Hampir tengah malam Sadnya kembali ketendanya. Setibanya di tenda, Sadnya langsung tertidur pulas. Tak sempat lagi ia berganti pakaian. Golok Melasa Kepappang tergeletak sampingnya.
Menjelang dini hari, saat ayam hutan jantan berkokok, Sadnya bermimpi. Dalam mimpinya, Sadnya didatangi oleh sepasang bujang gadis berkebat pakaian putih. Keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. Si Bujang yang berbadan tegap dan tampan, mengaku bernama Arutala. Sedang Si Gadis yang berwajah rupawan bernama Leena. Yang mengherankan, keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis.
"Sadnya. Aku bernama Arutala. Kekasihku ini bernama Leena. Kami berdua adalah ruh penghuni Golok Melasa Kepappang yang kini kau miliki"
"Apa maksud kalian berdua datang padaku?"
"Kami mohon kau bisa membantu kami Sadnya."
"Aku? Aku tak kenal siapa kalian berdua? Terus kenapa aku harus membantu kalian berdua?"
"Sadnya. Jika kau tak mau menolong kami, kami akan selalu jadi arwah penasaran yang menghuni golok haus darag ini. Ruh kami tak akan bisa sampai ke nirwana sebelum dendam kali lunas terbalas."
"Apa pentingnya untuk aku?"
"Sadnya. Sebelum dendam kami terbalas. Kami berdua akan selalu jadi ruh penasaran yang haus darah. Kami tak menghendaki itu. Tapi selama orang yang menumbalkan kami belum mati, maka kami akan terus membuat Golok Melasa Kepappang ini meminta korban. Kami berdua tak bisa mengendalikan kekuatan membunuhnya."
"Kenapa tak orang lain saja yang kalian minta tolong? Aku bukan seorang pembunuh yang haus darah. Lagipula, aku tak mengenal sama sekali orang menumbalkan kalian itu."
"Sadnya. Jika kau tak menolong kami, bahaya juga akan melanda Sriwijaya."
"Apa maksud kalian?"
"Orang yang menumbalkan kami berdua bernama Birsha yang berarti setan. Ia adalah seorang dukun sakti jahat yang mulanya tinggal di lereng Gunung Pesagi. Karena kekejamannya ia dijuluki Dewa Setan."
"Sebentar Arutala. Kenapa Dewa Setan menumbalkan kalian berdua?"
Mendengar pertanyaan Sadnya, kali ini Leena yang menjawab. Sesekali tangisnya terdengar.
"Kami ditumbalkan oleh Dewa Setan sebagai persembahan bagi dewa yang ia sembah. Kami disembelih di atas Batu Kepappang pada malam purnama di sebuah dusun bernama Kanali. Sebuah dusun kecil di lereng Pesagi. Selain itu, Dewa Setan juga memerlukan darah kami untuk dibasuhkan pada Golok Melasa Kepappang yang jadi rumah kami sekarang Sadnya. Dengan demikian, racun pada Golok Melasa Kepappang jadi makin mematikan."
"Aku mengerti sekarang," kata Sadnya sambil mengangguk-anggukan kepala. Tapi masih ada beberapa pertanyaan mengganjal dikepalanya. Ia kembali menanyakan pada Arutala.
"Lalu, siapa sebenarnya Dewa Setan itu Arutala?"
"Dewa Setan sebenarnya berasal dari daratan Hindustan Sadnya. Sebuah negeri jauh yang kami sendiri tak mengenalnya. Ia bersama kakaknya, La Laula datang ke lereng Gunung Pesagi pada Abad Ketiga Masehi. Mereka kemudian tiba di lereng Gunung Pesagi yang banyak ditumbuhi tumbuhan sekala. Saat itu di lereng Gunung Pesagi telah tinggal terlebih dulu Suku Tumi. Kemudian terjadi perselisihan antara La Laula, Dewa Setan, dan Suku Tumi. La Laula dan Dewa Setan berhasil mengalahkan Suku Tumi. Tapi karena watak serakah Dewa Setan, persaudaraannya dengan La Laula jadi hancur."
"Lalu?"
"Kedua bersaudara itu akhirnya bertarung. Lewat pertarungan sengit akhirnya La Laula bisa mengalahkan Dewa Setan dan menjadi Datu Sekala Bghak pertama."
"Arutala, katamu tadi Dewa Setan sangat sakti. Tentu La Laula lebih sakti lagi sehingga bisa mengalahkan Dewa Setan."
"Kau benar Sadnya. Di pertarungan pamungkas, keduanya mengeluarkan ilmu kesaktian andalan masing-masing. Dewa Setan menggunakan Golok Melasa Kepappang dan Ilmu Seribu Wajah Setan. Sedangkan La Laula mengeluarkan Ilmu Nawasena."
"Kau tahu tentang ilmu-ilmu itu Arutala?"
"Aku tahu sedikit. Dewa Setan menguasai ilmu Seribu Wajah Setan tingkat kesembilan dari sepuluh tingkat. Pada tingkat kesembilan ini, ia bisa membelah dirinya menjadi sembilan. Jika esok pada kemunculannya lagi dan ia berhasil menumbalkan sepasang bujang gadis, maka ia akan menguasai tingkat kesepuluh. Ia akan berubah jadi raksasa. Tidak itu saja, Dewa Setan juga akan mampu membelah ruhnya menjadi sepuluh dan salah satunya akan mampu merasuki tubuh salah satu keturunannya."
"Mengerikan!"
"Kulanjutkan kembali ceritaku Sadnya."
Sadnya mengangguk, mengiyakan ucapan Arutala.
"La Laula bisa mengalahkan Dewa Setan dengan Ilmu Nawasena. Dengan ilmu itu, La Laula berhasil mengasingkan Dewa Setan ke sebuah tempat tersembunyi di dunia lain. Sedangkan Golok Melasa Kepappang hilang tak tentu rimbanya. Tapi semua belum usai," ketika menyelesaikan kalimat terakhir, paras wajah Arutala berubah makin tegang. Sadnya merasakan keanehan itu. Ia kembali memburu Arutala dengan pertanyaan.
"Arutala, kenapa kau bilang semua belum berakhir?"
Arutala menarik nafas dulu, baru melanjutkan ceritanya.
"Dari pengasingan Dewa Setan bersumpah. Ia akan bangkit dan membuat onar di bumi setiap dua ratus tahun sekali. Kebangkitannya di Abad Lima Masehi menimbulkan bencana besar. Gempa besar melanda Swardwipa. Tanah-tanah pecah dan banyak dusun amblas lalu hilang bersama seluruh penghuninya. Paceklik dan penyakit mewabah. Kemiskinan terjadi di mana-mana. Akibatnya,kejahatan merajalela. Piciknya, dalam kondisi yang semrawut dan liar begitu, Dewa Setan malah mengambil kesempatan. Ia membangun kekuatan dan menyatukan para bandit dan bajak laut untuk merebut kekuasaan Kedatuan Sekala Bghak dari anak cucu Wangsa La Laula."
Arutala menghentikan ceritanya. Ia menyempatkan diri menenangkan Leena yang menangis disampingnya. Ketika tangis Leena mereda, Arutala kembali bercerita.
"Usaha Dewa Setan merebut kekuasaan gagal. Datu Sekala Bghak masa itu berhasil mengusir Dewa Setan kembali ke pengasingan. Sayangnya, Kitab Pesagi dan Kitab Guru Ganesa juga raib. Aku sendiri tak tahu apa penyebabnya. Sadnya, karena itulah aku gelisah. Sebab, kini sudah hampir genap dua ratus tahun dari Abad Kelima. Ini adalah saat-saat kebangkitan Dewa Setan. Jika Dewa Setan bangkit kembali, tak seorangpun bisa mencegah kemungkaran yang terjadi."
"Arutala, aku masih belum percaya sepenuhnya dengan ceritamu. Terutama hubungannya denganku?"
"Baiklah, akan kujelaskan padamu. Sadnya, kau kenal Rajaputra Aruna?"
"Aku kenal ia Arutala."
"Dewa Setan selalu bangkit melalui perantara keturunan wangsanya yang masih hidup. Rajaputra Aruna merupakan keturunan Wangsa Dewa Setan."
"Demi Sang Hyang Adi Buddha!"
"Pada kebangkitannya nanti, Dewa Setan akan merasuk dalam raga Rajaputra Aruna. Anak Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa itu akan dikendalikan Dewa Setan. Pikiranku mengatakan, kebangkitan Dewa Setan ini akan mengganggu dua Kedatuan sekaligus. Sriwijaya dan Sekala Bghak?"
"Mengapa bisa begitu Arutala?"
"Sederhana saja Sadnya. Dewa Setan dan Rajaputra Aruna, masing-masing punya kehendak berbeda. Dewa Setan menghendaki takhta Sekala Bghak, sedangkan Rajaputra Aruna menginginkan Kedatuan Sriwijaya. Maka akibat kebangkitan Dewa Setan kali ini akan lebih mengerikan dibanding kebangkitannya dua ratus tahun lalu."
"Adakah cara untuk mengalahkannya Arutala?"
"Ada Sadnya. Walaupun itu nyaris tak mungkin!"
Sadnya tercekat mendengar jawaban Arutala. Dewa Setan dalam cerita Arutala seperti monster yang tak mungkin dikalahkan. Tapi ia tak mau berandai-andai. Ia yakin pasti ada seseorang yang punya cara untuk mengalahkan Dewa Setan. Keyakinan itu mendorong Sadnya bertanya pada Arutala.
"Bagaimana caranya Arutala?"
"Hanya tiga hal yang dapat mengalahkan Birsha. Syaratnya, ketiganya harus bersatu."
"Arutala, apakah tiga hal itu?"
"Sadnya. Ketiga hal itu adalah seorang pemuda yang bisa mengendalikan Golok Melasa Kepappang, Kitab Pesagi, dan Kitab Guru Ganesha."
"Aku makin bingung Arutala?"
"Sejak awal kau bertarung dengan Balin, aku dan Leena merasakan kuatnya energi dan ketulusanmu. Ketika Golok Melasa Kepappang beradu dengan pedangmu, kami bisa merasakannya. Sebenarnya, kami mudah saja mengalahkanmu dalam satu jurus. Tapi kami berdua tak mau melakukannya."
"Arutala, jika benar begitu, kenapa aku bisa mengalahkan Balin?"
"Kami berdua menyedot seluruh energi Balin hingga ia kehabisan tenaga."
"Aku paham. Lalu, apapula Kitab Guru Ganesa itu Arutala?"
"Sadnya. Suatu hari aku dan Leena akan cerita padamu mengenai Kitab Guru Ganesa."
"Arutala...! Tunggu...!" Sadnya memanggil Arutala dan Leena yang tiba-tiba menghilang. Menyisakan sepotong cerita misterius bernama Kitab Guru Ganesa.
Sekarang, apa yang harus Sadnya lakukan? Baru saja dia menerima Golok ini, tetapi sudah ada begitu banyak hal yang harus dikerjakan. Lalu, bagaimana dia membantu Arutala dan Leena jika informasi yang dia terima hanya sepotong saja?
Sebenarnya, waktu Sadnya lebih banyak dihabiskan dengan bersantai di tendanya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena Mukha Upang telah ditaklukan. Oleh sebab itu, dia hanya tidur dan berputar-putar di sekitar perkemahan saja. Pertemuannya dengan Ruh Arutala dan Leena seakan membangkitkan gairah hidupnya. Namun, itu tidak bertahan lama karena Sadnya akhirnya menyerah untuk mencari jawaban mimpinya. Namun, sejak saat itu, dari hanya mengelilingi perkemahan, Sadnya memutuskan untuk pergi berkeliling Mukha Upang. Ia pergi sendiri, tanpa siapapun menemaninya. Mukha Upang pada Abad Tujuh Masehi, adalah kota yang dibangun sebagian besar di atas rawa-rawa yang dikeringkan. Apabila dilihat sekilas, Mukha Upang adalah sebuah kota yang semrawut. Hampir seluruh rumah di Mukha Upang mengapung di sepanjang tepi aliran Sungai Musi. Rumah-rumah itu sengaja dibuat terapung agar bisa menyesuaikan diri dengan pasang surut air sungai. Dengan begitu rumah-rumah apung itu tak akan tenggelam atau hanyut
"Senapati, aku berasal dari Bintan. Salah satu pulau di antara beribu pula di Selat Malaka. Aku yakin kau belum pernah ke sana. Aku adalah anak dari Suku Laut. Kami, Suku Laut, adalah penguasa laut sesungguhnya. Kami orang-orang merdeka yang selalu dipersekutu oleh Datu-Datu dari Melayu, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Bahkan panglima perang dan pedagang dari negeri jauh seperti India dan Tiongkok juga mempersekutu kami. Mereka sadar apa yang akan terjadi jika menganggap kami angin lalu. Kami hapal setiap teluk dan tanjung di sepanjang Pantai Timur Swarnadwipa beserta hantu dan peri penunggunya." Rampog benar. Leluhur sukunya, suku laut adalah orang-orang pemberani penguasa lautan. Desas-desus mengatakan bahwa leluhur mereka adalah sisa dari orang-orang purba yang telah hidup di dunia sejak tiga ribu dua ratus sebelum Sadnya dilahirkan. Sekitar tahun dua ribu lima ratus sebelum Masehi. Walaupun pengetahuan Sadnya belum sejauh itu, ia yakin bahwa leluhur Rampog digjaya di samudera. Setah
Di sisi lain ....Pada siang hari, kesibukan tengah terjadi di sebuah tempat rahasia di Gunung Batu. Daerah yang terletak agak jauh dari Minanga Tamwan itu tampak menggeliat dalam beberapa hari terakhir. Ratusan laki-laki hilir mudik membawa tombak dan pedang. Tanah lapang di tengah perkampungan prajurit ramai oleh prajurit yang berlatih. "Trang...! Trang...!" Suara tombak dan pedang yang beradu, makin membuat hari semakin panas. Semua prajurit tampak tak mengenakan pakaian bagian atas. Memamerkan otot-otot yang kekar dan menonjol keluar. Peluh mengalir deras di dada dan punggung mereka. Berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Tidak hanya berlatih silat, mereka juga berlatih membentuk formasi tempur. Formasi bertahan atau menyerang. Formasi tempur yang terus menerus mereka latih dengan disiplin adalah cakrabyuha. Cakrabyuha merupakan salah satu bentuk formasi tempur yang berasal dari formasi tempur India kuno. Cakrabyuha bermakna formasi lingkaran dan pertama kali dipelajari dari K
Persiapan pemberontakan Rajaputra Aruna sudah disusun sejak jauh hari. Itu terbukti oleh kekuatan tempur yang dibangun. Hidup Rajaputra Aruna yang terbiasa melanglang buana membuatnya memiliki banyak teman dan jaringan. Apalagi dengan status sebagai anak Datu Sriwijaya, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Semua orang dari berbagai lapisan sudah tentu ingin dekat dengan anak Selir Laksita itu. Sayangnya, kesempatan luas itu malah membuat Rajaputra Aruna keliru menempuh jalan hidup. Jalan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Budha. Perilaku tak senonoh Rajaputra Aruna makin menjadi. Ditambah dengan rasa iri terhadap Putra Mahkota Sriwijaya, Pangeran Indrawarman. Rasa iri Rajaputra Aruna terhadap Pangeran Indrawarman, melahirkan sikap antipati terhadap ayah dan saudara laki-lakinya itu. Sampai suatu saat, Rajaputra Aruna berniat merebut kekuasaan dari Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Niat jahat yang mendorong Rajaputra Aruna membangun kekuatan militer dan menghimpun pendekar-pendekar al
Keheningan menjalari suasana Kutaraja Minanga Tamwan malam itu. Hanya regu-regu prajurit jaga yang terlihat berjalan hilir mudik di jalan-jalannya. Di kejauhan, sesekali lolongan anjing hutan terdengar parau.Waktu sudah merambat ke tengah malam. Dari sudut kutaraja yang gelap, sesosok bayangan manusia berjalan cepat. Ia terlihat mengendap menghindari mata regu-regu prajurit jaga. Dari langkah kakinya yang ringan, terlihat bahwa ia bukan penduduk kebanyakan.Sosok manusia itu dengan cepat bisa mencapai jantung Kutaraja Minanga Tamwan. Ia langsung menuju Istana Kedatuan Sriwijaya. Sampai di depan gerbang istana, ia bersembunyi. Lalu masuk dengan cepat saat regu prajurit jaga lengah. Istana utama, tempat tinggal Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang ditujunya.Belum lagi sosok manusia misterius itu tiba di depan pintu istana utama, suara seorang laki-laki telah menegurnya dari dalam."Kaukah itu Pada?""Amba Pangeran.""Lekas masuk Pada. Tak boleh ada seorangpun yang melihatmu masuk.""Am
"Ananda Pangeran Indrawarman, yang dikatakan Bhiksu Dharmapala itu benar adanya. Ananda adalah tumpuan harapan seluruh penduduk Kutaraja Minanga Tamwan dan Sriwijaya saat ini," pemilik suara itu melanjutkan kalimatnya. Ia ternyata Permaisuri Sobakencana.Melihat kedatangan Permaisuri Sobakencana, Pangeran Indrawarman dan Bhiksu Dharmapala langsung duduk di lantai dan menyembah padanya."Bangunlah kalian berdua," ujar Permaisuri Sobakencana pada keduanya. Perempuan paruh baya itu lalu duduk di kursi kosong yang terletak di sebelah kiri kursi Pangeran Indrawarman.Pangeran Indrawarman lalu menyambut kedatangan Permaisuri Sobakencana."Ibu Ratu, kenapa Ibu Ratu belum tidur di malam selarut ini?", tanya Pangeran Indrawarman pada Permaisuri Sobakencana, ibunya yang biasa ia panggil Ibu Ratu. Ia heran, karena tak seperti biasa, Permaisuri Sobakencana belum masuk ke kamar tidur. Padahal malam sudah cukup larut. Permaisuri Sobakencana cepat menjawab pertanyaan Pangeran Indrawarman. Ia maklum a
Suasana pelabuhan Mukha Upang cukup tenang sore itu. Sesekali kesibukan terlihat dari bongkar muat di dermaga yang dilakukan oleh kapal-kapal dagang. Baik kapal dagang milik pedagang lokal ataupun asing.Tenangnya aktivitas pelabuhan Mukha Upang, sama sekali tak menunjukkan jika beberapa hari lalu telah terjadi pertempuran besar antara pasukan Srwijaya melawan pasukan Mukha Upang. Di bandar yang kelak tercatat dalam sejarah sebagai Kutaraja Kedatuan Sriwijaya itu, semua berlangsung normal.Menjelang hari gelap, sebuah kapal kayu berukuran sedang mendarat di dermaga pelabuhan Mukha Upang. Kesebelas penumpangnya terlihat lelah. Terlihat jelas mereka semua mengantuk. Tapi semua lelah dan kantuk itu seperti tak dirasakan oleh mereka. Kesebelas orang tersebut adalah Pada dan sepuluh orang prajurit Sriwijaya yang ditugaskan mengawal Pada oleh Pangeran Indrawarman.Setelah berkemas, mereka semua lalu menemui syahbandar pelabuhan. Lalu bergegas menuju ke perkembangan Sang Dapunta Hyang Sri Ja
Pada sudah keluar dari tenda Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ia langsung menyusul Senapati Utama Sadnya. Tak lama kemudian, senapati madya yang baru saja mendapat gelar Pendekar Golok Melasa Kepappang itu berhasil ia dapatkan.Saat itu Sadnya tengah bercakap-cakap dengan seorang laki-laki paruh baya yang berwajah seram dengan rajah yang memenuhi tubuhnya. Laki-laki itu adalah Rampog. Teman baru Sadnya.Mereka berdua tampak sedang melakukan obrolan serius. Pada belum berani menegur keduanya."Rampog! Bisa tak bisa kau harus kumpulkan sisa anak buahmu yang ada malam ini juga!""Alangkah mendadaknya Senapati!""Aku hanya jalankan perintah Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa Rampog!""Ah...penguasa selalu saja sesuka hati kalo beri perintah!" rutuk Rampog."Rampog! Setidaknya kau bantu aku!""Ya...ya... Senapati! Baiklah! Kalau bukan karena kau, tak akan aku patuhi perintah siapapun!""Sudahlah jangan mengomel terus! Segeralah pergi kumpulkan anak buahmu! Aku perlu seratus lima puluh orang m
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!