“Yah!” Antaguna tahu pasti apa arti tatapan Lunaya terhadap si gadis bisu, dia terkekeh. “Kau boleh meremehkan dia hanya lantaran dia yang bisu. Tapi kau tidak akan menyangka bahwa dia jauh lebih kuat daripada aku sendiri.”Lunaya mereguk ludah. “Oh, aku akan mengadu nyawa dengan kalian berdua!”“Bukankah kau sudah memulai itu?”“Bajingan …”Swiing!Angin tajam kemerah-merahan itu kembali berkelebat ke arah Antaguna, kali ini dalam gerakan menebas serata tanah.Pria tinggi besar tanggapi serangan tebasan mengandung tenaga dalam tinggi itu dengan tenang.Jaring Jerat Naga berpilin lagi, lalu digerakkan sedemikian rupa, dan ujung lainnya ditangkap, kini Antaguna menggunakan dua tangan memegang kedua ujung jaringnya.Angin tajam berdesing, menderu kencang, dan Antaguna menyilangkan jaringnya di depan dada.Triiing!Ia mampu menahan itu meski pijakan kakinya harus bergeser, seperti terseret hingga dua langkah ke belakang.Crass!Antaguna menyeringai sebab pecahnya serangan angin tajam itu
Antaguna melirik Puti Bungo Satangkai dan berkata, “Sepertinya percuma saja bagi kita untuk memaksa dia.”Bungo menghela napas lebih dalam. Melihat dari sikap gadis tersebut, yah, itu mungkin saja, pikirnya.‘Kukira pasti ada sesuatu di atas sana,’ kata Bungo dengan bahasa tangannya.“Kau pikir begitu?” tanya Antaguna dan tatapannya kembali tertuju pada Lunaya.Lunaya sendiri mengernyit bukan karena sakit di jemari tangan kanannya yang remuk melainkan sedikit penasaran terhadap bahasa isyarat si gadis bisu yang tidak ia pahami.‘Mereka bilang di sini perkumpulan aliran sesat itu, bukan?’“Hei, kau benar!” jawab Antaguna. “Hanya mereka bertiga saja yang ada di sini!”“Apa yang kalian bicarakan?” sahut Lunaya.“Kau tahu,” balas Antaguna, “jika kau tak hendak mengatakan pada kami di mana ayahmu menyimpan keping Teratai Abadi itu, maka lebih baik kami langsung menanyakan saja kepadanya di atas sana.”Ucapan itu hanyalah sebuah kesengajaan saja bagi Antaguna, sebuah pancingan untuk sekalig
‘Ini seperti sebuah penolakan!’Antaguna mengernyit dan kerutan di keningnya semakin banyak. “Apa yang kau maksudkan itu, Bungo?”Sang gadis menggeleng cepat. Bukan saatnya untuk membahas hal ini lebih jauh, pikirnya. Oleh sebab itu, Bungo kembali melanjutkan langkahnya. Dan Antaguna terpaksa mengikuti sang gadis.Kembali ke sebidang tanah landai di puncak timur Gunung Kerinci, Aslan tidak seperti para pengikut si Gagak Api lainnya. Bagaimanapun, dia tidak meminum cairan itu sebelumnya, cairan yang telah diminum semua orang termasuk Karan dan Karin ketika mereka masih di rumah sang datuak.Cairan itu sendiri adalah sejenis ramuan yang pernah digunakan oleh Lingga, atau si Tabib Sakti yang tinggal di belakang pasar Nagari Lima Koto. Ramuan itu sesungguhnya hanya akan digunakan oleh sang tabib bila hendak mengobati mereka yang tertembus pedang atau anak panah, misalnya. Untuk membuat mereka tak merasakan sakit selama pengobatan berlangsung. Dengan kata lain, itu hampir sama dengan obat
Sedangkan Bungo, gadis yang satu ini merasakan seluruh bulu-bulu halus di tubuhnya berjingkrak-jingkrak liar. Kemarahan tersulut begitu saja di dalam dirinya, pada orang-orang yang tidak tahu malu sama sekali berbuat asusila bersama-sama di sekitar mereka, pada pasangan yang terikat telanjang, dan terkulai dengan leher seperti ditebas senjata tajam itu.Saat menatap pada pria yang hanya memakai kain palakaik di pinggangnya saja itu, sorot mata si gadis bisu laksana sepasang pedang api yang begitu membara. Terlebih lagi, pada sesuatu yang berkilauan di tangan kanan si Gagak Api.Antaguna juga tertegun pada benda kecil di tangan si Gagak Api tersebut. Dia menoleh pada Puti Bungo Satangkai.“Hei,” ujarnya dengan suara tercekat. “Jangan-jangan benda itu—”Bungo mengangguk, dia juga menyadari bahwa bentuk benda kecil yang berkilauan itu memang sangat mirip dengan kepingan Teratai Abadi.Apa yang sebenarnya terjadi? Gumam sang gadis di dalam hati. Atau … hal-hal seperti inilah yang ditakutk
Tentu saja, Puti Bungo Satangkai dan Antaguna menyadari hal ini.Padahal mereka semua masih bertelanjang, tapi seolah mendapatkan satu perintah secara tak langsung yang tak bisa mereka tolak, mereka jadi tidak memikirkan tubuh mereka sendiri. Para pengikut si Gagak Api tak ubahnya patung bernyawa, terlihat kaku tapi dengan hawa membunuh yang kuat dari diri masing-masing.Bungo menyikut pelan tangan Antaguna, lalu menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.‘Jangan menyakiti orang-orang ini. Kurasa, mereka hanya terpedaya saja.’“Aku tahu,” balas Antaguna, lalu mengawasi semua orang yang mengelilingi mereka. “Sesuatu telah membuat mereka menjadi jasad yang tak memiliki kehendak.”Melihat ternyata gadis di hadapannya tak mampu berbicara, si Gagak Api semakin terbahak-bahak.“Oh, Dewa Kegelapan,” ucapnya dengan lantang, “apakah engkau sengaja mengirimkan gadis berparas cantik dan bisu ini untukku?”Aslan juga berpikir demikian. Terlebih lagi, sejak kemunculan dua tamu tak diundang itu
Sang gadis sendiri cukup terkesiap mendapati kemampuannya yang tidak ia sangka-sangkakan sama sekali.Semenjak meninggalkan Lembah Anai beberapa hari yang lalu, Puti Bungo Satangkai belum mendapat kesempatan lagi untuk ‘memamerkan’ kesaktiannya. Dan yang barusan itu, bukanlah sesuatu yang pernah ia miliki sebelumnya.‘Tidak mungkin! Jangan bilang padaku bahwa dua sesepuh itu menambahkan sesuatu ke dalam diriku saat pengobatan itu berlangsung?’Apa pun itu, Bungo merasa sangat senang, suasana hatinya berubah dalam sekejap meski keadaan di sekitar tetap saja membuatnya merasa jijik. Tapi setidaknya, dia merasa harus lebih berhati-hati dalam menggunakan tenaga dalamnya kini, sebab dia tak hendak menyakiti lebih jauh lagi orang-orang itu, apalagi sampai membunuh mereka.Lagi pula, akan ada waktu untuk memikirkan hal ini nanti, tidak dengan sekarang.Sementara di sisi kirinya, Antaguna kembali mengebutkan sabuk merah di tangannya untuk kesekian kalinya, dan setengah lusin pengikut si Gagak
“Apa lagi yang kalian tunggu?”Ucapan si Gagak Api itu laksana sebuah undangan untuk menyerangnya. Tapi Antaguna tetap hening di pijakannya seraya membaca keadaan di sekitar lebih jauh.Begitu pula dengan Puti Bungo Satangkai. Meskipun dia menilai bahwa si Gagak Api adalah seorang tua yang gila, tapi tentu saja, pria itu tidak bisa dianggap remeh. Bila tidak, tentulah sudah sejak lama orang-orang istana telah dapat meringkusnya.Terlebih lagi, dengan si Gagak Api yang mengepalai banyak penjahat gunung dan bandit-bandit hutan, ini bukanlah satu keterampilan yang sepele.Setidaknya, meskipun baru selusin dua saja para bandit dan penjahat itu yang dilihat oleh Bungo sendiri dan Antaguna ketika hendak menaiki puncak gunung ini, tapi dia cukup yakin bahwa penjahat-penjahat itu masih banyak bertebaran di titik lain di bawah sana.“Ayo, berlututlah sekarang juga di hadapanku!” ucap Datuak Ambisar. “Dan buka pakaian kalian hingga telanjang!”“Kau pikir kau bisa memerintahkan kami dengan hal m
Antaguna tidak sanggup lagi mendengar kata-kata buruk dari mulut si Gagak Api, sehingga dalam kemarahannya itu, dia melesat ke arah pria paruh baya tersebut sembari memutar-mutar Jaring Jerat Naga di tangannya.Whuuk! Whuuk!Si Gagak Api menanggapi serangan pria berbadan tinggi besar itu dengan seringai tipis di sudut bibirnya.Whuuk!Blarr!Sabetan jaring hanya mengenai tanah kosong, beberapa jengkal saja dari kaki si Gagak Api yang dengan lebih cepat menghindari serangan. Bekas seperti dihantam batangan besi terukir memanjang di permukaan tanah.Antaguna tidak kehilangan akal, meskipun ia menggunakan jaring itu laksana sebuah gada dan hanya mengenai permukaan tanah, tapi dia juga cukup gesit, dalam keadaan masih mengambang di udara, dia melesatkan tendangan kaki kanannya.Si Gagak Api menekuk tangan kiri ke atas.Desg!Dia tersenyum lagi sebab tendangan Antaguna dapat ia tahan dengan mudah, lalu melancarkan serangan dengan cakar tangan kanannya ke arah perut Antaguna yang terbuka.A
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau