Pada sudah keluar dari tenda Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ia langsung menyusul Senapati Utama Sadnya. Tak lama kemudian, senapati madya yang baru saja mendapat gelar Pendekar Golok Melasa Kepappang itu berhasil ia dapatkan.Saat itu Sadnya tengah bercakap-cakap dengan seorang laki-laki paruh baya yang berwajah seram dengan rajah yang memenuhi tubuhnya. Laki-laki itu adalah Rampog. Teman baru Sadnya.Mereka berdua tampak sedang melakukan obrolan serius. Pada belum berani menegur keduanya."Rampog! Bisa tak bisa kau harus kumpulkan sisa anak buahmu yang ada malam ini juga!""Alangkah mendadaknya Senapati!""Aku hanya jalankan perintah Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa Rampog!""Ah...penguasa selalu saja sesuka hati kalo beri perintah!" rutuk Rampog."Rampog! Setidaknya kau bantu aku!""Ya...ya... Senapati! Baiklah! Kalau bukan karena kau, tak akan aku patuhi perintah siapapun!""Sudahlah jangan mengomel terus! Segeralah pergi kumpulkan anak buahmu! Aku perlu seratus lima puluh orang m
Gunung Batu lepas senja. Puluhan burung rangkong berkaok-kaok terbang berpasang-pasangan pulang ke sarangnya. Sayap mereka beradu cepat dengan gelap yang mulai menyergap.Di perkampungan pasukan Rajaputra Aruna di Gunung Batu, ribuan prajurit mulai berkemas. Sekali pukulan canang lagi rombongan pertama mereka segera berangkat menuju Kutaraja Minanga Tamwan.Dalam pertemuan terakhir yang dipimpin Rajaputra Aruna dan melibatkan Senapati Madya Sarpa dan para pendekar aliran hitam, diputuskan keberangkatan pasukan Rajaputra Aruna dalam tiga gelombang. Dari tiga ribu prajurit Rajaputra Aruna, dua ribu lima ratus berangkat menyerang Kutaraja Minanga Tamwan. Sementara lima ratus lainnya tetap di Gunung Batu, bersiaga menjaganya.Gelombang pertama pasukan Rajaputra Aruna berjumlah seribu orang prajurit. Mereka sudah bersiap di lapangan yang biasa dijadikan tempat latihan. Tugas pasukan gelombang pertama adalah menghancurkan benteng pertahanan terdepan pasukan Kedatuan Sriwijaya. Mereka dipimp
Malam gelap pekat. Lima perahu berisi manusia kira-kira seratus orang itu makin mendekat ke pos penjagaan pasukan Sriwijaya yang terbuat dari rakit bambu yang terletak di kanan kiri Sungai Komering. Jika tak jeli benar, maka pos penjagaan Sriwijaya itu tak akan terlihat. Tak satupun obor dinyalakan oleh prajurit penjaga.Salah seorang yang naik lima perahu asing itu berteriak. Membuat seluruh prajurit jaga Sriwijaya bersiaga."Siagaaaa...! Siagaaaa...!" orang itu ternyata Tandrun Luah. Bersama seratus orang lainnya, ia berhasil melarikan diri dari perkampungan prajurit Rajaputra Aruna.Pos penjagaan pasukan Sriwijaya ini terletak cukup jauh dari Kutaraja Minanga Tamwan. Pos ini merupakan pos penjagaan terluar. Apabila Rajaputra Aruna hendak menaklukkan Kutaraja Minanga Tamwan, maka ia terlebih dahulu harus menghancurkan tiga lapis pertahanan yang dibangun oleh Senapati Madya Arsa.Pos rakit penjagaan prajurit Sriwijaya seketika siaga penuh. Obor-obor dinyalakan. Puluhan prajurit tampa
"Benar-benar bedebah kau Tandrun Luah!" Rajaputra Aruna belum usai memaki Tandrun Luah. Ia masih tak percaya semua strategi pemberontakan yang telah disusun matang jadi berantakan dalam sekejap oleh Tandrun Luah.Pendekar Pisau Terbang yang dari tadi hanya mendengarkan amarah Rajaputra Aruna, kini mulai bicara."Anak Raja! Sudahlah. Percuma kau memaki Tandrun Luah! Batang hidungnya saja sudaj tak tampak lagi!""Aih...kau Pisau Terbang! Kau malah membela pengkhianat itu!" sungut Rajaputra Aruna."Bukan aku membela Tandrun Luah Anak Raja! Sampai kiamat kau marahpun Tandrun Luah tak akan bisa kau dapatkan! Dengan marah-marah begini, kau malah merusak mentalmu dan seluruh pasukan yang kau pimpin!"Rajaputra Aruna diam mendengar sanggahan Pendekar Pisau Terbang. Memang ucapan Pendekar Pisau Terbang ada benarnya."Hhhhhhh...kau benar Pisau Terbang. Lalu apa yang harus kulakukan? Semua rencana matangku hancur oleh keparat itu! Bertahun-tahun aku menyiapkannya! Semua hancur dalam sekejap!" uj
"Kuweek...! Kuweek...! Kuweek...!" suara burung hantu bersahutan-sahutan. Bergantian dengan lolong anjing hutan dan bintang malam lain memecah hening malam di hutan dekat rawa-rawa pos penjagaan pasukan Sriwijaya.Saat ini, waktu mendekati dua pertiga malam.Suasana di sekitar pos penjagaan pasukan Sriwijaya gelap gulita. Jika diperhatikan sekilas, tak ada tanda-tanda kehidupan manusia sama sekali. Padahal di balik kegelapan itu, ratusan pasang mata bersiaga, waspada menunggu kehadiran pasukan Rajaputra Aruna. Anyir darah mulai tercium. Aroma kematian mulai terasa menyengat kuat.Detik demi detik dilalui dengan degup jantung yang lebih cepat. Semua, siap tak siap akan berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.Dari arah hulu, dua puluh perahu melaju lambat. Begitu mendekati pos penjagaan pertama pasukan Sriwijaya sudah dekat, Pendekar Pisau Terbang sengaja memerintahkan dayung dinaikkan. Semua perahu hanya mengandalkan tenaga arus Sungai Komering untuk berjalan. Kedatangan mereka tak
20Pagi Berdarah!Hari mulai terang. Sinar matahari berbinar dan menerobos sela-sela pohon gelam yang banyak tumbuh di sekitar pos penjagaan pertama pasukan Sriwijaya.Mestinya suasana pagi ini bisa menumbuhkan gairah dan kegembiraan. Tapi yang terjadi di tepi Sungai Komering pagi adalah sebaliknya.Perut Mekhanai mual. Isi perutnya seperti dikocok keras dan hendak muntah. Betapa tidak, dihadapannya terhampar pemandangan yang sungguh memilukan. Ratusan prajurit dari kedua belah pihak tergeletak jadi mayat. Rata-rata mereka tewas karena sengatan racun Datuk Lepu dan ganasnya pisau terbang. Air Sungai Komering kini berwarna merah darah.Di pihak pasukan Rajaputra Aruna juga tak kalah mengerikan. Ratusan prajurit Rajaputra Aruna tewas terkena panah pasukan Sriwijaya. Banyak mayat pasukan Rajaputra Aruna yang terbawa arus Sungai Komering ke hilir.Tapi ada sesuatu hal lain yang paling menggelisahkan Mekhanai. Sebagai prajurit yang sudah kenyang asam garam pertempuran Mekhanai paham kalau
Pisau Terbang mulai tak bisa mengendalikan emosi. Mekhanai yang mengetahuinya, dalam hati bersorak. Ia makin bersemangat untuk membuat murka Pisau Terbang. Ia dengan seenak hati mengejek Pisau Terbang. Ucapan Mekhanai makin ngawur."Oh ya Pisau Terbang, kudengar ibumu dulunya pelacur ya? Hahaha...!""Diam kau prajurit sialan! Tak pantas kau sebut kotor ibuku!""Haha...kenapa kau marah anak pelacur? Sekarang bertobatlah kau! Tak pantas kau setua ini masih berbuat dosa!""Tutup mulutmu prajurit ingusan! Tak perlu kau mengajariku! Lebih baik kau berdo'a supaya neraka tak menolak arwah penasaranmu!""Hahaha...tak kebalik? Bukannya mayatmu yang ditolak neraka anak pelacur?""Cukup! Cukup! Hentikan kata-kata kotormu prajurit tengik!"Pisau Terbang makin murka. Siasat Mekhanai berhasil. Pisau Terbang berhasil dibuat tak sadar jika sebenarnya Mekhanai hanya mengulur waktu. Kini Mekhanai merasa lima prajurit yang ia tugaskan sudah sampai. Ia bisa lebih lugas menghadapi Pisau Terbang. Mekhanai
Tubuh Badra melompat ke udara. Kedua tangannya dibuka lebar. Sejurus kemudian, pedangnya diacungkan ke depan."Ciaaaaat...!"Tubuh Badra menukik cepat ke arah Datuk Lepu. Melihat serangan datang, Datuk Lepu langsung menyilangkan pedangnya di depan dada.Sambil menunggu serangan Badra, Datuk Lepu mengumpat pelan."Brengsek! Prajurit sialan ini mengerti kelemahanku! Ia sama sekali tak memberiku kesempatan untuk menggunakan ilmu racunku!"Serangan yang ditunggu Datuk Lepu tak kunjung datang."Byuuur...!"Tubuh Badra tiba-tiba berbelok. Bukannya langsung menyerang Datuk Lepu, Badra malah menjatuhkan diri ke air dan menyelam. Datuk Lepu sama sekali tak menyangka Badra akan melakukan tindakan itu."Orang gila! Apa sebenarnya rencana prajurit sialan itu?" desis Datuk Lepu.Datuk Lepu langsung mendapat jawaban."Duk...! Duk...!"Perahu yang dinaiki Datuk Lepu dan sisa lima orang prajurit Rajaputra Aruna bergoyang keras.Badra yang sebentar lalu menyelam, berusaha membolongi perahu Datuk Lepu.