"Cepat, Mas!" teriak Seila lantang. Suaminya seketika berlari semakin kencang karena teriakan Seila. "Lebih cepat lagi! Rugi kamu menjadi juara lomba lari kalau sampai disini kurang dari satu menit!" imbuhnya masih berteriak. Sementara di dalam rumah, Adam menepuk-nepuk lembut pipi Bulek berharap wanita paruh baya itu mau membuka mata."Buka mata, Bulek! Tolong ... dengarkan Adam, buka mata Bulek!"Mbak Wati dan Nita semakin kalut. Tangis keduanya semakin membuat Adam kebingungan."Ayo, Mas Adam, mobil sudah di depan," kata Seila. Adam segera membopong tubuh Bulek sendirian. Benar-benar sendirian. Kemarahan membuat tenaganya jauh lebih kuat meskipun tubuh Bulek tergolong berisi. Tidak, banyak lemak seharusnya. Gendut. Di teras rumah, Paklik menangis meminta maaf dan meneriaki istrinya. "Buk, maafkan Bapak, Buk!" teriak Paklik. "Buk ...."Bugh ....Adam sempat menendang tubuh Paklik yang menghalangi jalannya. Suami Nita itu benar-benar menjadi pria mengerikan sore ini. Kelembutan hat
Mbak Wati menghela napas lega ketika melihat suaminya menggandeng tangan Farhan menjauhi teras rumah Bulek. Setidaknya, wajah Paklik tidak semakin babak belur karena ulah Hadi. Kasihan, batin Wati. "Tolong Paklik diamankan dulu, Pak RT," kata Mbak Wati cemas. "Nanti kalau tetap disini sampai polisi datang, khawatir Mas Hadi gelap mata. Paklik bisa-bisa meregang nyawa saat ini juga."Wajah Paklik pias. Salah satu matanya sudah terasa semakin membengkak karena pukulan tangan Adam yang tidak main-main. Kalau sampai Hadi keluar lagi dan melampiaskan amarahnya, bisa dipastikan wajah Paklik sudah habis tak bersisa. "Selamatkan aku, Pak RT. Ayo!" rengek Pak RT takut. "Bawa aku sembunyi, mending masuk bui daripada mati di tangan keponakan sendiri," ucapnya dengan suara bergetar. "Biarkan saja lah, biar Mas Hadi hajar sekalian. Berani menyiksa istri sendiri harusnya paham konsekuensinya. Apalagi Bulek Murni punya dua keponakan yang pasti gak akan tinggal diam melihat Bulek mereka dihajar ha
Bulek masih dirawat di rumah sakit, ada Berta dan Nita yang sengaja dimintai tolong untuk menjaga Bulek sementara Adam, Hadi dan Mbak Wati mendatangi rumah Mesaroh yang tak lain adalah tetangga Mbak Wati di kampung."Farhan sama siapa, Nit?" tanya Bulek lemah. Nita yang tengah mengupas buah pun menghentikan gerakan tangannya. "Sama Seila di rumah, Bulek. Aman!" sahutnya.Berta mencebik. Dia memang kesal pada Paklik namun kesalnya pada Bulek Murni pun belum surut mengingat wanita inilah yang dulu selalu menghina Nita mandul sampai-sampai teman baiknya itu hampir putus asa dengan usahanya agar bisa memiliki momongan selama ini. "Gak malu Bulek bermanja-manja sama Nita sekarang?" sindir Berta sengit. "Dua tahun yang lalu, Nita hampir kehilangan percaya dirinya sebagai wanita. Gak mendadak lupa Bulek sama semua omongan Bulek yang mengandung cabai itu?" Bulek memejamkan mata sejenak. Hatinya terasa perih karena bahkan orang lain saja merasa susah untuk memaafkan dan melupakan kesalahanny
Wati geleng-geleng. Bu Minah yang dia lihat sekarang seperti bukan Bu Minah yang datang ke rumah Bulek tempo hari. Sangat berbeda. "Bagaimanapun pernikahan anakku sama Paklik kalian itu gak sah! Dan besok aku mau Mesaroh dinikahi secara resmi, maharnya sertifikat rumah karena setelah menikah Mesaroh akan tinggal bersama suaminya." Bu Minah berbicara panjang lebar. "Harusnya begini sejak kemarin-kemarin, kenapa kalian sebagai keponakan ini gak peka sama sekali? Paklik kalian seharusnya diarahkan buat menikahi anakku secara resmi, bukan malah dilarang apalagi sampai diancam segala. Hei, sadar diri kalian ini, itu rumah punya Paklik kalian, kenapa kalian berdua justru marah-marah kalau Mesaroh minta mahar yang fantastis?!" Adam dan Hadi berusaha menahan emosinya. Kedua adik beradik itu saling pandang sambil menghela napas panjang. Bibir Wati hendak terbuka, namun Hadi menggenggam jemari istrinya memberikan isyarat agar diam.Wati menelan ludahnya kasar. Hampir saja mulutnya yang tajam
"Kenapa, Mak?" Mesaroh datang dan menatap satu per satu orang yang ada di ruang tamu rumahnya. "Mas Kusni mau menikah ulang hari ini, Mak?" tanya Mesaroh sambil tersenyum malu. "Mana dia, kenapa gak manggil aku?"Bu Minah menunduk dalam. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini karena bagaimanapun kehamilan Mesaroh tanpa suami tentu menjadi aib untuknya."Nak, kasihan Mesaroh ... setidaknya beri sedikit harta gono-gini untuk calon bayinya," ucap Bu Minah memelas. Sangat berbeda dengan sikapnya beberapa menit yang lalu. Sungguh, Ibu Mesaroh ini adalah wanita yang pandai mengubah air muka dengan cepat. "Anu ... itu ... kalian ini kan keponakan istrinya Pak Kusni, setidaknya berikan sedikit bagian untuk Maesaroh. Anak yang dia kandung ini sepupu kalian loh."Hadi terkekeh sinis sementara Adam melengos mendengar suara Bu Minah yang mendadak berubah lembut. "Bu ... astaghfirullah," gumam Hadi sambil geleng-geleng. "Kami ini keponakan Bu Murni istri Pak Kusni. Jadi, semua yang berurusan d
"Janggal ya, dua tahun Mesaroh hilang tapi baru dicari beberapa hari belakangan kan? Mana langsung ketemu pula, kan aneh?" kata tetangga Mey. "Apalagi sampai bisa renovasi rumah, padahal suami Bu Minah gak kerja. Dapat uang darimana coba?""Iya, baru dicari sudah langsung ketemu, kenapa gak dicari dari dulu saja?" celetuk yang lain. "Janggal ya, aneh!"Kasak-kusuk tetangga santer terdengar. Mesaroh kesal, dia menghentak-hentakkan kaki dan melangkah masuk ke dalam kamar dengan perasaan dongkol."Tau apa kalian, jangan menuduh sembarangan! Sana pergi!" hardik Bu Minah. "Tetangga gak punya akhlak!"Para tetangga membubarkan diri sementara di rumah Bu Minah, wanita paruh baya itu marah-marah karena rencananya gagal total."Kamu seharusnya bisa gerak cepat, Saroh! Kalau sudah begini, sia-sia dua tahun kamu berpura-pura gila!" Bu Minah marah-marah dengan suara tertahan. Khawatir para tetangganya mendengar apa yang mereka ributkan. "Harusnya rumah Kusni bisa jadi milik kamu! Bodoh!"Mesaroh
"Boleh ya, Mas Adam, aku harus menuntut hak buat calon bayiku."Adam hendak bangkit, namun Hadi mencekal pergelangan tangan adiknya dan menggeleng samar. "Duduk!"Dengan terpaksa suami Nita itu kembali duduk setelah menyentak napas kasar. "Ngelunjak!" desis Adam geram.Hadi bangkit. Dia berjalan dan mendekati Mesaroh yang terlihat sudah bersiap dengan tas selempang di pundaknya. "Ayo, Mas! Aku ini Bulek muda kalian, tolong lah kerja samanya!""Kita balik sekarang ya, Wat?" tanya Hadi pada istrinya. Wati mengangguk, Bu Asih dan Pak Panijo memahami keadaan anak menantunya. Senyum lega terbit di bibir Mesaroh, dia merapikan rambut dan bajunya saat Adam dan Hadi berjalan mendekati mobil mereka. Wati mendapat giliran terakhir mencium punggung tangan Emak dan Bapak sambil sejenak memeluk pasangan tua yang sudah membesarkannya selama ini. "Kalau Farhan sudah libur, kami kesini lagi, Mak.""Jangan pikirkan Emak dan Bapak, urus suami dan anakmu dengan baik. Hati-hati di jalan."Wati menganggu
Dua hari setelah Bulek dirawat di Rumah Sakit, hari ini keadaannya sudah semakin membaik dan diperbolehkan pulang oleh dokter yang bertugas. Nita dan Wati membantu mengemas barang-barang sementara Adam menyelesaikan biaya administrasi dan Hadi membantu Bulek berjalan menuju parkiran mobil. "Bulek bisa jalan sendiri," kata Bulek pada Hadi. "Bulek sudah sembuh, Hadi.""Jangan banyak bicara, Bulek!" hardik Hadi dingin. "Kalau ada keponakan mau bermanja-manja begini, Bulek diam saja!"Bulek tersenyum tipis. Hadi memang berbeda dengan Adam. Suami Wati ini sedikit kesulitan beramah tamah. Namun hatinya sangat baik dan semua orang paham karakter Hadi."Maafkan Bulek ya ....""Sekali lagi Bulek minta maaf, aku yakin pasti dapat hadiah piring," cibir Hadi. Bulek terkekeh. Hatinya menghangat mendapat perlakuan istimewa dari keponakannya yang selama ini terkesan menjaga jarak."Bulek buruk sekali dulu ....""Ya, memang," sahut Hadi gamblang. "Kalau sampai setelah ini Bulek belum juga berubah m