Tenggorokan Nita tercekat. Sakit sekali rasanya menahan tangis sejak tadi. "Mbak gak lagi bercanda kan?" tanya Nita di sela-sela tangisnya. "Gak lagi bikin prank kan?"Mbak Wati menjigak kepala adik iparnya itu dengan kesal. "Air mata Mbak mengandung kebohongan ya?"Nita menggeleng. Masih dalam posisi memeluk Mbak Wati yang juga menangis menyesali semua perbuatannya. Demi apa, dia hampir menyia-nyiakan ipar sebaik Nita."Terima kasih, Mbak. Terima kasih sekali," ucap Nita dengan suara bergetar. "Mbak mau menganggapku sebagai adik, iya?"Mbak Wati mengangguk. "Kamu memang adik kami. Adik Mbak dan Bang Hadi. Kamu dan Adam. Kita keluarga, Nit."Nita semakin terisak. Bukan waktu yang sebentar hidup dalam luka karena mendapat banyak perlakuan buruk dari Mbak Wati selama ini. Dua tahun bukan waktu yang sebentar bagi Nita untuk melupakan semua sakit hatinya di masa lalu. Namun, melihat air mata dan ketulusan Mbak Wati da
"Bawa apa kamu ke rumah Nita tadi?"Mbak Wati menghentikan langkah ketika Bulek Murni bertanya dan berdiri di samping rumahnya sambil bersedekap dada."Kolak, Bulek.""Oh, gitu ya kamu sekarang ... ngasih kolak ke Nita sama Bulek kamu lupakan, iya?""Eh?" Mbak Wati keheranan. "Kolak Bulek di meja dapur. Tadi aku panggil-panggil gak keluar, jadi aku taruh di atas meja. Coba Bulek lihat.""Halah, alasan!" Suara Bulek Murni meninggi. "Kamu sengaja kan gak mau ngasih Bulek kolak?! Mentang-mentang sudah baikan kamu sama Nita, iya?""Bukan begitu, Bulek ....""Sudah lah, istri keponakanku memang gak ada yang peka. Kamu tau kan kalau Bulek ini orang yang dituakan, harusnya dahulukan Bulek, bukan malah Nita!" Bulek Murni naik pitam melihat Mbak Wati yang mulai akur dengan iparnya. "Jangan mentang-mentang sudah baikan lalu kamu melupakan Bulek gitu aja. Dosa kamu! Zalim!"Hadi yang baru saja keluar dari rumah Adam seketika mengerutkan kening ketika matanya menatap pada sosok Mbak Wati yang ber
"K-- kok adu jotos, Dam? Mana unggah-ungguh kamu sama Paklik, hah?"Adam menoleh sengit. Kedua tangannya sudah bersiap mengepal dan sekali hajar saja dia bisa pastikan kalau Paklik menggelepar di depan rumahnya."Aku tidak peduli lagi tentang unggah-ungguh, Paklik ... keterlaluan! Sudah berapa tahun kami mengalah, tapi kalian ... masih saja berusaha membodohi kami!" Napas Adam tersengal. Mati-matian dia berusaha menahan dirinya agar tidak bertindak di luar kendali mengingat dua orang paruh baya itu adalah keluarganya. "Selama ini kami diam karena menghargai kalian, tapi ternyata makin lama Bulek dan Paklik makin tidak bisa diberi hati. Apa perlu aku memutuskan hubungan kekeluargaan ini sekarang juga?!"Paklik menatap ragu pada sosok pria yang dulu sering kali dia hardik ketika remaja. Sungguh, waktu sudah membuat banyak perubahan pada diri Adam dan Hadi. "Buka mata Bulek, sudah disakiti, ditinggal selingkuh, dibohongi hingga semua uang panen habis tak bersisa tapi masih saja memperta
"Mbak ... Bulek ...."Nita hendak berlari namun Mbak Wati segera mencekal pergelangan adik iparnya itu sambil menggeleng takut. "Cari mati kamu kalau datang kesana, Nit. Tunggu Mas Hadi atau Adam pulang," saran Mbak Wati ragu. "Kita ini wanita, sekali pukul langsung ...." Mbak Wati memperagakan gaya preman yang sedang menyayat leher di depan Nita."Mbak, tapi kasihan Bulek," ucap Nita cemas. "Kita minta bantuan warga ya, ayo!""Aakkhh ... ampun, Pak! Hu ... hu ... hu ...."Mendengar suara Bulek yang semakin pilu, Mbak Wati dan Nita segera berlari tanpa banyak bicara lagi. Tujuan mereka kali ini adalah rumah Pak RT. Rumah paling megah yang letaknya sedikit berada di ujung. Melihat Nita dan Mbak Wati berlarian, Seila dan Berta yang kebetulan berada di depan rumah justru menggoda keduanya."Cie ... yang sudah akur. Olahraga nih," celetuk Seila. "Mau dong diajakin."Berta dan Seila tertawa sementara Nita dan Mbak Wati tuli pada godaan dua bestie itu di depan rumah mereka."Nit, kenapa?"
Bugh ....Satu bogeman kuat mendarat asal di rahang Paklik. Pria paruh baya itu terjerembab bahkan dua pria yang sengaja memeganginya pun berjalan mundur. Napas Adam tersengal. Dia gelap mata tatkala melihat tubuh Bulek yang hancur berantakan."Pria gak tau diri!" bentak Adam. "Mau kamu bunuh Bulek kami, iya? Mau kamu kirim dia ke akhirat sementara Paklik bersenang-senang dengan harta peninggalannya, begitu?"Bugh ....Tendangan kaki Adam tepat mengenai wajah Paklik hingga bercak darah mulai terlihat di pipinya. "Yang pantas mati itu Paklik! Biar aku hajar sampai ....""Mas!" Nita berteriak dan memeluk lengan suaminya. "Kalau begini, bukan Paklik yang masuk Penjara tapi kamu!" hardiknya sambil menangis. "Serahkan urusan ini ke Polisi, kita rawat Bulek. Jaga emosimu!""Jaga emosi kamu bilang?! Melihat Bulek hampir mati di tangan pria brengsek seperti dia, kamu masih ingin Mas menjaga emosi, hah?"Nita memejamkan matanya erat. Dia paham jika bentakan yang Adam lontarkan semata karena h
"Cepat, Mas!" teriak Seila lantang. Suaminya seketika berlari semakin kencang karena teriakan Seila. "Lebih cepat lagi! Rugi kamu menjadi juara lomba lari kalau sampai disini kurang dari satu menit!" imbuhnya masih berteriak. Sementara di dalam rumah, Adam menepuk-nepuk lembut pipi Bulek berharap wanita paruh baya itu mau membuka mata."Buka mata, Bulek! Tolong ... dengarkan Adam, buka mata Bulek!"Mbak Wati dan Nita semakin kalut. Tangis keduanya semakin membuat Adam kebingungan."Ayo, Mas Adam, mobil sudah di depan," kata Seila. Adam segera membopong tubuh Bulek sendirian. Benar-benar sendirian. Kemarahan membuat tenaganya jauh lebih kuat meskipun tubuh Bulek tergolong berisi. Tidak, banyak lemak seharusnya. Gendut. Di teras rumah, Paklik menangis meminta maaf dan meneriaki istrinya. "Buk, maafkan Bapak, Buk!" teriak Paklik. "Buk ...."Bugh ....Adam sempat menendang tubuh Paklik yang menghalangi jalannya. Suami Nita itu benar-benar menjadi pria mengerikan sore ini. Kelembutan hat
Mbak Wati menghela napas lega ketika melihat suaminya menggandeng tangan Farhan menjauhi teras rumah Bulek. Setidaknya, wajah Paklik tidak semakin babak belur karena ulah Hadi. Kasihan, batin Wati. "Tolong Paklik diamankan dulu, Pak RT," kata Mbak Wati cemas. "Nanti kalau tetap disini sampai polisi datang, khawatir Mas Hadi gelap mata. Paklik bisa-bisa meregang nyawa saat ini juga."Wajah Paklik pias. Salah satu matanya sudah terasa semakin membengkak karena pukulan tangan Adam yang tidak main-main. Kalau sampai Hadi keluar lagi dan melampiaskan amarahnya, bisa dipastikan wajah Paklik sudah habis tak bersisa. "Selamatkan aku, Pak RT. Ayo!" rengek Pak RT takut. "Bawa aku sembunyi, mending masuk bui daripada mati di tangan keponakan sendiri," ucapnya dengan suara bergetar. "Biarkan saja lah, biar Mas Hadi hajar sekalian. Berani menyiksa istri sendiri harusnya paham konsekuensinya. Apalagi Bulek Murni punya dua keponakan yang pasti gak akan tinggal diam melihat Bulek mereka dihajar ha
Bulek masih dirawat di rumah sakit, ada Berta dan Nita yang sengaja dimintai tolong untuk menjaga Bulek sementara Adam, Hadi dan Mbak Wati mendatangi rumah Mesaroh yang tak lain adalah tetangga Mbak Wati di kampung."Farhan sama siapa, Nit?" tanya Bulek lemah. Nita yang tengah mengupas buah pun menghentikan gerakan tangannya. "Sama Seila di rumah, Bulek. Aman!" sahutnya.Berta mencebik. Dia memang kesal pada Paklik namun kesalnya pada Bulek Murni pun belum surut mengingat wanita inilah yang dulu selalu menghina Nita mandul sampai-sampai teman baiknya itu hampir putus asa dengan usahanya agar bisa memiliki momongan selama ini. "Gak malu Bulek bermanja-manja sama Nita sekarang?" sindir Berta sengit. "Dua tahun yang lalu, Nita hampir kehilangan percaya dirinya sebagai wanita. Gak mendadak lupa Bulek sama semua omongan Bulek yang mengandung cabai itu?" Bulek memejamkan mata sejenak. Hatinya terasa perih karena bahkan orang lain saja merasa susah untuk memaafkan dan melupakan kesalahanny