“Apa lagi yang kalian tunggu?”Ucapan si Gagak Api itu laksana sebuah undangan untuk menyerangnya. Tapi Antaguna tetap hening di pijakannya seraya membaca keadaan di sekitar lebih jauh.Begitu pula dengan Puti Bungo Satangkai. Meskipun dia menilai bahwa si Gagak Api adalah seorang tua yang gila, tapi tentu saja, pria itu tidak bisa dianggap remeh. Bila tidak, tentulah sudah sejak lama orang-orang istana telah dapat meringkusnya.Terlebih lagi, dengan si Gagak Api yang mengepalai banyak penjahat gunung dan bandit-bandit hutan, ini bukanlah satu keterampilan yang sepele.Setidaknya, meskipun baru selusin dua saja para bandit dan penjahat itu yang dilihat oleh Bungo sendiri dan Antaguna ketika hendak menaiki puncak gunung ini, tapi dia cukup yakin bahwa penjahat-penjahat itu masih banyak bertebaran di titik lain di bawah sana.“Ayo, berlututlah sekarang juga di hadapanku!” ucap Datuak Ambisar. “Dan buka pakaian kalian hingga telanjang!”“Kau pikir kau bisa memerintahkan kami dengan hal m
Antaguna tidak sanggup lagi mendengar kata-kata buruk dari mulut si Gagak Api, sehingga dalam kemarahannya itu, dia melesat ke arah pria paruh baya tersebut sembari memutar-mutar Jaring Jerat Naga di tangannya.Whuuk! Whuuk!Si Gagak Api menanggapi serangan pria berbadan tinggi besar itu dengan seringai tipis di sudut bibirnya.Whuuk!Blarr!Sabetan jaring hanya mengenai tanah kosong, beberapa jengkal saja dari kaki si Gagak Api yang dengan lebih cepat menghindari serangan. Bekas seperti dihantam batangan besi terukir memanjang di permukaan tanah.Antaguna tidak kehilangan akal, meskipun ia menggunakan jaring itu laksana sebuah gada dan hanya mengenai permukaan tanah, tapi dia juga cukup gesit, dalam keadaan masih mengambang di udara, dia melesatkan tendangan kaki kanannya.Si Gagak Api menekuk tangan kiri ke atas.Desg!Dia tersenyum lagi sebab tendangan Antaguna dapat ia tahan dengan mudah, lalu melancarkan serangan dengan cakar tangan kanannya ke arah perut Antaguna yang terbuka.A
“Bagaimana menurutmu?” Si Gagak Api menjulurkan lidah dan menjilat bibirnya sedemikian rupa. “Daripada kau memberikan waktu dan tubuhmu pada si pecundang itu,” ujarnya seraya menunjuk Antaguna, “bukankah lebih baik kau memberikan kesenangan padaku yang seorang titisan Dewa Kegelapan ini, humm?”Sorot mata Bungo membersitkan kilatan kebiru-biruan, bersamaan dengan itu, tubuhnya telah menghilang.Swoosh!Si Gagak Api sempat terkesiap untuk sesaat. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa si gadis bisu justru dapat bergerak dengan sangat-sangat cepat.“Kabut Kahyangan?!”Dan tahu-tahu, Bungo telah berada di hadapan si Gagak Api dalam keadaan mengambang di udara, serta tinju tangan kanan yang menderu, mengincar wajah si Gagak Api.Karena sudah tidak sempat lagi untuk menghindar, si Gagak Api merundukkan sedikit tubuhnya, sekaligus menyilangkan tangannya di depan wajah.Desg!Tinju berhawa dingin itu tertahan, begitu juga gerakan sang gadis yang untuk sepersekian detik mengambang di udara.Si
Tapi sang gadis tetap tetang, dia bahkan tersenyum tipis menanggapi serangan yang akan mengenainya kurang dari sedetik lagi itu.Seringai di sudut bibir si Gagak Api menghilang. Untuk sesaat itu, dia berpikir bahwa tidak mungkin gadis itu sengaja menunggu kematiannya.Menunggu serangan ganas ini mengenainya? Yang benar saja!Dari berbentuk kepalan, dua tangan sang gadis kini menampilkan jurus telapak yang diputar sedemikian rupa dengan menghadap ke bawah.Dan ketika si Gagak Api datang dengan serangan dua cakar ganasnya itu, hawa dingin berputar kencang di sekitar Puti Bungo Satangkai yang berpusat dari tenaga dalam di tubuhnya. Lalu dengan cepat sang gadis menghantamkan dua tangannya ke atas, menyongsong serangan si Gagak Api, cakar dibalas cakar.Si Gagak Api membelalak. Untuk sepersekian detik sebelum dua cakarnya beradu dengan dua cakar si gadis bisu, dia seolah melihat bayangan seekor ular besar, berkaki, dan bersirip tajam di bagian punggung, bergerak cepat, bergulung-gulung di
Sampai di satu kesempatan, ketika keduanya baku hantam di udara, si Gagak Api berhasil mencuri serangan dengan menendang Puti Bungo Satangkai di bagian perut. Dan itu membuat sang gadis terlempar lebih tinggi.Bungo melenguh pendek dengan tubuh berputar tak terkendali. Dan bersamaan itu, si Gagak Api mengeluarkan kepingan Teratai Abadi, dia hendak menghabisi gadis tersebut sebagaimana dia menghabisi nyawa Aslan sebelumnya.Sang gadis dapat melihat gelagat tak baik itu meski dia dalam keadaan berputar-putar ke atas.Dengan berteriak kencang dan merentangkan dua tangan dan kakinya, gerakan memutar itu terhenti dengan dia yang menghadap ke bawah, pada si Gagak Api yang sesaat lagi akan menjejak tanah.Antaguna yang melihat gelagat si Gagak Api lantas mengabaikan kondisinya yang belum sepenuhnya sembuh. Sekali ia menepuk tanah, tubuhnya melesat, dan kemudian menyabetkan Jaring Jerat Naga sedemikian rupa.Whuuk!Si Gagak Api menggeram sebab jaring merah itu melilit pinggang dan tangan kana
Puti Bungo Satangkai tidak ingin kehilangan ketenangannya, sebab itulah dia mengabaikan saja Antaguna yang diserang oleh si Gagak Api dengan kepingan Teratai Abadi.“Jangan berlagak di depanku!” teriak si Gagak Api dengan suara menggelegar bersamaan dengan dia yang menghantamkan dua cakar dalam ajian Gagak Setan-nya ke arah sang gadis.Bungo datang dan menyambut serangan itu dengan cua cakar dalam Tarian Sang Naga.Teph! Teph!Dhumm!Empat cakar saling beradu, satu dentuman yang bahkan lebih keras daripada sebelumnya tercipta dari beradunya dua tenaga dalam mereka.Untuk kedua kalinya mereka kembali terpental. Bungo berputar-putar kencang ke belakang, lalu menjejak tanah dengan keadaan setengah berlutut, dan satu tangan yang meremas dada kirinya sebab berdebar-debar tak terkendali. Lalu lelehan darah muncul dari salah satu sudut bibirnya.Sementara si Gagak Api bersurut cepat seolah ditarik kekuatan besar ke belakang, lalu terguling-guling, dan lantas melentingkan tubuhnya ke udara se
Kurang lebih sepenanak nasi sebelum terjadinya perkelahian di antara si Gagak Api melawan Puti Bungo Satangkai dan Antaguna.Si Kumbang Janti sedang berlari kencang dalam ajian meringankan tubuhnya, mendaki lereng Gunung Kerinci dari sisi timur.Sebelumnya, setelah berpamit diri pada Gadih Cimpago, dan berniat tidak akan kembali lagi ke Istana Minanga, pria yang telah meninggalkan gelar Hulubalang Kerajaan-nya itu mencari tahu di mana keberadaan Puti Bungo Satangkai.Si Kumbang Janti tidak menemukan Bungo ketika dia memeriksa kawasan Danau Maninjau sebelumnya, kecuali beberapa kuburan yang berisi jasad beberapa orang, di antaranya adalah Datuak Sani.Meski tidak tertulis langsung pada setiap nisan yang ia jumpai, namun dia dapat menduga bahwa yang membunuh Datuak Sani dan yang lainnya di sana adalah Bungo, dan besar kemungkinan pula gadis itu telah mendapatkan kepingan ketiga Teratai Abadi.Satu-satunya tempat yang kini terpikirkan oleh si Kumbang Janti adalah Gunung Kerinci, kawasan
“Cakar Emas, hah!” ucap Lunaya dan dia mulai merasa bergidik. “Jadi kau si Kumbang Janti?”“Entahlah.” Si Kumbang Janti menyeringai sembari menarik kembali cakar tangan kanannya, lalu mengendikkan bahu. “Kau sendiri yang putuskan!”“Sombong!” Lagi-lagi Lunaya meludah ke tanah. “Tidak,” ucapnya lagi. “Kau bukan si Kumbang Janti sebab si Kumbang Janti bukan pria sepertimu!”“Oh, tahu apa kau tentang diriku?”Lunaya tiba-tiba merunduk rendah, lalu berputar dengan melakukan tendangan untuk menyapu kaki lawannya.Si Kumbang Janti menyeringai saja. Begitu kaki sang gadis akan mengenai kakinya, dia mengangkat satu kaki, lalu mengentakkan kakinya itu dengan keras.Krakk!Lunaya menjerit setinggi langit. Dalam satu entakan saja, si Kumbang Janti telah mematahkan kaki kanannya, tepat sejengkal di atas mata kaki.Sang gadis menjerit dan berguling-guling.Tapi sepertinya si mantan Datuk Hulubalang Kerajaan itu tak hendak memberi hati. Dia dengan cepat mencekal leher Lunaya, lalu memaksanya berdir
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau