Nita meredam emosinya melihat status Wati yang bertebaran di WhatsApp. Tidak ada cara lain, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk melindungi hati adalah dengan menyembunyikan status Wati agar berada di bagian bottom, yang paling bawah. Tidak akan terlihat jika memang tidak mau dilihat. Karena kemarin sore Adam ada keperluan sehingga belum sempat menemui Paklik untuk membicarakan perihal uang sewa sawah, maka pagi ini setelah sarapan bersama Sang Istri, Adam menyempatkan diri mendiskusikan masalah sawah yang mereka kelola mengingat hari ini adalah hari libur, tentu saja Paklik ada di rumah. Pikir Adam."Yakin mau menemui Paklik, Mas?" tanya Nita ketar-ketir. "Kalau ternyata Paklik sudah ngasih uang sewa, gimana?""Maksudnya?""Y-- ya, maksudku ... maaf, kalau ternyata Paklik sudah mempercayakan uang sewa pada Bulik, bagaimana?""Dan Bulek menilap uang itu, begitu maksud kamu, Nit?"Nita mengangguk ragu. "Maaf, Mas, bukannya aku menuduh Bulek ....""Ya bagus dong! Memang seharusn
"Tumben kalian main ke rumah Paklik, ada apa, Dam?"Paklik yang sedang menyulut rokok memindai tubuh Adam dan Nita bergantian. "Duduk!""Terima kasih, Paklik. Tapi ... Bulek gak bilang kalau kami mau datang?"Paklik menggeleng. "Memang kenapa? Penting sekali kedatangan kalian kali ini? Padahal rumah kita ini dekat, kamu itu juga keponakan istriku, Adam. Tapi sejak sudah menikah ... Bulek kamu itu bilang kalau kamu jarang mengunjunginya. Kenapa? Istrimu yang gak bolehin?" Nita terkejut dengan pertanyaan pembuka yang Paklik lontarkan. Pasalnya, Nita pun tidak pernah melarang Adam untuk mengunjungi Bulek. Tapi ... ah sudahlah!"Tidak, Paklik. Mana mungkin Nita melarang, lagipula setiap hari aku sama Bulek juga sering ketemu dan mengobrol sebentar di depan rumah," papar Adam. "Halah, benar kata Bulek kamu, otakmu itu sudah dicuci sama Nita."Nita menghela napas kasar. Selain Bulek dan Mbak Wati, Paklik memang menjadi salah tiga diantara mereka yang tidak menyukai pernikahannya dengan Ad
"Sakit hati karena kami mau ambil sawah yang Bulek kelola, iya?"Suara Adam meninggi. Mau tidak mau Paklik keluar dan menatap sengit ke arahnya. Terlihat Bulek juga mengekor di belakang sambil melengos enggan melihat Nita."Aku sama Bang Hadi selama ini diam bukan karena kami tidak tau apa-apa, Bulek! Aku mengikhlaskan semua yang Bulek lakukan pada kami! Tapi ... jika Bulek dan Paklik masih saja menganggap aku dan Bang Hadi tidak pernah mau membalas budi, maka sekalian saja kembalian uang penjualan sawah orang tua kami dulu! Aku dan Bang Hadi siap membayar uang makan selama tiga tahun lamanya, mulai dari aku kelas 1 SMA sampai lulus sekolah. Aku yakin ... biaya makan untukku saja tidak lebih dari seratus juta selama tiga tahun itu. Bagaimana?"Bulek menoleh dengan cepat. Tiba-tiba wanita paruh baya itu menangis dan terduduk di lantai rumahnya. "Tega kamu, Adam! Ya Allah, tega sekali keponakanku ini. Hu ... hu ... hu ....""Aku tidak mungkin semarah ini jika Paklik tau diri, Bulek! Bis
"Mas, tunggu!" Nita mengejar langkah suaminya yang semakin menjauh. Demi apa, mereka pergi tanpa mengucap salam padahal datang tadi sudah niat untuk berbicara baik-baik. Ternyata benar apa kata pepatah, "Jangan menolong orang yang tidak punya hati, atau kamu akan makan hati tiap hari."Adam menghentikan langkah tepat di depan rumah Hadi. Niat hati ingin membagi luka hatinya pada Sang Kakak, namun sepertinya disana pun sedang terjadi ketegangan yang amat sangat menegangkan.Nita menggenggam tangan Sang Suami dan mengatur napasnya yang mulai terengah."Maaf ya, Dek," kata Adam sesal. "Tapi emosi sekali sampai melupakan kamu di belakang."Nita cemberut. Belum sempat ia menunjukkan air mukanya yang sedang kesal, Adam sudah menarik tangan istrinya untuk mendekat ke arah dimana Hadi tengah berdiri di halaman rumahnya."Kenapa, Bang?" Hadi yang sedang melakukan aksi tarik menarik dengan Wati pun melepaskan tangannya secara tiba-tiba. "Tau nih, Mbakmu, main tarik-tarik aja!" gerutu Hadi me
"Pak, jawab!" bentak Bulek Murni. "Uang hasil panen masih rutin kamu tabung kan?"Paklik menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jantungnya berdegup kencang mendengar pertanyaan dari Sang Istri."Y-- ya, rutin lah!" sahutnya gugup. Bulek Murni tersenyum puas. "Bagus lah! Kalau begitu kita bisa pakai uang itu sementara sampai aku bisa membujuk Adam nanti."Paklik menghela napas kasar. "Mending kita ke rumah mereka sekarang. Jangan sampai Adam dikuasai penuh sama istrinya. Enak saja, kita yang sudah merawat mereka waktu orang tuanya meninggal, sekarang main ambil-ambil saja sawah yang sudah lama kita kelola. Harusnya gak begitu, Buk!" Paklik menggebu-gebu berbicara di depan Bulek Murni. "Kamu juga jadi orang yang dituakan jangan lemah dong! Kamu mau kalah sama Nita yang baru dua tahun jadi istrinya Adam, hah?"Dada Bulek Murni naik turun. Benar yang dikatakan suaminya, enak saja Nita mendapatkan semuanya sementara dia hanya berhasil menjual dua petak sawah dan satu kebun pada tetangganya
"Ya, sepertinya aku memang serakah, Bulek," aku Nita bangga. "Saking serakahnya aku, sampai-sampai sawah milik mendiang Ibu Mas Adam saja terjual dua petak, belum lagi ada satu sawah yang ingin aku kuasai, juga satu kebun berukuran lebar yang disewakan pada orang lain. Wah, hebat sekali aku ya, Bulek. Sangat serakah!"Wajah Bulek Murni memerah. Bibirnya mencap-mencep mendengar sindiran yang keluar dari mulut Nita. "Lancang kamu, Nit! Kalau bukan karena Adam, kamu mana bisa hidup terjamin begini!" hardik Paklik sengit.Nita lagi-lagi hanya manggut-manggut. "Ya, benar sekali!" Istri Adam itu menjentikkan jarinya. "Seharusnya Paklik sama Bulek juga berkaca, jika bukan karena harta kedua orang tua Mas Adam dan Bang Hadi, Paklik sama Bulek mana bisa menikmati hidup dari hasil berbuat culas pada keponakan sendiri. Betul apa betul?""Diam kamu, Nita!" bentak Bulek Murni. Telunjuknya mengarah tepat di wajah Nita, namun Adam tiba-tiba
"Nit, cuma lima ratus ribu ini, enteng lah buat kamu!" desak Mbak Wati, "Kamu gak kasihan sama aku, gimana kalau Bank Semok itu datang sewaktu ada Mas Hadi, mampus aku, Nit!"Nita menarik napas panjang. Baru dua hari merasakan hidupnya tenang tanpa ada suara Mbak Wati, kini ia datang membawa masalahnya untuk dibagi bersama Nita."Aku gak ada, Mbak. Uangnya dibawa Mas Adam semua," sahut Nita tidak jujur. "Kalau Mbak mau, tunggu Mas Adam pulang nanti, Mbak."Mbak Wati berkacak pinggang. Deru napasnya masih memburu mendengar penolakan dari bibir Nita."Kalau aku pinjam sama Adam, yang ada nanti ujung-ujungnya Mas Hadi tau, Nit! Kamu ini gak bisa diajak kerja sama banget sih sama ipar sendiri!"Nita meletakkan panci di tempatnya setelah ia cuci bersih sambil mendengarkan dongeng dari bibir Mbak Wati. "Kalau gak mau Mas Hadi tau, ya jangan hutang sembunyi-sembunyi dong, Mbak! Jadi ipar jangan ngajakin berbuat buruk, dosa!""Aku kepepet, Nit. Ck, ayolah!""Memang kurang jatah dari Mas Hadi
"Buat apalagi, Wat?" desis Hadi tertahan. "Buat apa ambil hutang di Bank Semok, hah?"Wati menggeleng lemah. Air mata sudah menganak sungai melihat Sang Suami yang bersiap meledak-ledak di depan rumah."Jangan begitu kamu, Hadi, biarkan saja istrimu punya hutang, toh itu hal yang wajar," sahut Bulek sok bijak. "Kenapa harus malu sih punya cicilan, udah ... sudah hal biasa disini. Jangan marah-marah cuma gara-gara hutang, norak kamu!"Nita dan Adam menyimak di teras rumah sambil ngeteh berdua. Bisa keduanya lihat betapa Bulek Murni adalah aktris yang pandai memainkan perannya."Jangan samakan istrimu sama Nita, mereka itu beda! Wati itu perempuan masa kini, bisa mengikuti perkembangan jaman, kalau Nita ... maklum, dia dari dulu gak pernah pegang uang banyak. Sekalinya dapat Adam, sok-sokan gak mau berhutang. Sombong!""Kena lagi," gumam Nita kesal. "Diam kena, ikut campur pun nanti tambah kena," imbuhnya menggerutu. Adam masih menyeruput teh panas yang diseduh di atas piring kecil. Uc