Antaguna melirik Puti Bungo Satangkai dan berkata, “Sepertinya percuma saja bagi kita untuk memaksa dia.”Bungo menghela napas lebih dalam. Melihat dari sikap gadis tersebut, yah, itu mungkin saja, pikirnya.‘Kukira pasti ada sesuatu di atas sana,’ kata Bungo dengan bahasa tangannya.“Kau pikir begitu?” tanya Antaguna dan tatapannya kembali tertuju pada Lunaya.Lunaya sendiri mengernyit bukan karena sakit di jemari tangan kanannya yang remuk melainkan sedikit penasaran terhadap bahasa isyarat si gadis bisu yang tidak ia pahami.‘Mereka bilang di sini perkumpulan aliran sesat itu, bukan?’“Hei, kau benar!” jawab Antaguna. “Hanya mereka bertiga saja yang ada di sini!”“Apa yang kalian bicarakan?” sahut Lunaya.“Kau tahu,” balas Antaguna, “jika kau tak hendak mengatakan pada kami di mana ayahmu menyimpan keping Teratai Abadi itu, maka lebih baik kami langsung menanyakan saja kepadanya di atas sana.”Ucapan itu hanyalah sebuah kesengajaan saja bagi Antaguna, sebuah pancingan untuk sekalig
‘Ini seperti sebuah penolakan!’Antaguna mengernyit dan kerutan di keningnya semakin banyak. “Apa yang kau maksudkan itu, Bungo?”Sang gadis menggeleng cepat. Bukan saatnya untuk membahas hal ini lebih jauh, pikirnya. Oleh sebab itu, Bungo kembali melanjutkan langkahnya. Dan Antaguna terpaksa mengikuti sang gadis.Kembali ke sebidang tanah landai di puncak timur Gunung Kerinci, Aslan tidak seperti para pengikut si Gagak Api lainnya. Bagaimanapun, dia tidak meminum cairan itu sebelumnya, cairan yang telah diminum semua orang termasuk Karan dan Karin ketika mereka masih di rumah sang datuak.Cairan itu sendiri adalah sejenis ramuan yang pernah digunakan oleh Lingga, atau si Tabib Sakti yang tinggal di belakang pasar Nagari Lima Koto. Ramuan itu sesungguhnya hanya akan digunakan oleh sang tabib bila hendak mengobati mereka yang tertembus pedang atau anak panah, misalnya. Untuk membuat mereka tak merasakan sakit selama pengobatan berlangsung. Dengan kata lain, itu hampir sama dengan obat
Sedangkan Bungo, gadis yang satu ini merasakan seluruh bulu-bulu halus di tubuhnya berjingkrak-jingkrak liar. Kemarahan tersulut begitu saja di dalam dirinya, pada orang-orang yang tidak tahu malu sama sekali berbuat asusila bersama-sama di sekitar mereka, pada pasangan yang terikat telanjang, dan terkulai dengan leher seperti ditebas senjata tajam itu.Saat menatap pada pria yang hanya memakai kain palakaik di pinggangnya saja itu, sorot mata si gadis bisu laksana sepasang pedang api yang begitu membara. Terlebih lagi, pada sesuatu yang berkilauan di tangan kanan si Gagak Api.Antaguna juga tertegun pada benda kecil di tangan si Gagak Api tersebut. Dia menoleh pada Puti Bungo Satangkai.“Hei,” ujarnya dengan suara tercekat. “Jangan-jangan benda itu—”Bungo mengangguk, dia juga menyadari bahwa bentuk benda kecil yang berkilauan itu memang sangat mirip dengan kepingan Teratai Abadi.Apa yang sebenarnya terjadi? Gumam sang gadis di dalam hati. Atau … hal-hal seperti inilah yang ditakutk
Tentu saja, Puti Bungo Satangkai dan Antaguna menyadari hal ini.Padahal mereka semua masih bertelanjang, tapi seolah mendapatkan satu perintah secara tak langsung yang tak bisa mereka tolak, mereka jadi tidak memikirkan tubuh mereka sendiri. Para pengikut si Gagak Api tak ubahnya patung bernyawa, terlihat kaku tapi dengan hawa membunuh yang kuat dari diri masing-masing.Bungo menyikut pelan tangan Antaguna, lalu menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.‘Jangan menyakiti orang-orang ini. Kurasa, mereka hanya terpedaya saja.’“Aku tahu,” balas Antaguna, lalu mengawasi semua orang yang mengelilingi mereka. “Sesuatu telah membuat mereka menjadi jasad yang tak memiliki kehendak.”Melihat ternyata gadis di hadapannya tak mampu berbicara, si Gagak Api semakin terbahak-bahak.“Oh, Dewa Kegelapan,” ucapnya dengan lantang, “apakah engkau sengaja mengirimkan gadis berparas cantik dan bisu ini untukku?”Aslan juga berpikir demikian. Terlebih lagi, sejak kemunculan dua tamu tak diundang itu
Sang gadis sendiri cukup terkesiap mendapati kemampuannya yang tidak ia sangka-sangkakan sama sekali.Semenjak meninggalkan Lembah Anai beberapa hari yang lalu, Puti Bungo Satangkai belum mendapat kesempatan lagi untuk ‘memamerkan’ kesaktiannya. Dan yang barusan itu, bukanlah sesuatu yang pernah ia miliki sebelumnya.‘Tidak mungkin! Jangan bilang padaku bahwa dua sesepuh itu menambahkan sesuatu ke dalam diriku saat pengobatan itu berlangsung?’Apa pun itu, Bungo merasa sangat senang, suasana hatinya berubah dalam sekejap meski keadaan di sekitar tetap saja membuatnya merasa jijik. Tapi setidaknya, dia merasa harus lebih berhati-hati dalam menggunakan tenaga dalamnya kini, sebab dia tak hendak menyakiti lebih jauh lagi orang-orang itu, apalagi sampai membunuh mereka.Lagi pula, akan ada waktu untuk memikirkan hal ini nanti, tidak dengan sekarang.Sementara di sisi kirinya, Antaguna kembali mengebutkan sabuk merah di tangannya untuk kesekian kalinya, dan setengah lusin pengikut si Gagak
“Apa lagi yang kalian tunggu?”Ucapan si Gagak Api itu laksana sebuah undangan untuk menyerangnya. Tapi Antaguna tetap hening di pijakannya seraya membaca keadaan di sekitar lebih jauh.Begitu pula dengan Puti Bungo Satangkai. Meskipun dia menilai bahwa si Gagak Api adalah seorang tua yang gila, tapi tentu saja, pria itu tidak bisa dianggap remeh. Bila tidak, tentulah sudah sejak lama orang-orang istana telah dapat meringkusnya.Terlebih lagi, dengan si Gagak Api yang mengepalai banyak penjahat gunung dan bandit-bandit hutan, ini bukanlah satu keterampilan yang sepele.Setidaknya, meskipun baru selusin dua saja para bandit dan penjahat itu yang dilihat oleh Bungo sendiri dan Antaguna ketika hendak menaiki puncak gunung ini, tapi dia cukup yakin bahwa penjahat-penjahat itu masih banyak bertebaran di titik lain di bawah sana.“Ayo, berlututlah sekarang juga di hadapanku!” ucap Datuak Ambisar. “Dan buka pakaian kalian hingga telanjang!”“Kau pikir kau bisa memerintahkan kami dengan hal m
Antaguna tidak sanggup lagi mendengar kata-kata buruk dari mulut si Gagak Api, sehingga dalam kemarahannya itu, dia melesat ke arah pria paruh baya tersebut sembari memutar-mutar Jaring Jerat Naga di tangannya.Whuuk! Whuuk!Si Gagak Api menanggapi serangan pria berbadan tinggi besar itu dengan seringai tipis di sudut bibirnya.Whuuk!Blarr!Sabetan jaring hanya mengenai tanah kosong, beberapa jengkal saja dari kaki si Gagak Api yang dengan lebih cepat menghindari serangan. Bekas seperti dihantam batangan besi terukir memanjang di permukaan tanah.Antaguna tidak kehilangan akal, meskipun ia menggunakan jaring itu laksana sebuah gada dan hanya mengenai permukaan tanah, tapi dia juga cukup gesit, dalam keadaan masih mengambang di udara, dia melesatkan tendangan kaki kanannya.Si Gagak Api menekuk tangan kiri ke atas.Desg!Dia tersenyum lagi sebab tendangan Antaguna dapat ia tahan dengan mudah, lalu melancarkan serangan dengan cakar tangan kanannya ke arah perut Antaguna yang terbuka.A
“Bagaimana menurutmu?” Si Gagak Api menjulurkan lidah dan menjilat bibirnya sedemikian rupa. “Daripada kau memberikan waktu dan tubuhmu pada si pecundang itu,” ujarnya seraya menunjuk Antaguna, “bukankah lebih baik kau memberikan kesenangan padaku yang seorang titisan Dewa Kegelapan ini, humm?”Sorot mata Bungo membersitkan kilatan kebiru-biruan, bersamaan dengan itu, tubuhnya telah menghilang.Swoosh!Si Gagak Api sempat terkesiap untuk sesaat. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa si gadis bisu justru dapat bergerak dengan sangat-sangat cepat.“Kabut Kahyangan?!”Dan tahu-tahu, Bungo telah berada di hadapan si Gagak Api dalam keadaan mengambang di udara, serta tinju tangan kanan yang menderu, mengincar wajah si Gagak Api.Karena sudah tidak sempat lagi untuk menghindar, si Gagak Api merundukkan sedikit tubuhnya, sekaligus menyilangkan tangannya di depan wajah.Desg!Tinju berhawa dingin itu tertahan, begitu juga gerakan sang gadis yang untuk sepersekian detik mengambang di udara.Si