Kurang lebih sepenanak nasi sebelum terjadinya perkelahian di antara si Gagak Api melawan Puti Bungo Satangkai dan Antaguna.Si Kumbang Janti sedang berlari kencang dalam ajian meringankan tubuhnya, mendaki lereng Gunung Kerinci dari sisi timur.Sebelumnya, setelah berpamit diri pada Gadih Cimpago, dan berniat tidak akan kembali lagi ke Istana Minanga, pria yang telah meninggalkan gelar Hulubalang Kerajaan-nya itu mencari tahu di mana keberadaan Puti Bungo Satangkai.Si Kumbang Janti tidak menemukan Bungo ketika dia memeriksa kawasan Danau Maninjau sebelumnya, kecuali beberapa kuburan yang berisi jasad beberapa orang, di antaranya adalah Datuak Sani.Meski tidak tertulis langsung pada setiap nisan yang ia jumpai, namun dia dapat menduga bahwa yang membunuh Datuak Sani dan yang lainnya di sana adalah Bungo, dan besar kemungkinan pula gadis itu telah mendapatkan kepingan ketiga Teratai Abadi.Satu-satunya tempat yang kini terpikirkan oleh si Kumbang Janti adalah Gunung Kerinci, kawasan
“Cakar Emas, hah!” ucap Lunaya dan dia mulai merasa bergidik. “Jadi kau si Kumbang Janti?”“Entahlah.” Si Kumbang Janti menyeringai sembari menarik kembali cakar tangan kanannya, lalu mengendikkan bahu. “Kau sendiri yang putuskan!”“Sombong!” Lagi-lagi Lunaya meludah ke tanah. “Tidak,” ucapnya lagi. “Kau bukan si Kumbang Janti sebab si Kumbang Janti bukan pria sepertimu!”“Oh, tahu apa kau tentang diriku?”Lunaya tiba-tiba merunduk rendah, lalu berputar dengan melakukan tendangan untuk menyapu kaki lawannya.Si Kumbang Janti menyeringai saja. Begitu kaki sang gadis akan mengenai kakinya, dia mengangkat satu kaki, lalu mengentakkan kakinya itu dengan keras.Krakk!Lunaya menjerit setinggi langit. Dalam satu entakan saja, si Kumbang Janti telah mematahkan kaki kanannya, tepat sejengkal di atas mata kaki.Sang gadis menjerit dan berguling-guling.Tapi sepertinya si mantan Datuk Hulubalang Kerajaan itu tak hendak memberi hati. Dia dengan cepat mencekal leher Lunaya, lalu memaksanya berdir
Si Kumbang Janti lantas berdiri, menatap sesaat pada mayat Lunaya yang melotot, lalu memandang ke arah kiri, arah di mana terdapat bagiann bersih dari permukaan tanah yang mengarah ke atas.Seperti ada yang menuntunnya, si Kumbang Janti lantas melesat, dan sekejap saja menghilang ke arah tersebut.Dari balik pintu yang terbuka, seseorang keluar dengan takut-takut. Dia adalah salah satu dari pelayan Datuak Ambisar, seorang wanita sepantaran 35 tahun. Dengan pakaiannya yang minim, dia mendekati jasad Lunaya, juga setengah ketakutan.“Tu-Tuan Gadih …” ujarnya dengan suara yang nyaris tak terdengar sembari menggoyang-goyangkan bahu Lunaya.Lalu dia terkesiap dan terduduk di tanah demi melihat darah yang mengalir keluar dari mulut dan lubang hidung di wajah Lunaya.Sang wanita yang gemetar, mereguk ludah, lalu melirik ke arah menghilangnya si Kumbang Janti.“Ti-Tidak mungkin,” gumamnya dengan bergetar. “Da-Datuk Kumbang Janti se-sekejam ini? Tidak mungkin!”Kembali pada si Kumbang Janti ya
“Dasar penjahat keparat!” ucap si Kumbang Janti dengan masih mencengkeram kerah baju Antaguna.Lalu dia tertawa-tawa sementara Antaguna hanya bisa terkulai dalam cengkeraman tersebut.“Akhirnya!” lanjutnya. “Tiba juga saat di mana kau menerima karmamu, Antaguna. Kau pantas mati dengan lebih menyedihkan!”Si Kumbang Janti mengangkat tangan kirinya, lalu jari-jarinya membantuk cakar unik yang dikenal pasti oleh Antaguna sendiri.Cakar yang sama pernah membuatnya terluka cukup dalam, ketika Antaguna melawan Rajo Bungsu di Istana Minanga.Yah, Cakar Emas!Tapi Antaguna yang sedang sekarat dan kepayahan tidak bisa berbuat banyak.Crass!Si Kumbang Janti seolah melampiaskan semua kemarahan dan kekesalan terhadap Antaguna yang ia anggap masih sejahat yang ia tahu.Crass!Pertama, Cakar Emas itu melukai wajah kanan Antaguna dengan sangat parah. Lalu yang kedua, cakar si Kumbang Janti merobek rusuk kanan Antaguna.“Matilah dengan segala dosa yang kau pikul!” ucap si Kumbang Janti dengan sinis,
Satu sosok muncul di sana yang membuat Ratna, wanita 35 tahun itu menjadi tercekat, dan semakin pucat pasi, bahkan untuk sekadar menelan ludah saja ia tidak mampu.Perubahan wajah wanita itu cukup disadari oleh Puti Bungo Satangkai, lagi pula, pendengarannya telah menangkap kelebat sesuatu yang mendekati mereka.“Bungo?” ujar seseorang tersebut.Sang gadis mengernyit. Bagaimana mungkin dia bisa sampai ke sini? Pikirnya. Rajo Bungsu kah yang telah memberitahukan kepadanya tentang di mana aku?“Oh, Dewata …” sosok yang tak lain adalah si Kumbang Janti tersenyum lebar, menunjukkan wajah yang begitu bergembira. “Ternyata benar engkau, Bungo.”‘Apa yang engkau lakukan di sini?’Dan yah, Bungo seolah lupa bahwa si Kumbang Janti tidak begitu bisa membaca bahasa isyaratnya. Pria itu hanya menyeringai sembari menggaruk kepala saja.Sementara itu, Bungo sendiri kembali menemukan keterkejutan di wajah Ratna.Ratna merasa semakin terpojok meskipun gadis di hadapannya itu tidak mengatakan apa pun.
Puti Bungo Satangkai lantas membimbing Ratna untuk berdiri. ‘Ikutlah denganku,’ pintanya lagi dengan bahasa isyaratnya. ‘Aku akan mempertemukanmu dengan anak-anakmu.’ Akan tetapi, tatapan Ratna kembali tertuju pada si Kumbang Janti, dan Bungo menyadari hal ini. Begitu juga dengan si Kumbang Janti sendiri, sehingga dia berkata, ‘Engkau sedari tadi memerhatikanku. Adakah gerangan yang hendak kau katakan?” Ratna menggeleng dengan cepat dan wajah yang semakin pucat. ‘Hei!’ Bungo memegang lagi bahu sang wanita, mencoba tersenyum, dan meyakinkannya. ‘Jangan khawatir. Kami bukanlah orang-orang jahat. Dia juga, aku mengenalnya. Dia pria yang baik.’ Tidak ada pria baik yang tega membunuh seorang gadis yang sudah tidak berdaya! Jerit Ratna di dalam hati. Bungo lantas berpaling lagi pada si Kumbang Janti, dan kemudian menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa. Pria itu mendesah panjang, dan melirik pada Ratna, lalu berkata, “Apa yang dikatakan Bungo barusan kepadaku, Uni?” Si gadis bis
Sang wanita mendekati Antaguna, memeriksa pria tersebut lebih lanjut, dan memberikan dua tiga totokan lagi ke tubuh yang terbaring tak berdaya itu.“Tapi air juga bisa menjadi sarana penyembuhan …”Srett! Srett!Dalam sekali gerakan tangannya, dia telah membuat Antaguna yang tergolek menjadi bertelanjang di atas batu pualam besar dan pipih.Wanita itu, kemudian mengangkat Antaguna. Seperti tadi, tubuh pria tinggi besar dan berotot itu layaknya seonggok kapas saja baginya.Selangkah demi selangkah, dia membawa Antaguna memasuki kolam yang sangat dingin, hingga permukaan air kolam yang bergemiricik itu mencapai perutnya, sedikit di bawah buah dadanya.Dan dengan gerak perlahan ia melepaskan Antaguna, membiarkan pria tersebut perlahan-lahan tenggelam dalam keadaan terbujur lemah.Begitu wajah Antaguna akhirnya tenggelam, sang wanita mengangkat dua tangan, merentangkan tangannya ke samping dengan masing-masing jari mengembang. Lalu dia menengadah, seolah mengadu pada sang purnama dengan m
Saat mencapai titik di mana Puti Bungo Satangkai meninggalkan Sikumbang dan kuda coklatnya, sang gadis menemukan kedua kuda itu masih berada di sana.Si Kumbang Janti mengernyit ketika mendapati bahwa ada dua ekor kuda di sana. Itu artinya, Bungo datang dengan seseorang bersamanya.Lalu, di mana yang seorang lagi? Tanya di dalam hati.Kuda hitam pekat itu terlihat senang melihat sang gadis, dia mengangkat kepalanya, lalu menoleh ke sana kemari, seolah-olah sedang mencari tuannya.Bungo menghampiri Sikumbang, mengusap-usap lehernya. ‘Maafkan aku, Kumbang, tuanmu jatuh dari tebing, dan aku tidak sempat untuk mencarinya. Maafkan aku …’Seolah memahami apa yang sedang dipikirkan oleh sang gadis, kuda hitam itu meringkik halus sembari menengadah, seolah menangisi kepergian tuannya.Si kuda betina coklat menghampiri Sikumbang, lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke leher kuda jantan hitam tersebut, seakan-akan sedang memberikan dukungan atas kesedihan di kuda hitam.Bungo lantas berpaling pad