Sang wanita mendekati Antaguna, memeriksa pria tersebut lebih lanjut, dan memberikan dua tiga totokan lagi ke tubuh yang terbaring tak berdaya itu.“Tapi air juga bisa menjadi sarana penyembuhan …”Srett! Srett!Dalam sekali gerakan tangannya, dia telah membuat Antaguna yang tergolek menjadi bertelanjang di atas batu pualam besar dan pipih.Wanita itu, kemudian mengangkat Antaguna. Seperti tadi, tubuh pria tinggi besar dan berotot itu layaknya seonggok kapas saja baginya.Selangkah demi selangkah, dia membawa Antaguna memasuki kolam yang sangat dingin, hingga permukaan air kolam yang bergemiricik itu mencapai perutnya, sedikit di bawah buah dadanya.Dan dengan gerak perlahan ia melepaskan Antaguna, membiarkan pria tersebut perlahan-lahan tenggelam dalam keadaan terbujur lemah.Begitu wajah Antaguna akhirnya tenggelam, sang wanita mengangkat dua tangan, merentangkan tangannya ke samping dengan masing-masing jari mengembang. Lalu dia menengadah, seolah mengadu pada sang purnama dengan m
Saat mencapai titik di mana Puti Bungo Satangkai meninggalkan Sikumbang dan kuda coklatnya, sang gadis menemukan kedua kuda itu masih berada di sana.Si Kumbang Janti mengernyit ketika mendapati bahwa ada dua ekor kuda di sana. Itu artinya, Bungo datang dengan seseorang bersamanya.Lalu, di mana yang seorang lagi? Tanya di dalam hati.Kuda hitam pekat itu terlihat senang melihat sang gadis, dia mengangkat kepalanya, lalu menoleh ke sana kemari, seolah-olah sedang mencari tuannya.Bungo menghampiri Sikumbang, mengusap-usap lehernya. ‘Maafkan aku, Kumbang, tuanmu jatuh dari tebing, dan aku tidak sempat untuk mencarinya. Maafkan aku …’Seolah memahami apa yang sedang dipikirkan oleh sang gadis, kuda hitam itu meringkik halus sembari menengadah, seolah menangisi kepergian tuannya.Si kuda betina coklat menghampiri Sikumbang, lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke leher kuda jantan hitam tersebut, seakan-akan sedang memberikan dukungan atas kesedihan di kuda hitam.Bungo lantas berpaling pad
Antaguna mengernyit dalam ketidaksadarannya, lalu mata itu mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya terbuka. Dia mengerang pendek demi merasakan kesakitan di sekujur badannya. Saat mencoba untuk bangkit, dia tidak bisa melakukan itu sama sekali.Kepingan-kepingan peristiwa yang ia alami ketika terjatuh dan terguling-guling menuruni lereng timur Gunung Kerinci, kembali muncul dalam ingatannya. Hilang-timbul secara acak dan silih-berganti.Kembali ia mengernyit sebab rasa pusing yang mendera. Dia hendak memijit keningnya demi mengurangi rasa pusing itu, tapi mengangkat tangan saja dia tidak mampu.Antaguna mencoba untuk menenangkan dirinya kemudian. Dan setelah tenang, dia menyadari bahwa kini sedang berada di dalam satu ruangan yang cukup luas.“Di mana aku?” tanyanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.Suara keletik halus dari sebuah api unggun menarik perhatian Antaguna, di sebelah kanan.Dia juga menemukan seseorang berambut panjang tergerai duduk bersila di samping api unggun tersebu
“To-Topeng?” Antaguna membelalak. “Kenapa kau memakai topeng?”Sang wanita terkikik di balik topeng kulitnya yang tipis itu. “Apakah aku harus punya alasan untuk menyembunyikan wajahku?”“Ti-Tidak … Tapi—”“Lupakan saja!” kata sang wanita. “Dan mengenai aku yang memanggilmu dengan kata Anak Muda, kurasa itu sudah menjadi kewajaran saja.”“Wajar?”“Apa kau tahu,” tanya sang wanita, “sudah berapa lama aku hidup di dunia ini?”Tentu saja, sang pria tidak mengetahui hal itu sama sekali. Terlebih lagi, wajah wanita itu dilapisi topeng kulit yang tipis sehingga mempersulit orang lain untuk memperkirakan usianya.“Tapi setidaknya,” kata Antaguna. “Dari suaramu, aku menaksir bahwa kau mungkin baru delapan belas tahun.”Sang wanita tertawa-tawa, tawa yang tidak begitu lantang, tapi begitu merdu dan enak untuk didengar. Perlahan-lahan, Antaguna melupakan kesedihannya untuk sementara.Sang wanita lantas mengeluarkan sesuatu dari balik lipatan pakaian di pinggangnya, lalu memperlihatkan benda ter
“Puti Champo,” ujar sang wanita. “Kau bisa memanggilku dengan nama itu.”“Puti Champo …” ulang Antaguna dengan bergumam.Yah, pikirnya. Sepertinya aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Lalu, siapa dia sesungguhnya?Dia pasti seorang yang sangat sakti sehingga Paduko Dangmudo Basa mempercayainya memegang kepingan kelima Teratai Abadi.Bagaimanapun, ada hal menarik yang ditemukan Antaguna pada suara sang wanita. Bukan lantaran topeng kulit yang membatasi pergerakan mulutnya itu, melainkan logat bicara sang wanita yang seperti menahan-nahan pergerakan lidahnya dalam berkata-kata.Dengan kata lain, wanita itu pasti berasal dari luar Tanah Andalas, pikirnya.Antaguna memang tidak mengetahui sama sekali meskipun wanita itu telah memberikan tanda-tanda dengan menyebut namanya sebagai Puti Champo. Secara harfiah, nama itu berarti Putri Champa, atau seorang anak perempuan raja yang berasal dari negeri Champa—sebuah kerajaan yang pernah muncul di Vietnam bagian tengah dan selatan, men
Puti Bungo Satangkai tidak mengambil istirahat sama sekali, dia terus saja memacu Sikumbang untuk berlari dengan cepat, meskipun ada Ratna yang membonceng di belakangnya. Yang mau tidak mau, hal ini juga memaksa si Kumbang Janti untuk tidak beristirahat.Dari malam hingga ke pagi, sang gadis terus menggebrak kuda hitam tersebut. Dan tepat ketika sang mentari telah berada di titik sepertiga awalnya, di ufuk timur, mereka telah mencapai pasar rakyat di Nagari Limo Jorong.Untuk seterusnya, mereka langsung menuju ke rumah si tabib di belakang pasar tersebut.Saat tiba di sana, si Kapuyuak sedang membantu sang tabib dengan menjemur rempah-rempah dalam nyiru berbentuk melingkar. Sedangkan Ima, gadis kecil itu sedang duduk di satu bangku sembari bersandar ke dinding rumah, keadaannya telah jauh membaik.“Uni,” ucap si Kapuyuak saat mengetahui siapa yang menghampiri mereka.Namun langkah sang remaja tertahan di saat Bungo melompat turun dengan ringan dari punggung Sikumbang, lalu sosok Ratna
Puti Bungo Satangkai mengangkat satu tangan, sebuah isyarat pada Ratna untuk tidak meneruskan ucapannya. Bagaimanapun, Bungo masih berharap bahwa Antaguna akan selamat dan baik-baik saja.“Ibu,” kata si Kapuyuak. “Uni Bungo lah yang menolong denai dan Ima, lalu mengantarkan Ima berobat ke Tuan Tabib.”Ratna cukup tergugah mendengar itu. “Te-Terima kasih, Bungo,” ujarnya dengan suara yang menjadi serak. “Terima kasih karena telah sudi menolong anak-anakku.”Bungo hanya tersenyum dan menggerak-gerakkan tangannya. Dengan demikian, Ratna semakin tahu bahwa semua perobatan itu telah dibiayai oleh teman sang gadis, Antaguna.“Saya berdoa semoga temanmu baik-baik saja, Bungo,” balas Ratna.Tentu saja, si Kumbang Janti justru menjadi gelisah hatinya demi mendengar hal tersebut. Jika si Antaguna selamat dan masih hidup, maka ada kemungkinan bahwa Bungo akan berbalik membencinya sebab telah membuat Antaguna semakin menderita saat keadaannya yang sedang sekarat, bahkan mungkin dia telah membunuh
“Sudahlah,” kata sang tabib seraya meraih tangan kanan Ratna. “Berikan tanganmu!”“A-Apa yang Anda—”Ratna kemudian terdiam, dia menyadari bahwa sang tabib sedang membaca pergerakan nadinya di pergelangan tangannya.Untuk sesaat, sang tabib memejamkan matanya, dan terlihat sangat tenang sementara jemari tangan kirinya merasai denyutan-denyutan halus di pergelangan tangan Ratna.“Humm …” gumamnya. “Nadimu tidak teratur, kadang cepat kadang lambat.”“Tuan Tabib?”“Baiklah,” kata sang tabib kemudian dengan melepaskan tangan Ratna. “Kau pasti sudah meminum banyak cairan itu.”“Su-Sudah tidak bisa kuingat lagi berapa banyak,” balas Ratna dengan kembali tertunduk.“Turunkan putrimu!” pinta sang tabib. “Dan kau, gadis kecil,” tunjuknya pada Ima di gendongan tangan kiri Ratna. “Kembalilah duduk di tempat tadi, jangan menyia-nyiakan obat-obatanku!”Ratna melirik ke arah bangku yang tadi. Dia seolah baru menyadari bahwa di bawah bangku dari anyaman rotan itu terdapat nyiru persegi empat dengan