Lunaya memandang rendah pada Puti Bungo Satangkai sehingga dia membantu pendampingnya yang di kanan untuk menyerang Antaguna bersama-sama.“Kau punya jurus yang bagus, hah?” Antaguna melontarkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang.Dua ujung pedang terus memburu si pria tinggi besar dan berotot tersebut. Sementara itu, Bungo harus meladeni serangan dari pria yang di kiri, tapi itu sedikit lebih menguntungkan baginya.Dua pria kembar itu sepertinya juga memiliki jurus pedang yang sama, pikir sang gadis.Begitu ujung pedang yang seperti memiliki banyak wujud mengincar dadanya, Bungo mengembangkan tangan ke samping, lalu memutar tubuhnya tanpa memindahkan kakinya.Jurus pedang laksana gerakan ujung bambu tertiup angin itu memang cukup cepat, akan tetapi, si gadis bisu itu lebih daripada mampu untuk menghindari desingan-desingan yang mengandung ancaman tersebut.Kembali pada Antaguna. Saat dia masih di udara dalam gerakan melompat ke belakang itu, dia melepaskan Jaring Jerat Naga dari l
“Yah!” Antaguna tahu pasti apa arti tatapan Lunaya terhadap si gadis bisu, dia terkekeh. “Kau boleh meremehkan dia hanya lantaran dia yang bisu. Tapi kau tidak akan menyangka bahwa dia jauh lebih kuat daripada aku sendiri.”Lunaya mereguk ludah. “Oh, aku akan mengadu nyawa dengan kalian berdua!”“Bukankah kau sudah memulai itu?”“Bajingan …”Swiing!Angin tajam kemerah-merahan itu kembali berkelebat ke arah Antaguna, kali ini dalam gerakan menebas serata tanah.Pria tinggi besar tanggapi serangan tebasan mengandung tenaga dalam tinggi itu dengan tenang.Jaring Jerat Naga berpilin lagi, lalu digerakkan sedemikian rupa, dan ujung lainnya ditangkap, kini Antaguna menggunakan dua tangan memegang kedua ujung jaringnya.Angin tajam berdesing, menderu kencang, dan Antaguna menyilangkan jaringnya di depan dada.Triiing!Ia mampu menahan itu meski pijakan kakinya harus bergeser, seperti terseret hingga dua langkah ke belakang.Crass!Antaguna menyeringai sebab pecahnya serangan angin tajam itu
Antaguna melirik Puti Bungo Satangkai dan berkata, “Sepertinya percuma saja bagi kita untuk memaksa dia.”Bungo menghela napas lebih dalam. Melihat dari sikap gadis tersebut, yah, itu mungkin saja, pikirnya.‘Kukira pasti ada sesuatu di atas sana,’ kata Bungo dengan bahasa tangannya.“Kau pikir begitu?” tanya Antaguna dan tatapannya kembali tertuju pada Lunaya.Lunaya sendiri mengernyit bukan karena sakit di jemari tangan kanannya yang remuk melainkan sedikit penasaran terhadap bahasa isyarat si gadis bisu yang tidak ia pahami.‘Mereka bilang di sini perkumpulan aliran sesat itu, bukan?’“Hei, kau benar!” jawab Antaguna. “Hanya mereka bertiga saja yang ada di sini!”“Apa yang kalian bicarakan?” sahut Lunaya.“Kau tahu,” balas Antaguna, “jika kau tak hendak mengatakan pada kami di mana ayahmu menyimpan keping Teratai Abadi itu, maka lebih baik kami langsung menanyakan saja kepadanya di atas sana.”Ucapan itu hanyalah sebuah kesengajaan saja bagi Antaguna, sebuah pancingan untuk sekalig
‘Ini seperti sebuah penolakan!’Antaguna mengernyit dan kerutan di keningnya semakin banyak. “Apa yang kau maksudkan itu, Bungo?”Sang gadis menggeleng cepat. Bukan saatnya untuk membahas hal ini lebih jauh, pikirnya. Oleh sebab itu, Bungo kembali melanjutkan langkahnya. Dan Antaguna terpaksa mengikuti sang gadis.Kembali ke sebidang tanah landai di puncak timur Gunung Kerinci, Aslan tidak seperti para pengikut si Gagak Api lainnya. Bagaimanapun, dia tidak meminum cairan itu sebelumnya, cairan yang telah diminum semua orang termasuk Karan dan Karin ketika mereka masih di rumah sang datuak.Cairan itu sendiri adalah sejenis ramuan yang pernah digunakan oleh Lingga, atau si Tabib Sakti yang tinggal di belakang pasar Nagari Lima Koto. Ramuan itu sesungguhnya hanya akan digunakan oleh sang tabib bila hendak mengobati mereka yang tertembus pedang atau anak panah, misalnya. Untuk membuat mereka tak merasakan sakit selama pengobatan berlangsung. Dengan kata lain, itu hampir sama dengan obat
Sedangkan Bungo, gadis yang satu ini merasakan seluruh bulu-bulu halus di tubuhnya berjingkrak-jingkrak liar. Kemarahan tersulut begitu saja di dalam dirinya, pada orang-orang yang tidak tahu malu sama sekali berbuat asusila bersama-sama di sekitar mereka, pada pasangan yang terikat telanjang, dan terkulai dengan leher seperti ditebas senjata tajam itu.Saat menatap pada pria yang hanya memakai kain palakaik di pinggangnya saja itu, sorot mata si gadis bisu laksana sepasang pedang api yang begitu membara. Terlebih lagi, pada sesuatu yang berkilauan di tangan kanan si Gagak Api.Antaguna juga tertegun pada benda kecil di tangan si Gagak Api tersebut. Dia menoleh pada Puti Bungo Satangkai.“Hei,” ujarnya dengan suara tercekat. “Jangan-jangan benda itu—”Bungo mengangguk, dia juga menyadari bahwa bentuk benda kecil yang berkilauan itu memang sangat mirip dengan kepingan Teratai Abadi.Apa yang sebenarnya terjadi? Gumam sang gadis di dalam hati. Atau … hal-hal seperti inilah yang ditakutk
Tentu saja, Puti Bungo Satangkai dan Antaguna menyadari hal ini.Padahal mereka semua masih bertelanjang, tapi seolah mendapatkan satu perintah secara tak langsung yang tak bisa mereka tolak, mereka jadi tidak memikirkan tubuh mereka sendiri. Para pengikut si Gagak Api tak ubahnya patung bernyawa, terlihat kaku tapi dengan hawa membunuh yang kuat dari diri masing-masing.Bungo menyikut pelan tangan Antaguna, lalu menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.‘Jangan menyakiti orang-orang ini. Kurasa, mereka hanya terpedaya saja.’“Aku tahu,” balas Antaguna, lalu mengawasi semua orang yang mengelilingi mereka. “Sesuatu telah membuat mereka menjadi jasad yang tak memiliki kehendak.”Melihat ternyata gadis di hadapannya tak mampu berbicara, si Gagak Api semakin terbahak-bahak.“Oh, Dewa Kegelapan,” ucapnya dengan lantang, “apakah engkau sengaja mengirimkan gadis berparas cantik dan bisu ini untukku?”Aslan juga berpikir demikian. Terlebih lagi, sejak kemunculan dua tamu tak diundang itu
Sang gadis sendiri cukup terkesiap mendapati kemampuannya yang tidak ia sangka-sangkakan sama sekali.Semenjak meninggalkan Lembah Anai beberapa hari yang lalu, Puti Bungo Satangkai belum mendapat kesempatan lagi untuk ‘memamerkan’ kesaktiannya. Dan yang barusan itu, bukanlah sesuatu yang pernah ia miliki sebelumnya.‘Tidak mungkin! Jangan bilang padaku bahwa dua sesepuh itu menambahkan sesuatu ke dalam diriku saat pengobatan itu berlangsung?’Apa pun itu, Bungo merasa sangat senang, suasana hatinya berubah dalam sekejap meski keadaan di sekitar tetap saja membuatnya merasa jijik. Tapi setidaknya, dia merasa harus lebih berhati-hati dalam menggunakan tenaga dalamnya kini, sebab dia tak hendak menyakiti lebih jauh lagi orang-orang itu, apalagi sampai membunuh mereka.Lagi pula, akan ada waktu untuk memikirkan hal ini nanti, tidak dengan sekarang.Sementara di sisi kirinya, Antaguna kembali mengebutkan sabuk merah di tangannya untuk kesekian kalinya, dan setengah lusin pengikut si Gagak
“Apa lagi yang kalian tunggu?”Ucapan si Gagak Api itu laksana sebuah undangan untuk menyerangnya. Tapi Antaguna tetap hening di pijakannya seraya membaca keadaan di sekitar lebih jauh.Begitu pula dengan Puti Bungo Satangkai. Meskipun dia menilai bahwa si Gagak Api adalah seorang tua yang gila, tapi tentu saja, pria itu tidak bisa dianggap remeh. Bila tidak, tentulah sudah sejak lama orang-orang istana telah dapat meringkusnya.Terlebih lagi, dengan si Gagak Api yang mengepalai banyak penjahat gunung dan bandit-bandit hutan, ini bukanlah satu keterampilan yang sepele.Setidaknya, meskipun baru selusin dua saja para bandit dan penjahat itu yang dilihat oleh Bungo sendiri dan Antaguna ketika hendak menaiki puncak gunung ini, tapi dia cukup yakin bahwa penjahat-penjahat itu masih banyak bertebaran di titik lain di bawah sana.“Ayo, berlututlah sekarang juga di hadapanku!” ucap Datuak Ambisar. “Dan buka pakaian kalian hingga telanjang!”“Kau pikir kau bisa memerintahkan kami dengan hal m