Gunung Batu lepas senja. Puluhan burung rangkong berkaok-kaok terbang berpasang-pasangan pulang ke sarangnya. Sayap mereka beradu cepat dengan gelap yang mulai menyergap.Di perkampungan pasukan Rajaputra Aruna di Gunung Batu, ribuan prajurit mulai berkemas. Sekali pukulan canang lagi rombongan pertama mereka segera berangkat menuju Kutaraja Minanga Tamwan.Dalam pertemuan terakhir yang dipimpin Rajaputra Aruna dan melibatkan Senapati Madya Sarpa dan para pendekar aliran hitam, diputuskan keberangkatan pasukan Rajaputra Aruna dalam tiga gelombang. Dari tiga ribu prajurit Rajaputra Aruna, dua ribu lima ratus berangkat menyerang Kutaraja Minanga Tamwan. Sementara lima ratus lainnya tetap di Gunung Batu, bersiaga menjaganya.Gelombang pertama pasukan Rajaputra Aruna berjumlah seribu orang prajurit. Mereka sudah bersiap di lapangan yang biasa dijadikan tempat latihan. Tugas pasukan gelombang pertama adalah menghancurkan benteng pertahanan terdepan pasukan Kedatuan Sriwijaya. Mereka dipimp
Malam gelap pekat. Lima perahu berisi manusia kira-kira seratus orang itu makin mendekat ke pos penjagaan pasukan Sriwijaya yang terbuat dari rakit bambu yang terletak di kanan kiri Sungai Komering. Jika tak jeli benar, maka pos penjagaan Sriwijaya itu tak akan terlihat. Tak satupun obor dinyalakan oleh prajurit penjaga.Salah seorang yang naik lima perahu asing itu berteriak. Membuat seluruh prajurit jaga Sriwijaya bersiaga."Siagaaaa...! Siagaaaa...!" orang itu ternyata Tandrun Luah. Bersama seratus orang lainnya, ia berhasil melarikan diri dari perkampungan prajurit Rajaputra Aruna.Pos penjagaan pasukan Sriwijaya ini terletak cukup jauh dari Kutaraja Minanga Tamwan. Pos ini merupakan pos penjagaan terluar. Apabila Rajaputra Aruna hendak menaklukkan Kutaraja Minanga Tamwan, maka ia terlebih dahulu harus menghancurkan tiga lapis pertahanan yang dibangun oleh Senapati Madya Arsa.Pos rakit penjagaan prajurit Sriwijaya seketika siaga penuh. Obor-obor dinyalakan. Puluhan prajurit tampa
"Benar-benar bedebah kau Tandrun Luah!" Rajaputra Aruna belum usai memaki Tandrun Luah. Ia masih tak percaya semua strategi pemberontakan yang telah disusun matang jadi berantakan dalam sekejap oleh Tandrun Luah.Pendekar Pisau Terbang yang dari tadi hanya mendengarkan amarah Rajaputra Aruna, kini mulai bicara."Anak Raja! Sudahlah. Percuma kau memaki Tandrun Luah! Batang hidungnya saja sudaj tak tampak lagi!""Aih...kau Pisau Terbang! Kau malah membela pengkhianat itu!" sungut Rajaputra Aruna."Bukan aku membela Tandrun Luah Anak Raja! Sampai kiamat kau marahpun Tandrun Luah tak akan bisa kau dapatkan! Dengan marah-marah begini, kau malah merusak mentalmu dan seluruh pasukan yang kau pimpin!"Rajaputra Aruna diam mendengar sanggahan Pendekar Pisau Terbang. Memang ucapan Pendekar Pisau Terbang ada benarnya."Hhhhhhh...kau benar Pisau Terbang. Lalu apa yang harus kulakukan? Semua rencana matangku hancur oleh keparat itu! Bertahun-tahun aku menyiapkannya! Semua hancur dalam sekejap!" uj
"Kuweek...! Kuweek...! Kuweek...!" suara burung hantu bersahutan-sahutan. Bergantian dengan lolong anjing hutan dan bintang malam lain memecah hening malam di hutan dekat rawa-rawa pos penjagaan pasukan Sriwijaya.Saat ini, waktu mendekati dua pertiga malam.Suasana di sekitar pos penjagaan pasukan Sriwijaya gelap gulita. Jika diperhatikan sekilas, tak ada tanda-tanda kehidupan manusia sama sekali. Padahal di balik kegelapan itu, ratusan pasang mata bersiaga, waspada menunggu kehadiran pasukan Rajaputra Aruna. Anyir darah mulai tercium. Aroma kematian mulai terasa menyengat kuat.Detik demi detik dilalui dengan degup jantung yang lebih cepat. Semua, siap tak siap akan berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.Dari arah hulu, dua puluh perahu melaju lambat. Begitu mendekati pos penjagaan pertama pasukan Sriwijaya sudah dekat, Pendekar Pisau Terbang sengaja memerintahkan dayung dinaikkan. Semua perahu hanya mengandalkan tenaga arus Sungai Komering untuk berjalan. Kedatangan mereka tak
20Pagi Berdarah!Hari mulai terang. Sinar matahari berbinar dan menerobos sela-sela pohon gelam yang banyak tumbuh di sekitar pos penjagaan pertama pasukan Sriwijaya.Mestinya suasana pagi ini bisa menumbuhkan gairah dan kegembiraan. Tapi yang terjadi di tepi Sungai Komering pagi adalah sebaliknya.Perut Mekhanai mual. Isi perutnya seperti dikocok keras dan hendak muntah. Betapa tidak, dihadapannya terhampar pemandangan yang sungguh memilukan. Ratusan prajurit dari kedua belah pihak tergeletak jadi mayat. Rata-rata mereka tewas karena sengatan racun Datuk Lepu dan ganasnya pisau terbang. Air Sungai Komering kini berwarna merah darah.Di pihak pasukan Rajaputra Aruna juga tak kalah mengerikan. Ratusan prajurit Rajaputra Aruna tewas terkena panah pasukan Sriwijaya. Banyak mayat pasukan Rajaputra Aruna yang terbawa arus Sungai Komering ke hilir.Tapi ada sesuatu hal lain yang paling menggelisahkan Mekhanai. Sebagai prajurit yang sudah kenyang asam garam pertempuran Mekhanai paham kalau
Pisau Terbang mulai tak bisa mengendalikan emosi. Mekhanai yang mengetahuinya, dalam hati bersorak. Ia makin bersemangat untuk membuat murka Pisau Terbang. Ia dengan seenak hati mengejek Pisau Terbang. Ucapan Mekhanai makin ngawur."Oh ya Pisau Terbang, kudengar ibumu dulunya pelacur ya? Hahaha...!""Diam kau prajurit sialan! Tak pantas kau sebut kotor ibuku!""Haha...kenapa kau marah anak pelacur? Sekarang bertobatlah kau! Tak pantas kau setua ini masih berbuat dosa!""Tutup mulutmu prajurit ingusan! Tak perlu kau mengajariku! Lebih baik kau berdo'a supaya neraka tak menolak arwah penasaranmu!""Hahaha...tak kebalik? Bukannya mayatmu yang ditolak neraka anak pelacur?""Cukup! Cukup! Hentikan kata-kata kotormu prajurit tengik!"Pisau Terbang makin murka. Siasat Mekhanai berhasil. Pisau Terbang berhasil dibuat tak sadar jika sebenarnya Mekhanai hanya mengulur waktu. Kini Mekhanai merasa lima prajurit yang ia tugaskan sudah sampai. Ia bisa lebih lugas menghadapi Pisau Terbang. Mekhanai
Tubuh Badra melompat ke udara. Kedua tangannya dibuka lebar. Sejurus kemudian, pedangnya diacungkan ke depan."Ciaaaaat...!"Tubuh Badra menukik cepat ke arah Datuk Lepu. Melihat serangan datang, Datuk Lepu langsung menyilangkan pedangnya di depan dada.Sambil menunggu serangan Badra, Datuk Lepu mengumpat pelan."Brengsek! Prajurit sialan ini mengerti kelemahanku! Ia sama sekali tak memberiku kesempatan untuk menggunakan ilmu racunku!"Serangan yang ditunggu Datuk Lepu tak kunjung datang."Byuuur...!"Tubuh Badra tiba-tiba berbelok. Bukannya langsung menyerang Datuk Lepu, Badra malah menjatuhkan diri ke air dan menyelam. Datuk Lepu sama sekali tak menyangka Badra akan melakukan tindakan itu."Orang gila! Apa sebenarnya rencana prajurit sialan itu?" desis Datuk Lepu.Datuk Lepu langsung mendapat jawaban."Duk...! Duk...!"Perahu yang dinaiki Datuk Lepu dan sisa lima orang prajurit Rajaputra Aruna bergoyang keras.Badra yang sebentar lalu menyelam, berusaha membolongi perahu Datuk Lepu.
"Trang...! Trang...! Duaaaaar...!"Mekhanai menyerang Datuk Lepu dengan membabi buta. Ia tak lagi menghiraukan pisau yang masih menancap di bahu dan luka lainnya.Setelah benturan pertama yang menimbulkan suara memekakkan telinga, tubuh kedua jagoan itu berjumpalitan dan mendarat dengan ringan di permukaan air.Nasib buruk Badra membuat Mekhanai benar-benar kalap."Ciaaaat....! Mampus kau Datuk melompat menyerang Datuk Lepu!"Belum lagi menarik nafas, prajurit muda Sriwijaya itu kembali meneror Datuk Lepu dengan serangan pedangnya. Datuk Lepu dengan sigap meladeni. Keduanya kembali terlibat dalam duel hebat.Ketika pertarungan Mekhanai dan Datuk Lepu memasuki babak-babak penting, Pendekar Pisau Terbang yang sedang asyik menonton dari atas perahu, dikejutkan oleh teriakan seseorang."Oiii...sobatku! Berkenankah kau mengajakku nonton pertarungan hebat Datuk Lepu dan anjing Sriwijaya bersama-sama?"Pendekar Pisau Terbang langsung menoleh ke asal suara."Rajaputra Aruna!" teriak Pisau Ter
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!