“Bagaimana menurutmu?” Si Gagak Api menjulurkan lidah dan menjilat bibirnya sedemikian rupa. “Daripada kau memberikan waktu dan tubuhmu pada si pecundang itu,” ujarnya seraya menunjuk Antaguna, “bukankah lebih baik kau memberikan kesenangan padaku yang seorang titisan Dewa Kegelapan ini, humm?”Sorot mata Bungo membersitkan kilatan kebiru-biruan, bersamaan dengan itu, tubuhnya telah menghilang.Swoosh!Si Gagak Api sempat terkesiap untuk sesaat. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa si gadis bisu justru dapat bergerak dengan sangat-sangat cepat.“Kabut Kahyangan?!”Dan tahu-tahu, Bungo telah berada di hadapan si Gagak Api dalam keadaan mengambang di udara, serta tinju tangan kanan yang menderu, mengincar wajah si Gagak Api.Karena sudah tidak sempat lagi untuk menghindar, si Gagak Api merundukkan sedikit tubuhnya, sekaligus menyilangkan tangannya di depan wajah.Desg!Tinju berhawa dingin itu tertahan, begitu juga gerakan sang gadis yang untuk sepersekian detik mengambang di udara.Si
Tapi sang gadis tetap tetang, dia bahkan tersenyum tipis menanggapi serangan yang akan mengenainya kurang dari sedetik lagi itu.Seringai di sudut bibir si Gagak Api menghilang. Untuk sesaat itu, dia berpikir bahwa tidak mungkin gadis itu sengaja menunggu kematiannya.Menunggu serangan ganas ini mengenainya? Yang benar saja!Dari berbentuk kepalan, dua tangan sang gadis kini menampilkan jurus telapak yang diputar sedemikian rupa dengan menghadap ke bawah.Dan ketika si Gagak Api datang dengan serangan dua cakar ganasnya itu, hawa dingin berputar kencang di sekitar Puti Bungo Satangkai yang berpusat dari tenaga dalam di tubuhnya. Lalu dengan cepat sang gadis menghantamkan dua tangannya ke atas, menyongsong serangan si Gagak Api, cakar dibalas cakar.Si Gagak Api membelalak. Untuk sepersekian detik sebelum dua cakarnya beradu dengan dua cakar si gadis bisu, dia seolah melihat bayangan seekor ular besar, berkaki, dan bersirip tajam di bagian punggung, bergerak cepat, bergulung-gulung di
Sampai di satu kesempatan, ketika keduanya baku hantam di udara, si Gagak Api berhasil mencuri serangan dengan menendang Puti Bungo Satangkai di bagian perut. Dan itu membuat sang gadis terlempar lebih tinggi.Bungo melenguh pendek dengan tubuh berputar tak terkendali. Dan bersamaan itu, si Gagak Api mengeluarkan kepingan Teratai Abadi, dia hendak menghabisi gadis tersebut sebagaimana dia menghabisi nyawa Aslan sebelumnya.Sang gadis dapat melihat gelagat tak baik itu meski dia dalam keadaan berputar-putar ke atas.Dengan berteriak kencang dan merentangkan dua tangan dan kakinya, gerakan memutar itu terhenti dengan dia yang menghadap ke bawah, pada si Gagak Api yang sesaat lagi akan menjejak tanah.Antaguna yang melihat gelagat si Gagak Api lantas mengabaikan kondisinya yang belum sepenuhnya sembuh. Sekali ia menepuk tanah, tubuhnya melesat, dan kemudian menyabetkan Jaring Jerat Naga sedemikian rupa.Whuuk!Si Gagak Api menggeram sebab jaring merah itu melilit pinggang dan tangan kana
Puti Bungo Satangkai tidak ingin kehilangan ketenangannya, sebab itulah dia mengabaikan saja Antaguna yang diserang oleh si Gagak Api dengan kepingan Teratai Abadi.“Jangan berlagak di depanku!” teriak si Gagak Api dengan suara menggelegar bersamaan dengan dia yang menghantamkan dua cakar dalam ajian Gagak Setan-nya ke arah sang gadis.Bungo datang dan menyambut serangan itu dengan cua cakar dalam Tarian Sang Naga.Teph! Teph!Dhumm!Empat cakar saling beradu, satu dentuman yang bahkan lebih keras daripada sebelumnya tercipta dari beradunya dua tenaga dalam mereka.Untuk kedua kalinya mereka kembali terpental. Bungo berputar-putar kencang ke belakang, lalu menjejak tanah dengan keadaan setengah berlutut, dan satu tangan yang meremas dada kirinya sebab berdebar-debar tak terkendali. Lalu lelehan darah muncul dari salah satu sudut bibirnya.Sementara si Gagak Api bersurut cepat seolah ditarik kekuatan besar ke belakang, lalu terguling-guling, dan lantas melentingkan tubuhnya ke udara se
Kurang lebih sepenanak nasi sebelum terjadinya perkelahian di antara si Gagak Api melawan Puti Bungo Satangkai dan Antaguna.Si Kumbang Janti sedang berlari kencang dalam ajian meringankan tubuhnya, mendaki lereng Gunung Kerinci dari sisi timur.Sebelumnya, setelah berpamit diri pada Gadih Cimpago, dan berniat tidak akan kembali lagi ke Istana Minanga, pria yang telah meninggalkan gelar Hulubalang Kerajaan-nya itu mencari tahu di mana keberadaan Puti Bungo Satangkai.Si Kumbang Janti tidak menemukan Bungo ketika dia memeriksa kawasan Danau Maninjau sebelumnya, kecuali beberapa kuburan yang berisi jasad beberapa orang, di antaranya adalah Datuak Sani.Meski tidak tertulis langsung pada setiap nisan yang ia jumpai, namun dia dapat menduga bahwa yang membunuh Datuak Sani dan yang lainnya di sana adalah Bungo, dan besar kemungkinan pula gadis itu telah mendapatkan kepingan ketiga Teratai Abadi.Satu-satunya tempat yang kini terpikirkan oleh si Kumbang Janti adalah Gunung Kerinci, kawasan
“Cakar Emas, hah!” ucap Lunaya dan dia mulai merasa bergidik. “Jadi kau si Kumbang Janti?”“Entahlah.” Si Kumbang Janti menyeringai sembari menarik kembali cakar tangan kanannya, lalu mengendikkan bahu. “Kau sendiri yang putuskan!”“Sombong!” Lagi-lagi Lunaya meludah ke tanah. “Tidak,” ucapnya lagi. “Kau bukan si Kumbang Janti sebab si Kumbang Janti bukan pria sepertimu!”“Oh, tahu apa kau tentang diriku?”Lunaya tiba-tiba merunduk rendah, lalu berputar dengan melakukan tendangan untuk menyapu kaki lawannya.Si Kumbang Janti menyeringai saja. Begitu kaki sang gadis akan mengenai kakinya, dia mengangkat satu kaki, lalu mengentakkan kakinya itu dengan keras.Krakk!Lunaya menjerit setinggi langit. Dalam satu entakan saja, si Kumbang Janti telah mematahkan kaki kanannya, tepat sejengkal di atas mata kaki.Sang gadis menjerit dan berguling-guling.Tapi sepertinya si mantan Datuk Hulubalang Kerajaan itu tak hendak memberi hati. Dia dengan cepat mencekal leher Lunaya, lalu memaksanya berdir
Si Kumbang Janti lantas berdiri, menatap sesaat pada mayat Lunaya yang melotot, lalu memandang ke arah kiri, arah di mana terdapat bagiann bersih dari permukaan tanah yang mengarah ke atas.Seperti ada yang menuntunnya, si Kumbang Janti lantas melesat, dan sekejap saja menghilang ke arah tersebut.Dari balik pintu yang terbuka, seseorang keluar dengan takut-takut. Dia adalah salah satu dari pelayan Datuak Ambisar, seorang wanita sepantaran 35 tahun. Dengan pakaiannya yang minim, dia mendekati jasad Lunaya, juga setengah ketakutan.“Tu-Tuan Gadih …” ujarnya dengan suara yang nyaris tak terdengar sembari menggoyang-goyangkan bahu Lunaya.Lalu dia terkesiap dan terduduk di tanah demi melihat darah yang mengalir keluar dari mulut dan lubang hidung di wajah Lunaya.Sang wanita yang gemetar, mereguk ludah, lalu melirik ke arah menghilangnya si Kumbang Janti.“Ti-Tidak mungkin,” gumamnya dengan bergetar. “Da-Datuk Kumbang Janti se-sekejam ini? Tidak mungkin!”Kembali pada si Kumbang Janti ya
“Dasar penjahat keparat!” ucap si Kumbang Janti dengan masih mencengkeram kerah baju Antaguna.Lalu dia tertawa-tawa sementara Antaguna hanya bisa terkulai dalam cengkeraman tersebut.“Akhirnya!” lanjutnya. “Tiba juga saat di mana kau menerima karmamu, Antaguna. Kau pantas mati dengan lebih menyedihkan!”Si Kumbang Janti mengangkat tangan kirinya, lalu jari-jarinya membantuk cakar unik yang dikenal pasti oleh Antaguna sendiri.Cakar yang sama pernah membuatnya terluka cukup dalam, ketika Antaguna melawan Rajo Bungsu di Istana Minanga.Yah, Cakar Emas!Tapi Antaguna yang sedang sekarat dan kepayahan tidak bisa berbuat banyak.Crass!Si Kumbang Janti seolah melampiaskan semua kemarahan dan kekesalan terhadap Antaguna yang ia anggap masih sejahat yang ia tahu.Crass!Pertama, Cakar Emas itu melukai wajah kanan Antaguna dengan sangat parah. Lalu yang kedua, cakar si Kumbang Janti merobek rusuk kanan Antaguna.“Matilah dengan segala dosa yang kau pikul!” ucap si Kumbang Janti dengan sinis,