Abad ke-7 Masehi. Minanga Tamwan merupakan sebuah kota yang sibuk, tertib, dan bersih. Letak di pinggir Sungai Komering, menyebabkan Minanga Tamwan dilayari kapal-kapal berukuran sedang dan kecil. Selain menjadi transportasi manusia, kapal-kapal tersebut juga mengangkut hasil hutan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Di antara sekian banyak kapal itu terlihat satu dua kapal-kapal dagang asing yang berasal dari India dan Tiongkok.
Hampir semua kapal asing itu mengangkut pinang. Pinang memang menjadi salah satu komoditi perdagangan penting dunia saat itu. Beberapa kapal dan perahu juga mengangkut damar, gaharu, gading gajah, emas, dan lainnya.Pinang yang diperjualbelikan kebanyakan berasal dari daerah sepanjang sungai Komering dan anak-anak sungainya. Banyak juga yang didatangkan dari daerah Danau Ranau yang diangkut melalui Sungai Selabung.Waktu memasuki seperempat malam. Saat itu, di pinggir Minanga Tamwan, dua sosok tubuh manusia berjalan di antara rumah-rumah panggung. Keduanya tampak terburu-buru.Keduanya terus berjalan ke arah hulu sungai. Di sebuah tempat tersembunyi, salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah perahu kecil dari gerumbul semak di tepi sungai. Kemudian ia mendekatkan ujung perahu bagian depan kepada seorang yang lain."Silahkan naik Rajaputra," ujarnya. Orang yang dipanggil rajaputra itu lalu naik ke perahu dan duduk di bagian depan. Ia adalah Rajaputra Aruna.Perawakan tegap dengan otot-otot kencang bertonjolan cukup menopang paras tampan Rajaputra Aruna. Gadis manapun bisa jatuh hati padanya. Sayangnya, parut bekas luka akibat sayatan atau bacokan benda tajam lumayan banyak menghiasi kulit sawo matangnya. Menandakan Rajaputra Aruna adalah pemuda yang banyak melewati perkelahian jalanan.Rajaputra Aruna adalah anak kandung Sang Dapunta Hyang dari selirnya, Laksita. Seperti yang diceritakan Sang Hyang Dapunta pada Buntala, Selir Laksita merupakan adik kandung dari Tumenggung Mukha Upang, Balin. Sehingga orang mengenal Rajaputra Aruna sebagai keponakan Balin.Sedangkan lelaki paruh baya yang naik di bagian belakang perahu adalah seorang prajurit Sriwijaya berpangkat senapati pratama bernama Tandrun Luah.Dengan hubungan sedarah, tak heran jika Sang Dapunta Hyang tak menyertakan Rajaputra Aruna ke Mukha Upang.Selain itu, Sang Dapunta Hyang juga ragu pada sifat dan perilaku Rajaputra Aruna. Ia dikenal sebagai seorang anak muda temperamental, ceroboh, dan mata keranjang.Tandrun Luah langsung mengayuh perahu ke arah hulu Sungai Komering.Perjalanan yang ditempuh Rajaputra Aruna dan Tandrun Luah lumayan jauh. Tandrun Luah baru menepikan perahu di sebuah semak lebat ketika mendekati tengah malam. Dua orang berpakaian prajurit sudah menunggu mereka.Setelah menyembunyikan perahu, Rajaputra Aruna, Tandrun Luah, dan kedua prajurit yang menjemput mereka kemudian berjalan kaki menembus pekat malam. Tujuan mereka ada sebuah perkampungan prajurit yang terletak di sebuah daratan di tengah hutan rawa-rawa Gunung Batu.Tiba di perkampungan Gunung Batu, Rajaputra Aruna disambut oleh satu regu prajurit yang mengenakan gelang rotan berwarna kuning. Serupa dengan gelang yang dikenakan prajurit Mukha Upang."Selamat datang Rajaputra Aruna sesembahan hamba," ujar seorang senapati madya yang tampaknya jadi pemimpin pasukan di Gunung Batu.Orang itu memiliki wajah membosankan. Wajah lebar berpipi tembam miliknya dilengkapi sebuah hidung pesek dengan dua lubang besar. Belum lagi bibir tebal hitam menambah tak sedap orang yang melihatnya.Selesai menyapa Rajaputra Aruna, senapati itu lalu bersujud mencium tanah diikuti oleh seluruh prajurit yang ada."Sembahmu kuterima Sarpa. Bangun kau senapati ular haha...!" jawab Rajaputra Aruna kasar. Senapati madya yang dipanggil Sarpa segera bangun dan duduk di hadapan Rajaputra Aruna. Rajaputra Aruna melanjutkan kalimatnya. "Ayo kita ke rumah komando!"Rajaputra Aruna berjalan ke tengah kampung diikuti oleh Tandrun Luah dan Sarpa. Tak lama mereka telah tiba di sebuah rumah panggung besar yang terbuat dari kayu Merbau. Inilah yang disebut Rajaputra Aruna rumah komando.Rajaputra Aruna langsung menaiki tangga rumah dan duduk di ruang tengah. Diikuti Tandrun Luah dan Sarpa.Di ruang tengah rumah yang diterangi lampu damar, Sarpa telah menyiapkan arak enau dan babi panggang diatas tikar pandan yang dibentangkan di lantai kayu rumah.Ketiganya kemudian duduk mengitari hidangan dan segera disusul basa-basi Sarpa mempersilahkan tuannya dan Tandrun Luah untuk menyantapnya."Silahkan dinikmati arak enau dan daging babinya Tuanku," ujar Sarpa."Hahaha...dasar ular. Selalu pandai kau mengambil hatiku!""Hamba Rajaputra. Hanya hidangan sederhana dari hutan Tuanku," jawab Sarpa sambil tersenyum.Panggilan 'senapati ular' dari Rajaputra Aruna pada Sarpa sepertinya memang sesuai. Wajah membosankan dan tabiat culas Sarpa adalah perpaduan lengkap bagi seorang yang selalu mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.Tanpa basa-basi, Rajaputra Aruna langsung meminum arak dan makan daging babi panggang yang disiapkan Sarpa."Tandrun Luah dan kau Sarpa, ayo temani aku makan. Jangan cuma nonton saja kalian.""Hamba Rajaputra," keduanya segera mengikuti Rajaputra Aruna minum arak dan makan daging babi panggang. Ketiganya dengan cepat menghabiskan hidangan. Tak lama, perut mereka kenyang dan hangat oleh daging babi serta arak.Selesai makan, ketiganya langsung terlibat perbincangan serius."Sarpa. Kau sudah tahu pamanku, Balin, tewas oleh Sadnya?" Rajaputra mengabarkan kematian Balin pada Sarpa. Sama sekali tak terlihat rona duka diwajahnya."Demi Sang Hyang Adi Buddha! Benarkah yang hamba dengar ini Rajaputra?""Hei...sejak kapan kau berubah jadi bhiksu Sarpa?" giliran Rajaputra Aruna terkejut mendengar Sarpa menyebut nama Sang Buddha. Mimik mukanya kembali datar, tanpa rasa duka ketika menyindir Sarpa, "Kau kira aku tukang bohong seperti dirimu Sarpa?"Sarpa tersipu atas sindiran tuannya. Warna merah merebak di wajah membosankan Sarpa. Namun ia tetap bisa menjawab Rajaputra Aruna dengan percaya diri."Hamba hanya tak percaya itu terjadi""Haha...kabar itu benar Sarpa!""Lalu kenapa Tuanku seperti tak sedih sama sekali?""Haha...kenapa aku harus sedih Sarpa? Justru dengan tewasnya Balin tua itu tujuanku makin dekat jadi kenyataan!""Maksud Tuanku?""Malam ini kau benar-benar bodoh Sarpa. Tak seperti biasanya," ujar Rajaputra Aruna sambil menuangkan arak enau ke gelas bambu. Ia menenggak arak enau lagi. Seolah perutnya bisa menampung ratusan gelas arak enau. Sarpa menyeringai mendengar ucapan Aruna.Rajaputra Aruna melanjutkan ceritanya."Kalau Balin menang melawan ayahku, ia pasti langsung memburuku. Manusia rakus itu tak akan mau kekuasaannya terganggu. Ia otomatis menganggapku ancaman baginya!" seru Rajaputra Aruna sambil bersendawa kekenyangan. Ia terus bicara, "Kondisinya berbeda sekarang. Dengan kemenangan ayahku, si tua bangka Sri Jayanasa, kita masih punya waktu untuk menyusun pemberontakan! Paham kau bodoh?" desis Aruna pada Sarpa."Haha...hamba tak sangka, malam ini Tuanku begitu pintar dan ...""Dan apa Sarpa?""Malam ini Tuanku juga culas!""Bangsat kau Sarpa! Hahaha..."Keduanya terbahak bersama. Tandrun Luah yang menyaksikan hanya tersenyum tipis.Malam makin larut, Rajaputra Aruna terus meracau tak bisa menutupi kegembiraannya. Kematian Balin adalah kabar baik untuknya. Ia tak lagi perlu bersusah payah menyingkirkan pamannya itu. Persekutuan dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik saja. Rajaputra Aruna memerlukan Balin sebagai sekutu sebatas untuk meruntuhkan ayahnya semata.Jika Sang Dapunta berhasil diruntuhkan, sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna jadi liar. Ia tak lagi peduli status sebagai anak Datu Sriwijaya.Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna. Ia terus menuangkan arak enau ke gelas bambu Rajaputra Aruna. Makin mabuk tuannya, maka ia akan lebih banyak dapat keuntungan.Saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan bagi perebutan kekuasaan, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna makin gembira dengan semua laporannya."Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya dengan mimik serius."Semua berjalan sesuai rencana Tuanku.""Berapa jumlah senjata yang sudah kita miliki Sarpa?" tanya Rajaputra Aruna tak langsung percaya dengan kalimat Sarpa."Pedang dan tombak sudah siap dua ribu delapan ratus buah. Sisanya sedang ditempa siang malam oleh semua pandai besi kita. Kalau semua dirasa oleh Tuanku masih kurang, hamba akan tambah sesuai dengan titah Tuanku!""Bagus! Kerjakan semua dengan cepat. Waktu kita tak banyak. Dalam dua minggu ke depan, kita harus sudah merebut Minanga Tamwan!""Hamba rasa, memang pantas Tuanku jadi Datu Sriwijaya!" hasut Sarpa sambil tersenyum licik. Rajaputra Aruna senang bukan main mendengar pujian Sarpa."Hahaha...dasar ular kau! Oh ya, sebentar lagi aku harus kembali. Sebelum fajar, aku dan Tandrun Luah harus sudah sampai di Minanga Tamwan. Lalu, tak boleh ada seorangpun tahu tentang gerakan kita! Nyawamu jadi jaminannya Sarpa!"Bagi Rajaputra Aruna, persekutuannya dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik belaka. Rajaputra memerlukan Balin sebagai sekutu hanya untuk meruntuhkan ayahnya semata. Tak lebih. Jika ayahnya berhasil diruntuhkan, maka sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna cukup liar. Ia tak lagi peduli posisinya sebagai seorang anak Datu Sriwijaya.Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna itu. Ia juga harus memanfaatkan situasi dan mendapatkan keuntungan besar untuk dirinya sendiri. Maka, saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan untuk memberontak nanti, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna semakin gembira dengan semua ucapannya."Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya pada Sarpa dengan mimik serius."Amba Tuanku. Semua berjalan sesuai rencana.""Bag
Hampir tengah malam Sadnya kembali ketendanya. Setibanya di tenda, Sadnya langsung tertidur pulas. Tak sempat lagi ia berganti pakaian. Golok Melasa Kepappang tergeletak sampingnya. Menjelang dini hari, saat ayam hutan jantan berkokok, Sadnya bermimpi. Dalam mimpinya, Sadnya didatangi oleh sepasang bujang gadis berkebat pakaian putih. Keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. Si Bujang yang berbadan tegap dan tampan, mengaku bernama Arutala. Sedang Si Gadis yang berwajah rupawan bernama Leena. Yang mengherankan, keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. "Sadnya. Aku bernama Arutala. Kekasihku ini bernama Leena. Kami berdua adalah ruh penghuni Golok Melasa Kepappang yang kini kau miliki" "Apa maksud kalian berdua datang padaku?" "Kami mohon kau bisa membantu kami Sadnya." "Aku? Aku tak kenal siapa kalian berdua? Terus kenapa aku harus membantu kalian berdua?" "Sadnya. Jika kau tak mau menolong kami, kami akan selalu jadi arwah penasaran yang menghuni golok haus darag ini. Ruh
Sebenarnya, waktu Sadnya lebih banyak dihabiskan dengan bersantai di tendanya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena Mukha Upang telah ditaklukan. Oleh sebab itu, dia hanya tidur dan berputar-putar di sekitar perkemahan saja. Pertemuannya dengan Ruh Arutala dan Leena seakan membangkitkan gairah hidupnya. Namun, itu tidak bertahan lama karena Sadnya akhirnya menyerah untuk mencari jawaban mimpinya. Namun, sejak saat itu, dari hanya mengelilingi perkemahan, Sadnya memutuskan untuk pergi berkeliling Mukha Upang. Ia pergi sendiri, tanpa siapapun menemaninya. Mukha Upang pada Abad Tujuh Masehi, adalah kota yang dibangun sebagian besar di atas rawa-rawa yang dikeringkan. Apabila dilihat sekilas, Mukha Upang adalah sebuah kota yang semrawut. Hampir seluruh rumah di Mukha Upang mengapung di sepanjang tepi aliran Sungai Musi. Rumah-rumah itu sengaja dibuat terapung agar bisa menyesuaikan diri dengan pasang surut air sungai. Dengan begitu rumah-rumah apung itu tak akan tenggelam atau hanyut
"Senapati, aku berasal dari Bintan. Salah satu pulau di antara beribu pula di Selat Malaka. Aku yakin kau belum pernah ke sana. Aku adalah anak dari Suku Laut. Kami, Suku Laut, adalah penguasa laut sesungguhnya. Kami orang-orang merdeka yang selalu dipersekutu oleh Datu-Datu dari Melayu, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Bahkan panglima perang dan pedagang dari negeri jauh seperti India dan Tiongkok juga mempersekutu kami. Mereka sadar apa yang akan terjadi jika menganggap kami angin lalu. Kami hapal setiap teluk dan tanjung di sepanjang Pantai Timur Swarnadwipa beserta hantu dan peri penunggunya." Rampog benar. Leluhur sukunya, suku laut adalah orang-orang pemberani penguasa lautan. Desas-desus mengatakan bahwa leluhur mereka adalah sisa dari orang-orang purba yang telah hidup di dunia sejak tiga ribu dua ratus sebelum Sadnya dilahirkan. Sekitar tahun dua ribu lima ratus sebelum Masehi. Walaupun pengetahuan Sadnya belum sejauh itu, ia yakin bahwa leluhur Rampog digjaya di samudera. Setah
Di sisi lain ....Pada siang hari, kesibukan tengah terjadi di sebuah tempat rahasia di Gunung Batu. Daerah yang terletak agak jauh dari Minanga Tamwan itu tampak menggeliat dalam beberapa hari terakhir. Ratusan laki-laki hilir mudik membawa tombak dan pedang. Tanah lapang di tengah perkampungan prajurit ramai oleh prajurit yang berlatih. "Trang...! Trang...!" Suara tombak dan pedang yang beradu, makin membuat hari semakin panas. Semua prajurit tampak tak mengenakan pakaian bagian atas. Memamerkan otot-otot yang kekar dan menonjol keluar. Peluh mengalir deras di dada dan punggung mereka. Berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Tidak hanya berlatih silat, mereka juga berlatih membentuk formasi tempur. Formasi bertahan atau menyerang. Formasi tempur yang terus menerus mereka latih dengan disiplin adalah cakrabyuha. Cakrabyuha merupakan salah satu bentuk formasi tempur yang berasal dari formasi tempur India kuno. Cakrabyuha bermakna formasi lingkaran dan pertama kali dipelajari dari K
Persiapan pemberontakan Rajaputra Aruna sudah disusun sejak jauh hari. Itu terbukti oleh kekuatan tempur yang dibangun. Hidup Rajaputra Aruna yang terbiasa melanglang buana membuatnya memiliki banyak teman dan jaringan. Apalagi dengan status sebagai anak Datu Sriwijaya, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Semua orang dari berbagai lapisan sudah tentu ingin dekat dengan anak Selir Laksita itu. Sayangnya, kesempatan luas itu malah membuat Rajaputra Aruna keliru menempuh jalan hidup. Jalan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Budha. Perilaku tak senonoh Rajaputra Aruna makin menjadi. Ditambah dengan rasa iri terhadap Putra Mahkota Sriwijaya, Pangeran Indrawarman. Rasa iri Rajaputra Aruna terhadap Pangeran Indrawarman, melahirkan sikap antipati terhadap ayah dan saudara laki-lakinya itu. Sampai suatu saat, Rajaputra Aruna berniat merebut kekuasaan dari Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Niat jahat yang mendorong Rajaputra Aruna membangun kekuatan militer dan menghimpun pendekar-pendekar al
Keheningan menjalari suasana Kutaraja Minanga Tamwan malam itu. Hanya regu-regu prajurit jaga yang terlihat berjalan hilir mudik di jalan-jalannya. Di kejauhan, sesekali lolongan anjing hutan terdengar parau.Waktu sudah merambat ke tengah malam. Dari sudut kutaraja yang gelap, sesosok bayangan manusia berjalan cepat. Ia terlihat mengendap menghindari mata regu-regu prajurit jaga. Dari langkah kakinya yang ringan, terlihat bahwa ia bukan penduduk kebanyakan.Sosok manusia itu dengan cepat bisa mencapai jantung Kutaraja Minanga Tamwan. Ia langsung menuju Istana Kedatuan Sriwijaya. Sampai di depan gerbang istana, ia bersembunyi. Lalu masuk dengan cepat saat regu prajurit jaga lengah. Istana utama, tempat tinggal Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang ditujunya.Belum lagi sosok manusia misterius itu tiba di depan pintu istana utama, suara seorang laki-laki telah menegurnya dari dalam."Kaukah itu Pada?""Amba Pangeran.""Lekas masuk Pada. Tak boleh ada seorangpun yang melihatmu masuk.""Am
"Ananda Pangeran Indrawarman, yang dikatakan Bhiksu Dharmapala itu benar adanya. Ananda adalah tumpuan harapan seluruh penduduk Kutaraja Minanga Tamwan dan Sriwijaya saat ini," pemilik suara itu melanjutkan kalimatnya. Ia ternyata Permaisuri Sobakencana.Melihat kedatangan Permaisuri Sobakencana, Pangeran Indrawarman dan Bhiksu Dharmapala langsung duduk di lantai dan menyembah padanya."Bangunlah kalian berdua," ujar Permaisuri Sobakencana pada keduanya. Perempuan paruh baya itu lalu duduk di kursi kosong yang terletak di sebelah kiri kursi Pangeran Indrawarman.Pangeran Indrawarman lalu menyambut kedatangan Permaisuri Sobakencana."Ibu Ratu, kenapa Ibu Ratu belum tidur di malam selarut ini?", tanya Pangeran Indrawarman pada Permaisuri Sobakencana, ibunya yang biasa ia panggil Ibu Ratu. Ia heran, karena tak seperti biasa, Permaisuri Sobakencana belum masuk ke kamar tidur. Padahal malam sudah cukup larut. Permaisuri Sobakencana cepat menjawab pertanyaan Pangeran Indrawarman. Ia maklum a
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!