Dewa Setan yang selalu bangkit setiap dua ratus tahun sekali, akan menimbulkan angkara murka di bumi. Kali ini, dia lahir di abad ketujuh Masehi, tepat saat Sriwijaya baru akan berkembang sebagai kedatuan yang menguasai laut di Asia. Berbagai pertarungan yang dimenangkan oleh Sriwijaya di periode ini karena salah seorang Senapati hebat yang mereka miliki, Sadnya si Pendekar Golok Melasa Kepappang. Dengan Ilmu Nawasenanya, dia ditakdirkan pada sebuah perjalanan besar, termasuk melawan reinkarnasi si Dewa Setan. Mampukah día?
View MoreDi Tepi Sungai Musi
Tahun 605 Saka. Bendera merah putih memenuhi tanah lapang di sebuah perkampungan yang terletak di tepi Sungai Musi. Kampung tersebut dikenal dengan nama Mukha Upang[1]. Semua sudut tanah lapang banjir darah. Mulai dari tepi sungai hingga hutan berawa-rawa dipenuhi ribuan prajurit kedua belah pihak. Baik yang tewas atau terluka. Pertempuran sendiri hampir usai. Pasukan Sriwijaya berhasil mengalahkan pasukan Mukha Upang.Penyerbuan yang dilakukan Sriwijaya terhadap Mukha Upang dilakukan setelah beberapa saat sebelumnya Sriwijaya berhasil mengalahkan Kedatuan Melayu dan merebut kutaraja Minanga Tamwan[2].Pertempuran terakhir yang tersisa adalah pertarungan antara Tumenggung Mukha Upang, Balin, melawan Senapati Utama Buntala dari pasukan Sriwijaya. Pertempuran keduanya berlangsung seimbang. Pasukan Sriwijaya yang telah memenangkan pertempuran kemudian bergerombol membentuk lingkaran. Mengitari keduanya.Dalam pertempuran Balin melawan Buntala, berkali-kali senjata keduanya berbenturan. Mereka juga saling tebas. Lambat laun, ketika tenaga mulai terkuras, Balin mulai unggul dari Buntala. Wajah Buntala pucat dengan nafas terengah-engah. Ia merasa, sebuah kekuatan kasat mata menyedot seluruh energinya."Trang...! Aaah...!"Terdengar kedua senjata beradu keras. Disusul dengan jeritan Buntala. Dalam satu serangan Balin, tendangan Balin mendarat tepat diperut Buntala dan berhasil menjatuhkan Buntala. Pedang Buntala terlempar beberapa depa akibat benturan itu."Hahaha...bagaimana rasanya senapati tua? Kau sudah merasakan kekuatan Golok Melasa Kepappangku!" kata Balin terbahak melihat Buntala roboh. Dengan sinis, Balin melanjutkan kalimatnya, "Bukankah tenagamu tersedot habis? Hahaha...menyerahlah! Aku akan mengampunimu teman! Dengan syarat kau menyerah dan mau membantuku memenggal kepala Sri Jayanasa!"Buntala meludah ke tanah sambil berusaha bangkit. Muak ia mendengar kata-kata Balin, pengkhianat yang di masa lalu merupakan teman karibnya."Cuih...! Tak akan pernah aku menyerah pada seorang pengkhianat seperti kau Balin! Golok busuk itu juga hanya pantas dipakai untuk menyembelih kerbau!""Hahaha...percuma saja kau melawan Buntala! Sebentar lagi Golok Melasa Kepappang ini akan membuat kejang-kejang dan mati penasaran!""Jangan banyak omong Balin! Majulah! Lakukan apa yang kau mau!""Hahaha...dasar tua bangka tak tahu diuntung! Sebagai teman, aku sudah menawarkan pengampunan padamu! Jangan salahkan aku jika kau segera bertemu dengan setan penunggu neraka! Kini, bersiaplah kau mati penasaran!"Balin mengangkat Golok Melasa Kepappang tinggi. Serangannya mengincar leher Buntala. Buntala menghadapi Balin dengan tangan kosong. Ia merasa serangan terakhir Balin ini akan jadi akhir hidupnya.Mengetahui nyawa senapati utama andalan Sriwijaya di ujung tanduk, sorak sorai pasukan Sriwijaya sontak terhenti. Wajah mereka tegang. Kemenangan Sriwijaya hari harus dibayar mahal.Balin melesat ke arah Buntala. Mulutnya menyeringai buas. Wajah Tumenggung Mukha Upang haus darah seperti golok pusaka dalam genggamannya. Beberapa depa di hadapan Balin, Buntala pasrah menanti ajal.Ketika golok di tangan Balin hampir memecahkan kepala Buntala, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dan menangkis bacokan golok Balin."Trang...!" suara golok dan pedang beradu keras.Mendapat hadangan tak terduga, Balin berjumpalitan mundur. Tak cukup, ia kembali melompat beberapa kali menghindari serangan pedang milik sosok manusia yang menyelamatkan Buntala.Balin gusar bukan main."Bangsat! Siapa kau bajingan? Berani-beraninya kau ikut campur urusanku!"Bukannya menjawab, sosok penolong Buntala yang ternyata masih muda itu malah tersenyum mengejek. Melihat tanda keprajuritannya, tampak ia seorang senapati madya."Jawab pertanyaanku bangsat!" Balin makin gusar. Senapati itu tetap diam. Matanya menatap tajam pada Balin.Melihat serangan Balin gagal, sorak sorai prajurit Sriwijaya kembali terdengar. Mereka girang bukan main. Apalagi nyawa Buntala, senapati yang mereka hormati berhasil selamat."Sadnya..! Sadnya..! Sadnya..!"Begitulah mereka meneriakkan nama senapati muda tersebut.Di sisi lain, sadar nyawanya berhasil diselamatkan Sadnya, Buntala menepi dan bergabung dengan kerumunan prajurit Sriwijaya. Tinggal Balin dan Sadnya berdiri berhadapan di tengah lingkaran. Keduanya ibarat ayam aduan menyabung nyawa di arena pertaruhan.Dua pasang mata mereka saling menatap tajam. Saling memperhatikan gerak tubuh lawan."Balin! Namaku Sadnya!" ujar Sadnya memperkenalkan diri. Sesungging senyum tenang terbit dibibirnya. Dalam usia yang belum genap dua puluh tahun, kematangan mental Sadnya mampu mengimbangi percaya diri tinggi milik Balin."Hahaha...bagus! Jangan sampai aku membunuh lawan yang tak kuketahui namanya!"Sadnya tersenyum. Ia menanti ucapan Balin selanjutnya."Cih...senapati ingusan! Kini bersiaplah pergi ke neraka!""Kau yang pergi ke neraka pengkhianat Sriwijaya!" jawab Sadnya garang.Murka Balin mendengarnya. Tak pernah seumur hidup ia disebut pengkhianat. Apalagi oleh seorang senapati kemarin sore seperti Sadnya."Bocah tengik! Jangan sampai kau mati penasaran tercincang oleh Golok Melasa Kepappang ini!" amuk Balin sambil mengangkat Golok Melasa Kepala sejajar dengan kepala dan langsung menyerang Sadnya dengan buas."Ciaaaatt...! Mampus kau anjing kurap!"Serangan pertama Balin mengarah ke dada Sadnya. Serangan Golok Melasa Kepappang menimbulkan pusaran angin berbau amis darah.Melihat Balin menyerang, Sadnya bukannya mundur. Ia malah maju menyambut serangan Balin dengan gerakan aneh. Sebelum maju ke depan, Sadnya terlebih dahulu meletakkan kedua tangan sejajar dengan kaki. Sadnya membungkuk sedikit ke belakang. Badannya kemudian melenting ringan. Melompat garang seperti seekor harimau.Ketika jarak antara Balin dan Sadnya tinggal dua depa, Balin menebaskan Golok Melasa Kepappang ke dada Sadnya. Tapi lagi-lagi Balin tak menduga apa yang dilakukan oleh Sadnya. Bukannya menangkis serangan Balin, tubuh Sadnya malah terangkat naik satu depa dari tinggi tubuh Balin. Ini dilakukan Sadnya bukan untuk menghindar. Tapi sebaliknya, untuk menyerang Balin! Serangan bertemu serangan!Posisi Sadnya menguntungkan. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Balin. Sadnya punya ruang untuk menyerang langsung kepala Balin.Menyadari posisinya lebih lemah, Balin cepat menarik Golok Melasa Kepappang dan membangun pertahanan. Balin benar. Sedikit saja terlambat, maka isi kepalanya pasti buyar. Karena dengan cepat Sadnya menukik ke bawah sambil mengayunkan pedang ke kepala Balin."Trang...!" benturan antara Golok Melasa Kepappang dan pedang Sadnya memercikan bunga api. Saat benturan terjadi, Sadnya merasakan ada energi besar menarik ruhnya masuk ke dalam Golok Melasa Kepappang. Sadnya kaget setengah mati. Walau bisa melepaskan diri dari bekapan ruh misterius, tapi ia kehilangan banyak tenaga.Setelah berhasil mengatur nafas yang tersengal, Sadnya tersadar kalau pedangnya patah karena benturan dengan Golok Melasa Kepappang."Pusaka macam apa Golok Melasa Kepappang itu? Pantas saja tenaga Senapati Utama Buntala tersedot habis," ujar Sadnya dalam hati. Keringat dingin membasahi keningnya.Hal serupa juga terjadi pada Balin. Ia tak menduga, jika senapati yang dianggap ingusan itu hampir membuatnya jadi pecundang. Seumur hidup Balin, baru kali ini menghadapi lawan dengan jurus yang aneh. Gerakan Sadnya dari awal ketika menyelamatkan Buntala, begitu sukar diduga.Pertarungan terus terjadi. Sadnya dan Balin telah melewatkan puluhan jurus. Keduanya mulai kelelahan. Yang mengherankan, kondisi Sadnya tidak seperti Buntala yang dengan cepat kehabisan tenaga. Sadnya masih terlihat lumayan bugar. Keadaan Sadnya itu membuat Balin bingung. Sebelumnya, tak seorangpun mampu bertahan dalam keadaan bugar menghadapi Balin dan Golok Melasa Kepappang.Pada suatu kesempatan, Balin sedikit lengah. Sadnya berhasil menyayat dada Balin dengan ujung pedangnya. Sementara Balin belum seujung ramputpun menyentuh Sadnya. Balin menyeringai marah."Bangsat kau anak ingusan!" umpat Balin. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia merasa dipermalukan. Tak hanya kulit Balit yang terluka, harga dirinyapun telah tersayat oleh Sadnya. Balin benar-benar murka.Balin tak sadar, inilah yang ditunggu Sadnya. Hanya dengan kemarahan dan emosi yang tak terkontrol Balin bisa ditumpas. Setelah berhasil membobol pertahanan Balin tadi, ia jadi tahu seberapa jauh kemampuan bertarung dan kelemahan Balin.Balin menyiapkan kuda-kuda untuk menyerang kembali. Sambil meludah, ia mengangkat Golok Melasa Kepappang di tangan menyilang dada.Tiba-tiba, terdengar lengkingan keras Balin. Ia kembali menyerang."Ciaaaatt....! Mampus kau!" Balin melompat tinggi dan kembali menyerang Sadnya. Kali ini gerakannya lebih lugas dan melayang seperti burung. Ia yakin, Sadnya tak mungkin lolos dari serangannya.Jarak antara Balin dan Sadnya tinggal sedepa. Bagi Balin, sesaat lagi ia merasa akan menyudahi pertarungan ini. Sebelum Golok Melasa Kepappang membelah tubuh Sadnya, Balin kembali berteriak."Pergi ke neraka kau anak Anjing!" pekik Balin sambil mengayunkan Golok Melasa Kepappang ke arah kepala Sadnya. Melihat itu, Sadnya begitu terkejut. Dia sadar bahwa andai Golok Melasa Kepappang mengenai kepala Sadnya, maka kepalanya bisa terbelah dalam sekejap!Catatan:[1] Nama Mukha Upang disebut dalam dalam prasasti Kedukan Bukit yang merupakan salah satu prasasti peninggalan Kedatuan Sriwijaya. Daerah itu kemungkinan sama dengan daerah sekitar Sungai Upang, salah satu anak Sungai Musi pada masa kini.[2] Minanga Tamwan merupakan pusat Kedatuan Melayu yang telah ada pada tahun 645 M."Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments