Sepeninggal Sadnya, suasana tenda Sang Dapunta Hyang kembali sunyi. Sang Dapunta Hyang terlihat meneguk air minum dari sebuah cangkir Tiongkok yang terletak di sebelah kursi yang ia duduki.
Senapati Utama Buntala yang duduk di hadapannya sama sekali tak bergeser.Di awal kemunculannya, asal usul lelaki bertubuh tinggi tegap dengan wajah tampan itu seperti misteri. Misteri yang tidak bisa dijawab hingga hari ini. Sampai akhir hayat, rakyat Sriwijaya percaya sepenuhnya bahwa Datu pertama Sriwijaya itu merupakan titisan Sang Hyang Adi Buddha.Rakyat Sriwijaya mengenal Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai seorang sakti yang mampu menguasai ilmu alam, bahasa hewan, dan perubahan cuaca. Datu pendiri Kedatuan Sriwijaya itu juga dikenal memiliki sifat arif. Karena kesaktian dan sifatnya itu, semua rakyat Sriwijaya mempercayai jika Sang Dapunta Hyang adalah titisan Sang Hyang Adi Buddha.Kesaktian dan sifat welas Sang Dapunta Hyang makin lengkap dengan kehadiran Putri Sobakencana sebagai permaisuri. Putri Sobakancana adalah anak kedua dari Raja Kerajaan Tarumanegara. Dengan demikian, Sang Dapunta Hyang merupakan adik ipar dari Ratu Manasih, istri Prabu Tarusbawa. Prabu Tarusbawa adalah Raja dari Kerajaan Sunda.Pada tahun 683 M, Sang Dapunta Hyang melakukan siddhayatra. Sebuah perjalanan suci dengan naik perahu dan berhasil menguasai Mukha Upang.Tiga tahun setelah itu, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa juga berhasil menaklukkan beberapa daerah. Baik secara damai atau melalui pertempuran bersenjata. Kedatuan Melayu, Pulau Bangka, dan Palas Pasemah berhasil ditaklukkan sepenuhnya pada tahun 686 M.Kini, sang penakluk itu berulang kali menghela nafas. Manusia paling berkuasa di Kedatuan Sriwijaya itu tak dapat berbohong pada diri sendiri. Ia sangat kehilangan Balin. Tumenggung Mukha Upang yang di masa lalu merupakan salah satu senapati kepercayaannya."Buntala, sengaja Sadnya kuminta pergi terlebih dahulu. Ada hal rahasia yang ingin kusampaikan padamu.""Hamba Paduka.""Buntala, apakah kau percaya setiap perubahan selalu meminta korban?""Hamba percaya Paduka.""Hari ini aku benar-benar kehilangan seorang senapati terbaikku, Balin!"Awal-awal berdirinya Sriwijaya, Buntala ingat, hanya beberapa orang yang setia dan berjuang menegakkan Kedatuan Sriwijaya. Balin dan Buntala adalah dua diantaranya. Salah satu peran mereka adalah saat Sriwijaya berhasil merebut Minanga Tamwan.Kepada Buntala dan Balin juga, Sang Dapunta Hyang membeberkan cita-citanya menjadikan Kedatuan Sriwijaya sebagai kedatuan yang menguasai samudera.Cita-cita besar Sang Dapunta itu juga hanya akan jadi isapan jempol jika Kutaraja Sriwijaya masih tetap ada di Minanga Tamwan. Menurut Sang Dapunta Hyang, Kutaraja Sriwijaya sebaiknya terletak tak jauh dari bibir samudera. Dengan begitu memudahkan Sriwijaya untuk melakukan hubungan dagang dengan negeri-negeri jauh dengan peradaban yang lebih tinggi. Syarat-syarat tersebut tak dimiliki oleh Minanga Tamwan.Pasukan tangguh juga dibutuhkan Sriwijaya untuk memenangkan persaingan menguasai Selat Bangka, Selat Malaka, dan Selat Sunda. Ketiga selat yang menjadi kunci berkembangnya hubungan dagang Sriwijaya.Selain itu, pasukan Sriwijaya juga harus mampu menundukkan penguasa tradisional ketiga selat tadi. Mereka adalah para bajak laut.Selesai menceritakan mimpi besarnya pada Buntala dan Balin, malam itu juga Sang Dapunta Hyang menitahkan Balin untuk berangkat ke sebuah dusun nelayan kecil di hilir Sungai Upang yang hampir masuk ke Sungai Musi. Dusun nelayan itu adalah Mukha Upang.Selain dihuni nelayan, Mukha Upang dikenal sebagai dusun tempat para bajak laut bersembunyi dari kejaran pasukan laut Kedatuan Melayu dan Kedatuan Tarumanegara.Keganasan para bajak laut Mukha Upang sudah jadi momok di sepanjang pesisir timur Swarnadwipa hingga Laut Jawadwipa. Kekejaman mereka merompak kapal-kapal pedang Tiongkok, Arab, dan Hindustan membuat datu penguasa Kedatuan Melayu dan Kedatuan Tarumanegara marah. Wajar kemudian saat keduanya mengirimkan armada besar pasukan lautnya untuk menumpas habis para bajak laut Mukha Upang.Balin dengan senang menjalankan titah Sang Dapunta Hyang. Ia punya waktu seminggu untuk melakukan persiapan. Bersama Balin, Sang Dapunta Hyang berkenan menyiapkan dua ribu pasukan.Balin berhasil menyelesaikan titah Sang Dapunta Hyang. Ia bersama dua ribu prajurit Sriwijaya berhasil menumpas bakal laut Mukha Upang dan mempersembahkan Mukha Upang pada Sang Dapunta Hyang sebagai bagian dari Kedatuan Sriwijaya. Sebagai penghargaan atas penaklukan Mukha Upang, Sang Dapunta Hyang lalu mengangkat Balin menjadi Tumenggung Mukha Upang.Sampai akhirnya semua berubah.Mukha Upang dalam waktu singkat berubah menjadi sebuah bandar pelabuhan yang ramai. Para pedagang dari pedalaman dan dari negeri-negeri jauh mulai berdatangan ke Mukha Upang. Semua terjadi karena Mukha Upang telah menjadi bandar pelabuhan yang aman dari bajak laut.Karena merasa berhasil membangun Mukha Upang menjadi maju, Balin lupa tujuan dan titah Sang Dapunta Hyang. Balin malah merasa Mukha Upang adalah miliknya. Upeti bulanan yang harusnya rutin diserahkan ke Kutaraja Minanga Tamwan kini sudah tidak dilakukan lagi. Ia malah membangun pasukan dengan persenjataan lengkap. Bahkan informasi yang disampaikan para telik sandi mengatakan, Tumenggung Balin akan memberontak dan memisahkan Mukha Upang dari Sriwijaya. Balin berambisi menjadikan Mukha Upang sebagai kedatuan sendiri.Mengetahui kenyataan itu, Sang Dapunta Hyang marah besar. Namun kemarahan yang awalnya bisa diredam. Sang Dapunta Hyang percaya bahwa perang adalah jalan terakhir. Datu Sriwijaya memilih jalur diplomasi sebagai jalan terbaik. Sang Dapunta Hyang segera mengirimkan utusan ke Mukha Upang.Kemarahan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa tak lagi dapat dibendung. Seluruh utusan Sriwijaya dibunuh Balin dan hanya pulang kepalanya saja. Kegilaan Balin menyebabkan Sang Dapunta Hyang murka.Bagi Sang Dapunta Hyang, kekejaman Balin yang membunuh utusan Sriwijaya harus dihentikan. Sang Dapunta Hyang merasa bahwa sudah saatnya ia melakukan siddhayatra. Sebuah perjalanan suci menumpas kejahatan sekaligus membangun jalan kebesaran Sriwijaya di masa mendatang.Bersama dua puluh ribu prajurit, akhirnya Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa berhasil menumpas Balin, Tumenggung Mukha Upang yang pernah jadi Senapati Utama kepercayaannya.Mengenang peristiwa yang telah lalu, Buntala memahami kerisauan dan kesedihan Sang Dapunta Hyang yang kini duduk menghela nafas panjang di depannya.Suasana hening dipecahkan oleh suara Sang Dapunta Hyang yang terdengar berat."Buntala. Lalu bagaimana menurutmu jika perubahan demi kebesaran Sriwijaya itu harus mengorbankan darah daging sendiri?""Ampun Sang Dapunta. Hamba tak mampu menjawabnya. Sang Dapunta Hyang lebih mengerti dari hamba yang bodoh ini.""Buntala. Kabar terbaru dari para telik sandi Kedatuan mengatakan padaku, anakku, Rajaputra Aruna telah membuat ulah di Minanga Tamwan beberapa hari lalu.""Ampun Baginda. Hamba benar-benar tak mengerti?""Rajaputra Aruna akan memberontak!""Demi Sang Hyang Adi Buddha!" Senapati Utama Buntala kaget bukan kepalang. Ia heran kenapa Rajaputra Aruna sampai nekat menyusun pemberontakan terhadap ayahnya."Aku sudah menduga sejak awal Buntala. Telik sandi mengatakan padaku, Rajaputra Aruna ada di balik pemberontakan Balin di Mukha Upang. Mereka memang sudah lama menyusun rencana dan kekuatan untuk memberontak. Aku benar-benar kecewa!" rutuk Sang Dapunta Hyang sambil memejamkan mata. Gurat kemarahan muncul di kerut dahinya. Sambil membuka mata, ia terus berkata, "Mestinya kekuatan Sriwijaya dalam waktu dekat ini bisa fokus untuk menguasai Selat Bangka. Setelah itu bergeser menguasai Selat Sunda dan Selat Malaka!""Hamba Tuanku," jawab Buntala tanpa berani berkata lain."Ada lagi yang kusayangkan Buntala. Watak Aruna yang ceroboh memungkinkan Melayu menyusupkan para telik sandi mereka. Mengadu domba dan mendorong perang saudara dalam tubuh Sriwijaya adalah hal yang sangat mungkin dilakukan oleh Melayu! Ini juga akan merembet hingga ke Kalingga Buntala! Kau tentu paham kalau Datu Melayu masih kerabat dekat Ratu Sima, penguasa Kalingga!" papar Sang Dapunta Hyang membeberkan kenyataan yang sedang dihadapi Sriwijaya."Kau tahu dari awal Buntala. Balin adalah kakak kandung Selir Laksita. Keduanya keturunan Wangsa Birsha. Wangsa Birsha berasal dari Kedatuan Hindu Sekala Bghak di lereng Gunung Pesagi. Jadi Balin, Laksita, dan Aruna memiliki darah Wangsa Birsha.""Hamba Tuanku.""Wangsa Birsha melahirkan generasi pembuat onar dalam tiap zaman. Jadi aku tak heran jika Balin dan Aruna memberontak pada Sriwijaya!" kata Sang Dapunta Hyang. "Saat ini aku sedang menunggu kabar selanjutnya tentang Rajaputra Aruna. Semoga Sang Hyang Adi Buddha membuka hati dan pikirannya."Sang Dapunta Hyang sambil memejamkan mata."Kalau kemudian anakku Aruna tak lagi bisa berubah pikiran, mau tak mau aku harus menumpasnya!"Terbayang oleh Buntala pergolakan batin Sang Dapunta Hyang. Walau selama ini Sang Dapunta Hyang dianggap sebagai titisan Sang Hyang Adi Buddha, tetap saja ia punya hati layaknya manusia.Pertanyaan besar muncul dalam benak Buntala, apa yang akan dilakukan Sang Dapunta Hyang terhadap Rajaputra Aruna selanjutnya?Abad ke-7 Masehi. Minanga Tamwan merupakan sebuah kota yang sibuk, tertib, dan bersih. Letak di pinggir Sungai Komering, menyebabkan Minanga Tamwan dilayari kapal-kapal berukuran sedang dan kecil. Selain menjadi transportasi manusia, kapal-kapal tersebut juga mengangkut hasil hutan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Di antara sekian banyak kapal itu terlihat satu dua kapal-kapal dagang asing yang berasal dari India dan Tiongkok.Hampir semua kapal asing itu mengangkut pinang. Pinang memang menjadi salah satu komoditi perdagangan penting dunia saat itu. Beberapa kapal dan perahu juga mengangkut damar, gaharu, gading gajah, emas, dan lainnya.Pinang yang diperjualbelikan kebanyakan berasal dari daerah sepanjang sungai Komering dan anak-anak sungainya. Banyak juga yang didatangkan dari daerah Danau Ranau yang diangkut melalui Sungai Selabung.Waktu memasuki seperempat malam. Saat itu, di pinggir Minanga Tamwan, dua sosok tubuh manusia berjalan di antara rumah-rumah panggung. Keduanya tamp
Bagi Rajaputra Aruna, persekutuannya dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik belaka. Rajaputra memerlukan Balin sebagai sekutu hanya untuk meruntuhkan ayahnya semata. Tak lebih. Jika ayahnya berhasil diruntuhkan, maka sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna cukup liar. Ia tak lagi peduli posisinya sebagai seorang anak Datu Sriwijaya.Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna itu. Ia juga harus memanfaatkan situasi dan mendapatkan keuntungan besar untuk dirinya sendiri. Maka, saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan untuk memberontak nanti, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna semakin gembira dengan semua ucapannya."Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya pada Sarpa dengan mimik serius."Amba Tuanku. Semua berjalan sesuai rencana.""Bag
Hampir tengah malam Sadnya kembali ketendanya. Setibanya di tenda, Sadnya langsung tertidur pulas. Tak sempat lagi ia berganti pakaian. Golok Melasa Kepappang tergeletak sampingnya. Menjelang dini hari, saat ayam hutan jantan berkokok, Sadnya bermimpi. Dalam mimpinya, Sadnya didatangi oleh sepasang bujang gadis berkebat pakaian putih. Keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. Si Bujang yang berbadan tegap dan tampan, mengaku bernama Arutala. Sedang Si Gadis yang berwajah rupawan bernama Leena. Yang mengherankan, keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. "Sadnya. Aku bernama Arutala. Kekasihku ini bernama Leena. Kami berdua adalah ruh penghuni Golok Melasa Kepappang yang kini kau miliki" "Apa maksud kalian berdua datang padaku?" "Kami mohon kau bisa membantu kami Sadnya." "Aku? Aku tak kenal siapa kalian berdua? Terus kenapa aku harus membantu kalian berdua?" "Sadnya. Jika kau tak mau menolong kami, kami akan selalu jadi arwah penasaran yang menghuni golok haus darag ini. Ruh
Sebenarnya, waktu Sadnya lebih banyak dihabiskan dengan bersantai di tendanya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena Mukha Upang telah ditaklukan. Oleh sebab itu, dia hanya tidur dan berputar-putar di sekitar perkemahan saja. Pertemuannya dengan Ruh Arutala dan Leena seakan membangkitkan gairah hidupnya. Namun, itu tidak bertahan lama karena Sadnya akhirnya menyerah untuk mencari jawaban mimpinya. Namun, sejak saat itu, dari hanya mengelilingi perkemahan, Sadnya memutuskan untuk pergi berkeliling Mukha Upang. Ia pergi sendiri, tanpa siapapun menemaninya. Mukha Upang pada Abad Tujuh Masehi, adalah kota yang dibangun sebagian besar di atas rawa-rawa yang dikeringkan. Apabila dilihat sekilas, Mukha Upang adalah sebuah kota yang semrawut. Hampir seluruh rumah di Mukha Upang mengapung di sepanjang tepi aliran Sungai Musi. Rumah-rumah itu sengaja dibuat terapung agar bisa menyesuaikan diri dengan pasang surut air sungai. Dengan begitu rumah-rumah apung itu tak akan tenggelam atau hanyut
"Senapati, aku berasal dari Bintan. Salah satu pulau di antara beribu pula di Selat Malaka. Aku yakin kau belum pernah ke sana. Aku adalah anak dari Suku Laut. Kami, Suku Laut, adalah penguasa laut sesungguhnya. Kami orang-orang merdeka yang selalu dipersekutu oleh Datu-Datu dari Melayu, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Bahkan panglima perang dan pedagang dari negeri jauh seperti India dan Tiongkok juga mempersekutu kami. Mereka sadar apa yang akan terjadi jika menganggap kami angin lalu. Kami hapal setiap teluk dan tanjung di sepanjang Pantai Timur Swarnadwipa beserta hantu dan peri penunggunya." Rampog benar. Leluhur sukunya, suku laut adalah orang-orang pemberani penguasa lautan. Desas-desus mengatakan bahwa leluhur mereka adalah sisa dari orang-orang purba yang telah hidup di dunia sejak tiga ribu dua ratus sebelum Sadnya dilahirkan. Sekitar tahun dua ribu lima ratus sebelum Masehi. Walaupun pengetahuan Sadnya belum sejauh itu, ia yakin bahwa leluhur Rampog digjaya di samudera. Setah
Di sisi lain ....Pada siang hari, kesibukan tengah terjadi di sebuah tempat rahasia di Gunung Batu. Daerah yang terletak agak jauh dari Minanga Tamwan itu tampak menggeliat dalam beberapa hari terakhir. Ratusan laki-laki hilir mudik membawa tombak dan pedang. Tanah lapang di tengah perkampungan prajurit ramai oleh prajurit yang berlatih. "Trang...! Trang...!" Suara tombak dan pedang yang beradu, makin membuat hari semakin panas. Semua prajurit tampak tak mengenakan pakaian bagian atas. Memamerkan otot-otot yang kekar dan menonjol keluar. Peluh mengalir deras di dada dan punggung mereka. Berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Tidak hanya berlatih silat, mereka juga berlatih membentuk formasi tempur. Formasi bertahan atau menyerang. Formasi tempur yang terus menerus mereka latih dengan disiplin adalah cakrabyuha. Cakrabyuha merupakan salah satu bentuk formasi tempur yang berasal dari formasi tempur India kuno. Cakrabyuha bermakna formasi lingkaran dan pertama kali dipelajari dari K
Persiapan pemberontakan Rajaputra Aruna sudah disusun sejak jauh hari. Itu terbukti oleh kekuatan tempur yang dibangun. Hidup Rajaputra Aruna yang terbiasa melanglang buana membuatnya memiliki banyak teman dan jaringan. Apalagi dengan status sebagai anak Datu Sriwijaya, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Semua orang dari berbagai lapisan sudah tentu ingin dekat dengan anak Selir Laksita itu. Sayangnya, kesempatan luas itu malah membuat Rajaputra Aruna keliru menempuh jalan hidup. Jalan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Budha. Perilaku tak senonoh Rajaputra Aruna makin menjadi. Ditambah dengan rasa iri terhadap Putra Mahkota Sriwijaya, Pangeran Indrawarman. Rasa iri Rajaputra Aruna terhadap Pangeran Indrawarman, melahirkan sikap antipati terhadap ayah dan saudara laki-lakinya itu. Sampai suatu saat, Rajaputra Aruna berniat merebut kekuasaan dari Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Niat jahat yang mendorong Rajaputra Aruna membangun kekuatan militer dan menghimpun pendekar-pendekar al
Keheningan menjalari suasana Kutaraja Minanga Tamwan malam itu. Hanya regu-regu prajurit jaga yang terlihat berjalan hilir mudik di jalan-jalannya. Di kejauhan, sesekali lolongan anjing hutan terdengar parau.Waktu sudah merambat ke tengah malam. Dari sudut kutaraja yang gelap, sesosok bayangan manusia berjalan cepat. Ia terlihat mengendap menghindari mata regu-regu prajurit jaga. Dari langkah kakinya yang ringan, terlihat bahwa ia bukan penduduk kebanyakan.Sosok manusia itu dengan cepat bisa mencapai jantung Kutaraja Minanga Tamwan. Ia langsung menuju Istana Kedatuan Sriwijaya. Sampai di depan gerbang istana, ia bersembunyi. Lalu masuk dengan cepat saat regu prajurit jaga lengah. Istana utama, tempat tinggal Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang ditujunya.Belum lagi sosok manusia misterius itu tiba di depan pintu istana utama, suara seorang laki-laki telah menegurnya dari dalam."Kaukah itu Pada?""Amba Pangeran.""Lekas masuk Pada. Tak boleh ada seorangpun yang melihatmu masuk.""Am
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!