap. "Sudah dua tahun ini kami kehilangan jejak Mey, Wat. Terakhir, ada teman Bapak yang bilang kalau mereka bertemu Mey di kota," papar Bu Minah sendu. "Waktu kami cari kesana, kontrakan Mey kosong, ada tetangga yang bilang kalau Mey sempa
"Gak! Gak bisa, enak saja tinggal bilang maaf, sebelum uang itu kembali, jangan harap kamu bisa pulang ke rumah ini, Pak!" Bulek yang semula megap-megap karena mengetahui suaminya yang sudah menikah lagi dan istri keduanya tengah hamil, kini kekuatannya sudah kembali. Sambil berkacak pinggang wanita paruh baya itu mengusir Paklik. "Muka jelek, harta gak punya, sok-sokan selingkuh. Kamu pikir ada wanita yang mau sama kau, Pak, hah? Cuma wanita gak waras yang mau menikahi pria jelek sepertimu! Tuh, Mesaroh contohnya!" seru Bulek menggebu-gebu.Wati dan Nita yang sejak beberapa menit yang lalu sudah menjadi bestie, kini keduanya saling sikut dan menahan tawa. Bukan hanya mereka, bahkan Adam serta Hadi pun saling tatap karena merasa geli dengan ucapan Bulek."Bulek!" panggil Wati, "Bulek waras kan?""Apa maksudmu tanya begitu, mau kamu samakan Bulek dengan tetanggamu yang gak waras itu, hah?"Wati menggeleng samar. "Tapi ... cuma wanita gak waras yang mau menikahi pria jelek seperti Pak
"Nit, boleh Mbak masuk?"Kepala Mbak Wati melongok ke dalam ruangan dapur rumah Nita. Istri Adam itu sedikit terlonjak kaget karena setiap kali sedang memasak maka Nita akan memfokuskan dirinya pada masakan di atas wajan. "Astaghfirullah, Mbak! Bikin kaget aja sih," gerutu Nita sedikit kesal. "Untung gak punya riwayat sakit jantung!"Mbak Wati nyengir. Dia melenggang masuk dan meletakkan satu mangkuk kolak hangat di atas meja makan rumah Nita."E-- eh, tumben?" Nita mengernyit curiga. "Gak lagi mau minta bantuan yang aneh-aneh kan? Ini bukan sogokan kan?"Mbak Wati terkekeh. Dia duduk di salah satu kursi yang tertata rapi melingkari meja makan. Nita masih bergeming, merasa mimpi dengan perubahan iparnya yang ... sangat tiba-tiba. Apakah memang menyadari kesalahan bisa terjadi secepat ini? "Mbak sengaja buat kolak banyak, makan sama suamimu nanti ya!" kata Mbak Wati membuka percakapan. "Maaf, cuma bisa ngasih kolak sebagai permintaan maaf."Nita seketika melirik meskipun tangannya ma
Tenggorokan Nita tercekat. Sakit sekali rasanya menahan tangis sejak tadi. "Mbak gak lagi bercanda kan?" tanya Nita di sela-sela tangisnya. "Gak lagi bikin prank kan?"Mbak Wati menjigak kepala adik iparnya itu dengan kesal. "Air mata Mbak mengandung kebohongan ya?"Nita menggeleng. Masih dalam posisi memeluk Mbak Wati yang juga menangis menyesali semua perbuatannya. Demi apa, dia hampir menyia-nyiakan ipar sebaik Nita."Terima kasih, Mbak. Terima kasih sekali," ucap Nita dengan suara bergetar. "Mbak mau menganggapku sebagai adik, iya?"Mbak Wati mengangguk. "Kamu memang adik kami. Adik Mbak dan Bang Hadi. Kamu dan Adam. Kita keluarga, Nit."Nita semakin terisak. Bukan waktu yang sebentar hidup dalam luka karena mendapat banyak perlakuan buruk dari Mbak Wati selama ini. Dua tahun bukan waktu yang sebentar bagi Nita untuk melupakan semua sakit hatinya di masa lalu. Namun, melihat air mata dan ketulusan Mbak Wati da
"Bawa apa kamu ke rumah Nita tadi?"Mbak Wati menghentikan langkah ketika Bulek Murni bertanya dan berdiri di samping rumahnya sambil bersedekap dada."Kolak, Bulek.""Oh, gitu ya kamu sekarang ... ngasih kolak ke Nita sama Bulek kamu lupakan, iya?""Eh?" Mbak Wati keheranan. "Kolak Bulek di meja dapur. Tadi aku panggil-panggil gak keluar, jadi aku taruh di atas meja. Coba Bulek lihat.""Halah, alasan!" Suara Bulek Murni meninggi. "Kamu sengaja kan gak mau ngasih Bulek kolak?! Mentang-mentang sudah baikan kamu sama Nita, iya?""Bukan begitu, Bulek ....""Sudah lah, istri keponakanku memang gak ada yang peka. Kamu tau kan kalau Bulek ini orang yang dituakan, harusnya dahulukan Bulek, bukan malah Nita!" Bulek Murni naik pitam melihat Mbak Wati yang mulai akur dengan iparnya. "Jangan mentang-mentang sudah baikan lalu kamu melupakan Bulek gitu aja. Dosa kamu! Zalim!"Hadi yang baru saja keluar dari rumah Adam seketika mengerutkan kening ketika matanya menatap pada sosok Mbak Wati yang ber
"K-- kok adu jotos, Dam? Mana unggah-ungguh kamu sama Paklik, hah?"Adam menoleh sengit. Kedua tangannya sudah bersiap mengepal dan sekali hajar saja dia bisa pastikan kalau Paklik menggelepar di depan rumahnya."Aku tidak peduli lagi tentang unggah-ungguh, Paklik ... keterlaluan! Sudah berapa tahun kami mengalah, tapi kalian ... masih saja berusaha membodohi kami!" Napas Adam tersengal. Mati-matian dia berusaha menahan dirinya agar tidak bertindak di luar kendali mengingat dua orang paruh baya itu adalah keluarganya. "Selama ini kami diam karena menghargai kalian, tapi ternyata makin lama Bulek dan Paklik makin tidak bisa diberi hati. Apa perlu aku memutuskan hubungan kekeluargaan ini sekarang juga?!"Paklik menatap ragu pada sosok pria yang dulu sering kali dia hardik ketika remaja. Sungguh, waktu sudah membuat banyak perubahan pada diri Adam dan Hadi. "Buka mata Bulek, sudah disakiti, ditinggal selingkuh, dibohongi hingga semua uang panen habis tak bersisa tapi masih saja memperta
"Mbak ... Bulek ...."Nita hendak berlari namun Mbak Wati segera mencekal pergelangan adik iparnya itu sambil menggeleng takut. "Cari mati kamu kalau datang kesana, Nit. Tunggu Mas Hadi atau Adam pulang," saran Mbak Wati ragu. "Kita ini wanita, sekali pukul langsung ...." Mbak Wati memperagakan gaya preman yang sedang menyayat leher di depan Nita."Mbak, tapi kasihan Bulek," ucap Nita cemas. "Kita minta bantuan warga ya, ayo!""Aakkhh ... ampun, Pak! Hu ... hu ... hu ...."Mendengar suara Bulek yang semakin pilu, Mbak Wati dan Nita segera berlari tanpa banyak bicara lagi. Tujuan mereka kali ini adalah rumah Pak RT. Rumah paling megah yang letaknya sedikit berada di ujung. Melihat Nita dan Mbak Wati berlarian, Seila dan Berta yang kebetulan berada di depan rumah justru menggoda keduanya."Cie ... yang sudah akur. Olahraga nih," celetuk Seila. "Mau dong diajakin."Berta dan Seila tertawa sementara Nita dan Mbak Wati tuli pada godaan dua bestie itu di depan rumah mereka."Nit, kenapa?"
Bugh ....Satu bogeman kuat mendarat asal di rahang Paklik. Pria paruh baya itu terjerembab bahkan dua pria yang sengaja memeganginya pun berjalan mundur. Napas Adam tersengal. Dia gelap mata tatkala melihat tubuh Bulek yang hancur berantakan."Pria gak tau diri!" bentak Adam. "Mau kamu bunuh Bulek kami, iya? Mau kamu kirim dia ke akhirat sementara Paklik bersenang-senang dengan harta peninggalannya, begitu?"Bugh ....Tendangan kaki Adam tepat mengenai wajah Paklik hingga bercak darah mulai terlihat di pipinya. "Yang pantas mati itu Paklik! Biar aku hajar sampai ....""Mas!" Nita berteriak dan memeluk lengan suaminya. "Kalau begini, bukan Paklik yang masuk Penjara tapi kamu!" hardiknya sambil menangis. "Serahkan urusan ini ke Polisi, kita rawat Bulek. Jaga emosimu!""Jaga emosi kamu bilang?! Melihat Bulek hampir mati di tangan pria brengsek seperti dia, kamu masih ingin Mas menjaga emosi, hah?"Nita memejamkan matanya erat. Dia paham jika bentakan yang Adam lontarkan semata karena h