Benar dugaanku, pikir Puti Bungo Satangkai.“Kau—” Antaguna tidak dapat meneruskan kata-katanya.Banyak hal yang kini bermunculan di dalam kepalanya demi mendengar penuturan si Kapuyuak.Sementara, satu per satu air mata menitik jatuh ke lantai. Si Kapuyuak tidak dapat lagi menahan-nahan kesedihan yang selama ini ia tanggung di dalam tubuhnya yang kurus kerempeng itu.“M-Maafkan aku …”Bungo bangkit dari duduknya, lalu mendekati si Kapuyuak, duduk di dipan yang sama, di samping kanannya, merangkulnya dengan kasih sayang yang ia miliki.“Hei,” panggil Antaguna. “Apa yang terjadi?”Sang remaja menggeleng lemah. “A-Aku hanya tahu bahwa ibu kami mengikuti kekasihnya. A-Ayah kami sudah lama tiada.”“Jangan bilang pria itu mengajak ibumu untuk memasuki aliran sesat itu?”Dengan menahan kesedihan yang begitu besar, si Kapuyuak mengangguk.Bungo mengelus punggung sang remaja dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan baginya.“Ta-Tapi,” ujarnya dengan terisak, lalu menghela napas lebih bany
Si wanita muda menggeram dan dengan cepat menghunus pedangnya. Tapi seorang rekannya yang pria langsung menahan gerakan tangannya.“Hentikan!” ujar pria muda tersebut. “Datuak Ambisar tidak menginginkan dia mati. Kau ingat?”“Cih!” wanita muda dengan sorot mata yang dingin itu kembali menyarungkan pedangnya. “Kalau bukan karena Datuak menghargai keterampilanmu, aku pasti sudah menebas batang lehermu, tabib busuk!”Sang tabib terkekeh. Lalu bangkit dan duduk berselonjor begitu saja, seolah-olah dia sedang duduk di tepi pantai. Lalu meludah lagi dan menggerak-gerakkan kipasnya dengan acuh tak acuh.“Kau pikir aku orang yang takut mati, begitukah?”Sang tabib tertawa-tawa lagi sementara wanita muda itu semakin menggeram, begitu juga dengan teman-temannya.“Kalian,” ujarnya seraya menunjuk-nunjuk keenam orang tersebut dengan kipas daun pandannya. “Baru berumur setahun jagung, dan lantas merasa telah memiliki kekuasaan hanya lantaran kalian bergabung dengan aliran sesat itu? Menyedihkan!”
Sementara itu di dalam rumah sang tabib, si Kapuyuak langsung menghampiri Ima yang sedang berbaring tenang di atas sebuah ranjang mambu yang berlapis kasur tipis. Setidaknya, itu lebih bagus daripada dia harus berbaring di dipan tanpa alas.“Ima,” panggil si Kapuyuak dengan berlutut di lantai, di dekat kepala sang adik.Tapi sepertinya gadis kecil itu sedang tertidur pulas. Setidaknya, itulah yang dapat ditangkap oleh Puti Bungo Satangkai yang menemani si Kapuyak.Yah, si gadis kecil hening dalam tidurnya. Mungkin pula sang tabib sengaja melakukan itu kepadanya agar dia mendapatkan istirahat yang baik setelah menjalani pengobatannya.Terbukti bahwa sang tabib sangat telaten dalam pekerjaannya. Ima tidur tanpa pakaian tapi juga dalam keadaan tertutup selimut tebal untuk menghangatkan tubuhnya.Dari bawah dipan itu sendiri, di lantainya, terdapat sebuah nampan bundar dan cekung. Di dalam nampan, ada rempah-rempah yang sedang terbakar pelan dan mengeluarkan asap tipis.Bungo mengernyit.
“Aku paham!” ujar sang tabib. “Baiklah. Apa yang kau inginkan sebagai pertukarannya?”“Rawat gadis kecil itu sampai sembuh,” jawab Antaguna. “Dan izinkan si Kapuyuak tinggal di sini.”“Hie, hei—”“Dia akan lebih tenang jika berada di dekat adiknya. Kuharap Anda bisa memahami hal ini.”“Argh … kau si sialan!” maki sang tabib. “Baiklah, baiklah. Berengsek! Entah mengapa juga aku menyetujui tawaran meragukan ini!”Antaguna melirik Puti Bungo Satangkai, tersenyum, dan mengedipkan sebelah matanya.Sang gadis hanya menghela napas dalam-dalam. Untuk sekarang, dia menyimpan saja satu dua hal yang hendak ia pastikan pada Antaguna.“Berapa lama?”“Entahlah,” jawab Antaguna dengan mengendikkan bahunya. “Siapa yang bisa tahu? Tapi yang pasti, kami berdua tentu tidak akan betah berlama-lama berada di sana.”Kembali pria tinggi besar melirik pada sang gadis seolah meminta persetujuan darinya.Sang tabib mendesah panjang. “Entah kalian akan berhasil—dengan apa pun tujuan kalian mendatangi si Ambisar
Pria enam puluh tahun dengan tubuh yang masih terawat baik itu tertawa-tawa ketika enam muda-mudi melaporkan tentang keangkuhan dan betapa keras kepalanya si tabib yang tinggal di satu pasar itu.Yah, tubuhnya dapat digolongkan cukup sempurna sebagai laki-laki. Tegap, berotot, dan terlihat padat meski di usia lebih dari setengah abad. Kecuali pada rambutnya yang sebagian besarnya sudah memutih.Dia adalah Datuak Ambisar yang bergelar si Gagak Api. Dia membawahi satu kelompok penjahat yang berkedok perguruan silat, juga sekaligus sebuah aliran yang telah mendapat cap buruk di tengah-tengah masyarakat.Saat ini, dia sedang berada di satu ruangan luas, duduk setengah berbaring di satu kursi kayu berukir dengan lapisan beledu merah terang. Dia hanya mengenakan celana komprang hitamnya itu saja, dan bertelanjang di bagian atas. Bulu-bulu halus di dada hingga ke pusarnya yang lebat itu pun sudah memutih semua.Sang datuak dilayani oleh dua wanita yang berpakaian sangat minim. Di kirinya seo
Jalan yang semakin menanjak di lereng sebelah utara Gunung Kerinci membuat Sikumbang dan kuda betina coklat keemasan itu mengerahkan kekuatan kaki mereka masing-masing untuk mengantarkan tuan mereka lebih jauh.Tapi sepertinya itu akan menjadi sia-sia jika terus memaksa kedua kuda itu. Setidaknya, inilah yang dipikirkan oleh Antaguna.“Hei!” panggilnya pada sang gadis. “Kurasa, akan lebih baik kita tidak menggunakan kuda untuk naik lebih tinggi.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam seraya mengusap-usap leher kuda tunggangannya. Lalu dia mengangguk untuk menanggapi ucapan sang pria.“Ingat, Kumbang!” ucap Antaguna pada kuda jantan hitamnya. “Jangan kemana-mana, tetaplah di sini, tunggu panggilan dari kami.”Seolah memahami apa yang diucapkan tuannya, Sikumbag meringkik halus. Tapi sepertinya perhatian kuda jantan itu lebih tertuju pada kuda betina milik Bungo.“Hah, jantan sialan!” maki Antaguna dengan suara pelan.Bungo yang mendengar itu hanya bisa tersenyum-senyum. ‘Kali
“Hei!” Antaguna mendekati sang gadis. “Kurasa lebih baik kita sembunyikan mereka terlebih dahulu sebelum naik lebih jauh.” Puti Bungo Satangkai mengangguk saja. Lagi pula, itu sebuah gagasan yang baik. Bila tidak, mungkin orang-orang itu akan ditemukan oleh yang lainnya, yang berarti pula akan sedikit menghalangi langkah keduanya nanti. Tapi Antaguna tak hendak membiarkan sang gadis menyeret-nyeret keenam orang tersebut, dua di antaranya telah menjadi mayat. Jadi, dia sendiri saja yang melakukan semua itu. Menyeret mereka semua ke balik sebuah batu besar, lalu menutupi mereka dengan rumput-rumput kering, juga ranting-ranting dan dedaunan. “Ayo!” Antaguna mengajak sang gadis untuk meneruskan langkah mereka menuju ke lereng timur Gunung Kerinci. Mereka berkelabat laksana hantu di malam hari. Sekejap saja, keduanya telah menghilang ditelan kegelapan. Seakan-akan, tidak pernah terjadi sesuatu di titik yang barusan itu. Sementara di sisi timur lereng Gunung Kerinci, suasana di sekitar
“Tapi tidakkah Ayah hendak membalaskan dendam kakakku?” Lunaya bersikeras terhadap sang ayah meskipun dia tahu sang ayah tidak begitu peduli pada putranya itu. Tidak sekarang, tidak pula dulu. “Ludaya darah dagingmu, Ayah. Kita harus membalaskan kematiannya.”“Naya!”Sang gadis tergagap, lalu tertunduk. Bentakan keras sang ayah membuatnya menekan segala amarah dan kekesalan di dalam dadanya. Dan itu ditandai dengan bahunya yang bergetar hebat.“Kenapa kau keras kepala sekali, hah? Apa kau akan mengikuti jejak abangmu itu?”Si Gagak Api membanting tangannya dengan makian kasar yang lebih keras karena sangat kesal. Kesal sebab dia harus naik ke puncak Kerinci demi mengadakan ritual itu, dan kesal sebab dia juga harus memikirkan kematian putranya, terlebih lagi, dengan putrinya yang sekarang terlihat bersedih sekaligus murka kepadanya.“Kemarilah!” Pada akhirnya dialah yang harus mengalah terhadap putrinya.Tapi Lunaya tetap diam mematung di tempatnya. Si Gagak Api mendekatinya, lalu men