“Aku paham!” ujar sang tabib. “Baiklah. Apa yang kau inginkan sebagai pertukarannya?”“Rawat gadis kecil itu sampai sembuh,” jawab Antaguna. “Dan izinkan si Kapuyuak tinggal di sini.”“Hie, hei—”“Dia akan lebih tenang jika berada di dekat adiknya. Kuharap Anda bisa memahami hal ini.”“Argh … kau si sialan!” maki sang tabib. “Baiklah, baiklah. Berengsek! Entah mengapa juga aku menyetujui tawaran meragukan ini!”Antaguna melirik Puti Bungo Satangkai, tersenyum, dan mengedipkan sebelah matanya.Sang gadis hanya menghela napas dalam-dalam. Untuk sekarang, dia menyimpan saja satu dua hal yang hendak ia pastikan pada Antaguna.“Berapa lama?”“Entahlah,” jawab Antaguna dengan mengendikkan bahunya. “Siapa yang bisa tahu? Tapi yang pasti, kami berdua tentu tidak akan betah berlama-lama berada di sana.”Kembali pria tinggi besar melirik pada sang gadis seolah meminta persetujuan darinya.Sang tabib mendesah panjang. “Entah kalian akan berhasil—dengan apa pun tujuan kalian mendatangi si Ambisar
Pria enam puluh tahun dengan tubuh yang masih terawat baik itu tertawa-tawa ketika enam muda-mudi melaporkan tentang keangkuhan dan betapa keras kepalanya si tabib yang tinggal di satu pasar itu.Yah, tubuhnya dapat digolongkan cukup sempurna sebagai laki-laki. Tegap, berotot, dan terlihat padat meski di usia lebih dari setengah abad. Kecuali pada rambutnya yang sebagian besarnya sudah memutih.Dia adalah Datuak Ambisar yang bergelar si Gagak Api. Dia membawahi satu kelompok penjahat yang berkedok perguruan silat, juga sekaligus sebuah aliran yang telah mendapat cap buruk di tengah-tengah masyarakat.Saat ini, dia sedang berada di satu ruangan luas, duduk setengah berbaring di satu kursi kayu berukir dengan lapisan beledu merah terang. Dia hanya mengenakan celana komprang hitamnya itu saja, dan bertelanjang di bagian atas. Bulu-bulu halus di dada hingga ke pusarnya yang lebat itu pun sudah memutih semua.Sang datuak dilayani oleh dua wanita yang berpakaian sangat minim. Di kirinya seo
Jalan yang semakin menanjak di lereng sebelah utara Gunung Kerinci membuat Sikumbang dan kuda betina coklat keemasan itu mengerahkan kekuatan kaki mereka masing-masing untuk mengantarkan tuan mereka lebih jauh.Tapi sepertinya itu akan menjadi sia-sia jika terus memaksa kedua kuda itu. Setidaknya, inilah yang dipikirkan oleh Antaguna.“Hei!” panggilnya pada sang gadis. “Kurasa, akan lebih baik kita tidak menggunakan kuda untuk naik lebih tinggi.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam seraya mengusap-usap leher kuda tunggangannya. Lalu dia mengangguk untuk menanggapi ucapan sang pria.“Ingat, Kumbang!” ucap Antaguna pada kuda jantan hitamnya. “Jangan kemana-mana, tetaplah di sini, tunggu panggilan dari kami.”Seolah memahami apa yang diucapkan tuannya, Sikumbag meringkik halus. Tapi sepertinya perhatian kuda jantan itu lebih tertuju pada kuda betina milik Bungo.“Hah, jantan sialan!” maki Antaguna dengan suara pelan.Bungo yang mendengar itu hanya bisa tersenyum-senyum. ‘Kali
“Hei!” Antaguna mendekati sang gadis. “Kurasa lebih baik kita sembunyikan mereka terlebih dahulu sebelum naik lebih jauh.” Puti Bungo Satangkai mengangguk saja. Lagi pula, itu sebuah gagasan yang baik. Bila tidak, mungkin orang-orang itu akan ditemukan oleh yang lainnya, yang berarti pula akan sedikit menghalangi langkah keduanya nanti. Tapi Antaguna tak hendak membiarkan sang gadis menyeret-nyeret keenam orang tersebut, dua di antaranya telah menjadi mayat. Jadi, dia sendiri saja yang melakukan semua itu. Menyeret mereka semua ke balik sebuah batu besar, lalu menutupi mereka dengan rumput-rumput kering, juga ranting-ranting dan dedaunan. “Ayo!” Antaguna mengajak sang gadis untuk meneruskan langkah mereka menuju ke lereng timur Gunung Kerinci. Mereka berkelabat laksana hantu di malam hari. Sekejap saja, keduanya telah menghilang ditelan kegelapan. Seakan-akan, tidak pernah terjadi sesuatu di titik yang barusan itu. Sementara di sisi timur lereng Gunung Kerinci, suasana di sekitar
“Tapi tidakkah Ayah hendak membalaskan dendam kakakku?” Lunaya bersikeras terhadap sang ayah meskipun dia tahu sang ayah tidak begitu peduli pada putranya itu. Tidak sekarang, tidak pula dulu. “Ludaya darah dagingmu, Ayah. Kita harus membalaskan kematiannya.”“Naya!”Sang gadis tergagap, lalu tertunduk. Bentakan keras sang ayah membuatnya menekan segala amarah dan kekesalan di dalam dadanya. Dan itu ditandai dengan bahunya yang bergetar hebat.“Kenapa kau keras kepala sekali, hah? Apa kau akan mengikuti jejak abangmu itu?”Si Gagak Api membanting tangannya dengan makian kasar yang lebih keras karena sangat kesal. Kesal sebab dia harus naik ke puncak Kerinci demi mengadakan ritual itu, dan kesal sebab dia juga harus memikirkan kematian putranya, terlebih lagi, dengan putrinya yang sekarang terlihat bersedih sekaligus murka kepadanya.“Kemarilah!” Pada akhirnya dialah yang harus mengalah terhadap putrinya.Tapi Lunaya tetap diam mematung di tempatnya. Si Gagak Api mendekatinya, lalu men
Malam di puncak Gunung Kerinci yang mengarah ke timur, meski sang purnama masih belum mencapai titik tertingginya, tapi keadaan di kawasan itu telah ramai. Nyala api dari puluhan suluh yang dibawa orang-orang itu semakin menerangi sisi di puncak gunung tersebut.Si Gagak Api juga sudah berada di sana, di antara para pengikutnya yang masih muda-muda. Karan dan Karin berlutut dengan sempoyongan di samping kiri dan kanan sang datuak.Di hadapan mereka, terdapat empat tiang dari batang pohon nibung yang sejejer. Masing-masing tiang terjuntai seutas tali rami yang panjang.Kawasan di titik itu terlihat sedikit lebih rata, hal itu jelas dilakukan oleh tangan manusia untuk melakukan hal semacam yang akan dilakukan oleh si Gagak Api bersama murid-muridnya sekarang itu.Aslan menengadah, menatap sang rembulan penuh dengan mengernyit, dia seperti memperhitungkan jangka waktu sebelum sang ratu malam tersebut bertakhta di pucuk tertingginya.Lalu dia menghampiri Si Gagak Api. “Datuak,” ujarnya. “
Untuk menenangkan hatinya yang panas membara, Lunaya memilih untuk berendam saja di dalam bak khusus di kamar mandi yang juga tersedia di kamarnya yang besar.Dua pria itu yang terlihat sangat mirip satu sama lain hanya duduk di kursi dari anyaman rotan, menunggu sang gadis keluar dari kamar mandi.Sekitar sepeminuman teh kemudian, Lunaya keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh mulusnya. Tubuh dan rambutnya masih basah dan dia tidak peduli bahwa dia meninggalkan bekas telapak kakinya yang juga basah di lantai. Tidak sama sekali.Sepertinya berendam di dalam bak khusus itu belum bisa menghilangkan kekesalan gadis tersebut.Melihat kemunculan Lunaya, dua pria kembar lantas berdiri, lalu menghampiri ranjang. Seorang meraih handuk dan seorang lainnya meraih pakaian yang akan digunakan oleh sang gadis.Seperti dua pelayan yang sangat memahami keinginan tuan mereka, seorang dari mereka menyeka tubuh sang gadis, dan seorang lainnya menunggu sampai saudara kembarn
“Hajat?” ulang Lunaya tanpa menurunkan pedangnya. “Jangan katakan padaku bahwa kalian hendak bergabung dan menjadi murid ayahku?”“Jadi, kau adalah putri Datuak Ambisar?”“Tentu saja!” Lunaya menyeringai lagi, dia mengibaskan pedangnya ke bawah, lalu diputar sedemikian rupa hingga pedang terhenti di punggungnya.Bungo memerhatikan bahwa gadis di hadapannya itu cukup lihai dalam menggunakan pedang, juga ilmu meringankan tubuhnya yang barusan tadi dia saksikan.“Baiklah,” kata Antaguna. “Aku … Tarigan, dan gadis ini bernama Bungo.”Lunaya kembali melototi Bungo, dari kepala hingga ke kaki dan balik lagi ke kepala. “Cih! Meskipun namamu seindah wajahmu, tapi maaf-maaf saja, kau bisu!” Lagi, dia tertawa tanpa alasan yang jelas.Antaguna juga mengira ada yang aneh pada Lunaya. Mungkin saja gadis manis yang satu ini memang sedikit bergeser urat saraf di kepalanya, pikirnya.Sementara itu, Bungo cukup memahami mengapa Antaguna memilih memperkenalkan diri dengan menggunakan nama aslinya. Toh,