Bagi Rajaputra Aruna, persekutuannya dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik belaka. Rajaputra memerlukan Balin sebagai sekutu hanya untuk meruntuhkan ayahnya semata. Tak lebih. Jika ayahnya berhasil diruntuhkan, maka sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.
Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna cukup liar. Ia tak lagi peduli posisinya sebagai seorang anak Datu Sriwijaya.
Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna itu. Ia juga harus memanfaatkan situasi dan mendapatkan keuntungan besar untuk dirinya sendiri. Maka, saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan untuk memberontak nanti, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna semakin gembira dengan semua ucapannya.
"Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya pada Sarpa dengan mimik serius.
"Amba Tuanku. Semua berjalan sesuai rencana."
"Bagus. Lalu, berapa jumlah senjata yang sudah ada Sarpa?"
"Amba Rajaputra. Pedang dan tombak sudah siap dua ribu delapan ratus buah. Sisanya sedang ditempa siang malam oleh pandai besi kita. Kalau semua itu dirasa oleh Tuanku masih kurang, Amba akan tambah sesuai dengan titah Tuanku."
"Bagus. Kerjakan semua dengan cepat. Waktu kita tak banyak. Dalam dua Minggu ke depan, kita harus sudah merebut Minanga Tamwan."
"Amba Rajaputra. Amba rasa, memang pantas Tuanku jadi Datu Sriwijaya," hasut Sarpa sambil tersenyum culas. Rajaputra Aruna senang bukan main mendengar pujian Sarpa.
"Hahaha...dasar ular kau Sarpa. Oh ya, sebentar lagi aku harus kembali. Sebelum Fajar, aku dan Tandrun Luah harus sudah sampai di Minanga Tamwan. Tak boleh ada seorangpun tahu gerakan kita ini. Paham kau Sarpa!"
"Amba Rajaputra," sahut Sarpa.
Malam makin larut. Suara anjing hutan terdengar bersahut-sahutan. Ditingkahi oleh suara burung hantu yang sesekali terdengar. Malam ini, purnama penuh. Tak sedikitpun awan terlihat di langit.
Setelah merasa semuanya beres, Rajaputra Aruna dan Tandrun Luah langsung kembali ke Minanga Tamwan. Menjelang fajar keduanya telah sampai di pinggiran Kutaraja Minanga Tamwan.
***
Di malam yang sama, ketika hari mulai beranjak malam. Tanah perkemahan yang ditempati rombongan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa di Mukha Upang tampak sepi. Sebagian besar prajurit memilih masuk ke dalam tenda dan beristirahat setelah hampir sehari penuh bertempur dengan pasukan Mukha Upang. Yang tampak hanya regu-regu prajurit yang bertugas jaga. Mereka sebagian tampak menghangatkan tubuh di sekitar api unggun. Sementara lainnya hilir mudik mengontrol tiap sudut perkemahan.
Di dalam tenda Senapati Buntala, tampak Sadnya dan Senapati Utama Buntala bercakap-cakap. Keduanya terlihat santai. Sesekali terdengar tawa renyah. Untuk merayakan kemenangan atas Balin dan pasukan Mukha Upang, Senapati Utama Buntala sengaja mengundang Sadnya untuk minum di tendanya.
"Ayo habiskan anggurmu Sadnya!" kata Senapati Utama Buntala sambil meminum sisa anggur di cangkirnya. Setelah itu ia kembali menuangkan anggur ke dalam cangkir Sadnya. "Tubuhmu akan hangat olehnya."
"Amba Senapati," jawab Sadnya tanpa gairah. Ia cukup mengantuk dan lelah. Pertarungan panjang dengan Balin, benar-benar menguras tenaganya. Melihat Sadnya terdiam dan kelelahan, Buntala segera bertanya pada Sadnya.
"Sadnya. Apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Senapati Utama Buntala seperti bisa membaca alur pikiran Sadnya. Mendapat pertanyaan dari Buntala, Sadnya tergagap.
"Amba Senapati. Ampuni Amba. Amba hanya memikirkan pertarungan Amba dengan Balin tadi. Amba juga belum mengerti ucapan Sang Hyang Dapunta tentang Golok Melasa Kepappang."
"Ahhhh...Kau memang polos Anak Harimau. Kini, kau dengarkan ceritaku. Semoga ceritaku ini bisa menjelaskan padamu tentang Balin dan Golok Melasa Kepappang," ujar Buntala.
Saat Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa merintis Kedatuan Sriwijaya di Minanga Tamwan, Buntala dan Balin masih kanak-kanak. Keduanya berasal dari dusun di tepi Danau Ranau dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Keluarga Buntala adalah keluarga petani, sedangkan Balin berasal dari keluarga bangsawan di Kedatuan Sekala Bghak.
Kandra Kayet, Ayah Balin, merupakan Senapati kepercayaan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ia merupakan garis keturunan dari sepupu Datu La Laula, Birsha. Mereka berdua bukan asli keturunan Suku Tumi. Mereka datang dari negeri Kamboja. Sebuah negeri jauh yang berada di sekitar Asia Tengah. Mereka berdua berhasil merebut kekuasaan Sekala Bghak dari Suku Tumi. Sayangnya, setelah berhasil mengalahkan Suku Tumi, mereka sendiri bertikai untuk menentukan siapa yang lebih pantas jadi Datu Sekala Bghak. La Laula bisa mengalahkan Birsha dan berhasil mengasingkannya pada sebuah alam lain di luar alam manusia. Kandra Kayet merupakan salah satu anak dari keturunan Birsha yang berhasil selamat dan menetap di tepian Danau Ranau.
Nasib Kandra Kayet sama dengan Balin. Kandra Kayet yang merasa ditipu oleh Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa memberontak dan berhasil membunuh seorang senapati utama Sriwijaya dengan Seribu Wajah Setan. Sampai akhirnya Sang Dapunta Hyang sendiri yang harus menghabisi Kandra Kayet. Ilmu Seribu Wajah Setan sama sekali tak mampu menghadapi Ilmu Nawasena Sang Dapunta Hyang. Kandra Kayet hancur tanpa bekas. Untungnya, Sang Dapunta Hyang masih mengampuni keluarga Kandra Kayet. Termasuk Balin.
Sadnya terbengong mendengar cerita Buntala. Jika cerita Buntala itu benar, maka Balin sesungguhnya adalah keturunan klan yang haus kekuasaan. Namun klan itu selalu kalah dan terbuang. Tapi setidaknya mereka lebih beruntung dari dirinya. Ia bahkan tak tahu dari siapa ia terlahir.
"Begitulah silsilah Balin dan klannya Sadnya. Klan yang dikutuk dewa-dewa karena sifat jahat mereka. Sampai kapanpun, Birsha dan keturunannya akan selalu membuat onar. Kecuali klan mereka tumpas hingga ke akarnya."
Senapati Utama yang sudah ia anggap ayahnya sendiri itu menghela nafas dan kembali meminum sisa anggur di cangkir Tiongkoknya. Mendengarkan cerita Buntala, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan dalam hati Sadnya tentang Golok Melasa Kepappang dan Rajaputra Aruna. Ia segera menanyakan pada Buntala.
"Ampuni Amba Senapati. Jika boleh, Amba ingin bertanya pada Senapati."
"Apa itu Sadnya?"
"Tentang Golok Melasa Kepappang dan Rajaputra Aruna Senapati."
"Boleh saja Sadnya."
"Amba Senapati. Saat pedang Amba berbenturan dengan Golok Melasa Kepappang, sebuah kekuatan besar menarik ruh Amba ke dalam sebuah lorong gelap. Tapi pada benturan selanjutnya, Amba malah merasakan hal berbeda Senapati. Amba merasa setiap pedang Amba berbenturan dengan golok pusaka itu,seperti ada kekuatan kasat mata yang memberi tenaga pada Amba. Sehingga tenaga Amba terus bertambah semakin kuat."
"Ketahuilah Sadnya, benar apa yang telah diceritakan oleh Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Akupun merasa ruhku ditarik masuk ke dalam lorong yang kau katakan tadi. Semakin aku melawan, maka semakin kuat ia menarikku. Tenagaku habis. Kalau kau tak menolongku, aku pasti sudah mati. Sadnya, Golok Melasa Kepappang dihuni oleh dua ruh bujang gadis yang jadi tumbal pertama golok pusaka itu. Mereka adalah Arutala dan Leena. Darah mereka dipakai untuk membasuh golok itu. Setelahnya, Golok Melasa Kepappang jadi pusaka haus darah. Selain itu, masih ada beberapa misteri Golok Melasa Kepappang. Saat ini tak seorangpun yang tahu tentang misteri-misteri itu," ada kengerian tergambar di wajah Buntala ketika menceritakan Golok Melasa Kepappang. Lagi-lagi ia minum kembali arak dicangkirnya. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya.
"Aku setuju dengan kata-kata Sang Dapunta Hyang. Kau berjodoh dengan Golok Melasa Kepappang. Hanya kau yang selamat dan bisa memilikinya sekarang. Lalu, soal Rajaputra Aruna, apa yang ingin kau tanyakan Anak Harimau?"
"Ampuni Amba yang bodoh ini Senapati. Jika dewa-dewa telah mengutuk klan Birsha, lalu bagaimana dengan Rajaputra Aruna Senapati? Bukankah ia adalah keturunan klan Birsha?"
Buntala tersenyum karena pertanyaan Sadnya. Ia sudah menduga Sadnya akan menanyakan soal Rajaputra Aruna.
"Sadnya. Kita belum tahu apa yang akan terjadi. Tapi dengan perangai pemarah, pemabuk, dan main perempuan, kukira ia tak akan jauh beda dengan moyangnya. Kudengar juga desas-desus Rajaputra Aruna sedang menyusun kekuatan untuk memberontak pada Sriwijaya."
Sadnya terperangah mendengar kalimat terakhir Senapati Utama Buntala. Memberontak? Bila Rajaputra Aruna memberontak, maka sejarah klan Birsha yang selalu menebar keonaran di muka bumi memang benar adanya. Tak heran jika dewa-dewa mengutuk mereka dengan takdir sebagai wangsa pemberontak.
Hampir tengah malam Sadnya kembali ketendanya. Setibanya di tenda, Sadnya langsung tertidur pulas. Tak sempat lagi ia berganti pakaian. Golok Melasa Kepappang tergeletak sampingnya. Menjelang dini hari, saat ayam hutan jantan berkokok, Sadnya bermimpi. Dalam mimpinya, Sadnya didatangi oleh sepasang bujang gadis berkebat pakaian putih. Keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. Si Bujang yang berbadan tegap dan tampan, mengaku bernama Arutala. Sedang Si Gadis yang berwajah rupawan bernama Leena. Yang mengherankan, keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. "Sadnya. Aku bernama Arutala. Kekasihku ini bernama Leena. Kami berdua adalah ruh penghuni Golok Melasa Kepappang yang kini kau miliki" "Apa maksud kalian berdua datang padaku?" "Kami mohon kau bisa membantu kami Sadnya." "Aku? Aku tak kenal siapa kalian berdua? Terus kenapa aku harus membantu kalian berdua?" "Sadnya. Jika kau tak mau menolong kami, kami akan selalu jadi arwah penasaran yang menghuni golok haus darag ini. Ruh
Sebenarnya, waktu Sadnya lebih banyak dihabiskan dengan bersantai di tendanya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena Mukha Upang telah ditaklukan. Oleh sebab itu, dia hanya tidur dan berputar-putar di sekitar perkemahan saja. Pertemuannya dengan Ruh Arutala dan Leena seakan membangkitkan gairah hidupnya. Namun, itu tidak bertahan lama karena Sadnya akhirnya menyerah untuk mencari jawaban mimpinya. Namun, sejak saat itu, dari hanya mengelilingi perkemahan, Sadnya memutuskan untuk pergi berkeliling Mukha Upang. Ia pergi sendiri, tanpa siapapun menemaninya. Mukha Upang pada Abad Tujuh Masehi, adalah kota yang dibangun sebagian besar di atas rawa-rawa yang dikeringkan. Apabila dilihat sekilas, Mukha Upang adalah sebuah kota yang semrawut. Hampir seluruh rumah di Mukha Upang mengapung di sepanjang tepi aliran Sungai Musi. Rumah-rumah itu sengaja dibuat terapung agar bisa menyesuaikan diri dengan pasang surut air sungai. Dengan begitu rumah-rumah apung itu tak akan tenggelam atau hanyut
"Senapati, aku berasal dari Bintan. Salah satu pulau di antara beribu pula di Selat Malaka. Aku yakin kau belum pernah ke sana. Aku adalah anak dari Suku Laut. Kami, Suku Laut, adalah penguasa laut sesungguhnya. Kami orang-orang merdeka yang selalu dipersekutu oleh Datu-Datu dari Melayu, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Bahkan panglima perang dan pedagang dari negeri jauh seperti India dan Tiongkok juga mempersekutu kami. Mereka sadar apa yang akan terjadi jika menganggap kami angin lalu. Kami hapal setiap teluk dan tanjung di sepanjang Pantai Timur Swarnadwipa beserta hantu dan peri penunggunya." Rampog benar. Leluhur sukunya, suku laut adalah orang-orang pemberani penguasa lautan. Desas-desus mengatakan bahwa leluhur mereka adalah sisa dari orang-orang purba yang telah hidup di dunia sejak tiga ribu dua ratus sebelum Sadnya dilahirkan. Sekitar tahun dua ribu lima ratus sebelum Masehi. Walaupun pengetahuan Sadnya belum sejauh itu, ia yakin bahwa leluhur Rampog digjaya di samudera. Setah
Di sisi lain ....Pada siang hari, kesibukan tengah terjadi di sebuah tempat rahasia di Gunung Batu. Daerah yang terletak agak jauh dari Minanga Tamwan itu tampak menggeliat dalam beberapa hari terakhir. Ratusan laki-laki hilir mudik membawa tombak dan pedang. Tanah lapang di tengah perkampungan prajurit ramai oleh prajurit yang berlatih. "Trang...! Trang...!" Suara tombak dan pedang yang beradu, makin membuat hari semakin panas. Semua prajurit tampak tak mengenakan pakaian bagian atas. Memamerkan otot-otot yang kekar dan menonjol keluar. Peluh mengalir deras di dada dan punggung mereka. Berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Tidak hanya berlatih silat, mereka juga berlatih membentuk formasi tempur. Formasi bertahan atau menyerang. Formasi tempur yang terus menerus mereka latih dengan disiplin adalah cakrabyuha. Cakrabyuha merupakan salah satu bentuk formasi tempur yang berasal dari formasi tempur India kuno. Cakrabyuha bermakna formasi lingkaran dan pertama kali dipelajari dari K
Persiapan pemberontakan Rajaputra Aruna sudah disusun sejak jauh hari. Itu terbukti oleh kekuatan tempur yang dibangun. Hidup Rajaputra Aruna yang terbiasa melanglang buana membuatnya memiliki banyak teman dan jaringan. Apalagi dengan status sebagai anak Datu Sriwijaya, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Semua orang dari berbagai lapisan sudah tentu ingin dekat dengan anak Selir Laksita itu. Sayangnya, kesempatan luas itu malah membuat Rajaputra Aruna keliru menempuh jalan hidup. Jalan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Budha. Perilaku tak senonoh Rajaputra Aruna makin menjadi. Ditambah dengan rasa iri terhadap Putra Mahkota Sriwijaya, Pangeran Indrawarman. Rasa iri Rajaputra Aruna terhadap Pangeran Indrawarman, melahirkan sikap antipati terhadap ayah dan saudara laki-lakinya itu. Sampai suatu saat, Rajaputra Aruna berniat merebut kekuasaan dari Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Niat jahat yang mendorong Rajaputra Aruna membangun kekuatan militer dan menghimpun pendekar-pendekar al
Keheningan menjalari suasana Kutaraja Minanga Tamwan malam itu. Hanya regu-regu prajurit jaga yang terlihat berjalan hilir mudik di jalan-jalannya. Di kejauhan, sesekali lolongan anjing hutan terdengar parau.Waktu sudah merambat ke tengah malam. Dari sudut kutaraja yang gelap, sesosok bayangan manusia berjalan cepat. Ia terlihat mengendap menghindari mata regu-regu prajurit jaga. Dari langkah kakinya yang ringan, terlihat bahwa ia bukan penduduk kebanyakan.Sosok manusia itu dengan cepat bisa mencapai jantung Kutaraja Minanga Tamwan. Ia langsung menuju Istana Kedatuan Sriwijaya. Sampai di depan gerbang istana, ia bersembunyi. Lalu masuk dengan cepat saat regu prajurit jaga lengah. Istana utama, tempat tinggal Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang ditujunya.Belum lagi sosok manusia misterius itu tiba di depan pintu istana utama, suara seorang laki-laki telah menegurnya dari dalam."Kaukah itu Pada?""Amba Pangeran.""Lekas masuk Pada. Tak boleh ada seorangpun yang melihatmu masuk.""Am
"Ananda Pangeran Indrawarman, yang dikatakan Bhiksu Dharmapala itu benar adanya. Ananda adalah tumpuan harapan seluruh penduduk Kutaraja Minanga Tamwan dan Sriwijaya saat ini," pemilik suara itu melanjutkan kalimatnya. Ia ternyata Permaisuri Sobakencana.Melihat kedatangan Permaisuri Sobakencana, Pangeran Indrawarman dan Bhiksu Dharmapala langsung duduk di lantai dan menyembah padanya."Bangunlah kalian berdua," ujar Permaisuri Sobakencana pada keduanya. Perempuan paruh baya itu lalu duduk di kursi kosong yang terletak di sebelah kiri kursi Pangeran Indrawarman.Pangeran Indrawarman lalu menyambut kedatangan Permaisuri Sobakencana."Ibu Ratu, kenapa Ibu Ratu belum tidur di malam selarut ini?", tanya Pangeran Indrawarman pada Permaisuri Sobakencana, ibunya yang biasa ia panggil Ibu Ratu. Ia heran, karena tak seperti biasa, Permaisuri Sobakencana belum masuk ke kamar tidur. Padahal malam sudah cukup larut. Permaisuri Sobakencana cepat menjawab pertanyaan Pangeran Indrawarman. Ia maklum a
Suasana pelabuhan Mukha Upang cukup tenang sore itu. Sesekali kesibukan terlihat dari bongkar muat di dermaga yang dilakukan oleh kapal-kapal dagang. Baik kapal dagang milik pedagang lokal ataupun asing.Tenangnya aktivitas pelabuhan Mukha Upang, sama sekali tak menunjukkan jika beberapa hari lalu telah terjadi pertempuran besar antara pasukan Srwijaya melawan pasukan Mukha Upang. Di bandar yang kelak tercatat dalam sejarah sebagai Kutaraja Kedatuan Sriwijaya itu, semua berlangsung normal.Menjelang hari gelap, sebuah kapal kayu berukuran sedang mendarat di dermaga pelabuhan Mukha Upang. Kesebelas penumpangnya terlihat lelah. Terlihat jelas mereka semua mengantuk. Tapi semua lelah dan kantuk itu seperti tak dirasakan oleh mereka. Kesebelas orang tersebut adalah Pada dan sepuluh orang prajurit Sriwijaya yang ditugaskan mengawal Pada oleh Pangeran Indrawarman.Setelah berkemas, mereka semua lalu menemui syahbandar pelabuhan. Lalu bergegas menuju ke perkembangan Sang Dapunta Hyang Sri Ja
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!