Kekuatan utama Balin ada di Golok Melasa Kepappang, Sadnya menyadarinya. Golok itu mengandung racun yang mampu membunuh manusia dalam waktu singkat. Tak sampai sehela nafas! Dalam pertempuran di Mukha Upang ini, Sadnya sudah melihat sendiri kebuasan Golok Belasa Kepampang.
Dengan golok pusaka itu, Balin berhasil membunuh puluhan prajurit. Begitu kulit mereka tergores Golok Belasa Kepampang, mereka lalu kejang-kejang, muntah darah, dan tewas dengan mulut berbusa!Bergidik tubuh Sadnya melihat korban-korban keganasan Golok Melasa Kepappang.Golok Melasa Kepappang kebanggaan Balin memang bukan pusaka sembarangan. Golok Melasa Kepappang diwariskan turun temurun oleh moyang Balin yang berasal dari Kerajaan Sekala Bghak. Sebuah kerajaan tua yang merupakan muasal pohon bertuah, Melasa Kepappang.Pohon Melasa Kepappang merupakan sebuah pohon bercabang dua. Kedua cabang itu memiliki perbedaan yang aneh. Satu cabang adalah nangka dan satunya lagi merupakan kayu sebukau.Kayu sebukau merupakan sejenis kayu bergetah. Keistimewaan yang dimiliki cabang kayu sebukau akan bisa menimbulkan penyakit koreng atau penyakit lain. Jika racun getah kayu sebukau itu dioleskan pada sebuah senjata, asalkan diiringi ritual tertentu, maka senjata itu akan jadi senjata pusaka yang mematikan.Penawar racun getah kayu kayu sebukau hanyalah getah dari kayu nangka. Cabang lain dari pohon Melasa Kepappang. Karena keanehan ini, maka pohon Melasa Kepappang diagungkan dan dijadikan salah satu dewa oleh Suku Tumi.[1]Racun yang ada pada Golok Melasa Kepappang, merupakan racun yang diambil dari getah kayu sebukau. Penempatan racun getah sebukau pada Golok Melasa Kepappang melalui ritual mengorbankan sepasang bujang gadis di Batu Kepappang[2]. Sebuah batu yang dijadikan alas bagi ritual penyembelihan tumbal bagi dewa-dewa suku Tumi.Darah dan nyawa mereka dipersembahkan kepada dewa-dewa agar racun getah sebukau bisa diserap senjata pusaka yang dibuat. Dari sekian banyak usaha membuat senjata pusaka tersebut, hanya pembuatan Golok Melassa Kepappang yang berhasil.Kita kembali ke pertarungan Sadnya dan Balin.Sadnya menggeser badannya dua langkah ke kanan. Ia berhasil menghindari tebasan Golok Melasa Kepappang. Sadnya harus cepat menyelesaikan pertarungan ini. Jika tidak, tenaganya akan terkuras habis dan gerakannya jadi lamban. Kondisi itu memungkinkan Balin punya kesempatan membenamkan racun ganas Golok Melasa Kepappang dalam aliran darahnya.Kini giliran Sadnya menyerang balik Balin.Pedang buntung di tangannya terangkat sampai di atas ubun-ubun. Ia siap menebaskan pedang itu ke leher Balin. Ia menunggu Balin terhuyung dan lengah satu detik ke depan. Tapi Balin bukan anak kemarin sore. Setelah serangan pertama hanya mengenai angin, ia langsung menyerang kembali. Seperti kilat, ia sudah membangun kuda-kuda dan langsung menyerang Sadnya."Wuussss....!" suara golok Balin menimbulkan kesiur angin. Teriakan keras Balin mengikuti tebasan goloknya, "Mampus kau senapati ingusan!""Trang...!" suara dua senjata beradu keras terdengar. Sadnya menangkis serangan Balin sambil melompat mundur. Ia sama sekali tak menduga Balin dengan cepat menyerang kembali. Hampir saja ujung Golok Melasa Kepappang menggores pelipisnya. Untung saja dengan kecepatannya, Sadnya masih bisa menangkis serangan Balin."Tahu rasa kau! Hahaha...!" teriak Balin."Sebentar lagi racun Golok Melasa Kepappang ini akan mengantarmu ke Neraka!" gertak Balin pada Sadnya sambil tertawa.Sadnya berang bukan kepalang. Sambil menyeka keringat di dahinya, Sadnya membenahi posisi. Matanya melotot menatap setiap gerakan Balin."Boleh juga monyet tua ini," gumam Sadnya pelan.Sadnya menggeser posisi ke kiri. Ia menghendaki posisi Balin membelakangi rawa-rawa di sebelah kanannya. Dengan begitu posisi Balin lebih dekat dengan genangan air. Tanah di sekitarnya tak mungkin baik dijadikan pijakan karena licin. Jika tidak pada serangan pertama, pada serangan kedua Sadnya yakin bakal mengirim Balin ke neraka.Balin masih kegirangan karena berhasil membuat Sadnya jerih. Ia lengah. Sebelum Balin menyadari, Sadnya telah merangsek menyerang. Balin yang menerima serangan tiba-tiba, tak sempat membenahi posisi. Ketika Balin sadar, semua sudah terlambat. Pedang Sadnya telah memecahkan batok kepalanya."Aggh...!" jeritan pendek keluar dari mulut tumenggung tua itu. Seketika darah muncrat dari kepalanya yang terbelah dua dari ubun-ubun hingga hidung bagian atas. Tubuh Balin roboh dalam posisi duduk. Lalu jatuh bergedebuk ke tanah. Tak bangun lagi. Sadnya masih berdiri satu Depa di depan tubuh Balin.Setelah dirasa Balin benar-benar tewas, Sadnya baru mendekati tubuh Balin. Ditendangnya Golok Melasa Kepappang yang masih digenggam Balin. Sadnya lantas memungut dan mengambil sarung Golok Melasa Kepappang dari pinggang Balin. Pertama kali memegang Golok Melasa Kepappang, Sadnya merasakan suatu keanehan terjadi.Sebuah tenaga sangat besar menarik ruh Sadnya masuk ke dalam Golok Melasa Kepappang. Hampir saja roh Sadnya tertarik masuk ke dalam Golok Melasa Kepappang. Baru setelah Sadnya berkonsentrasi dan menenangkan pikiran sebentar, tenaga besar yang menarik rohnya itu berangsur menghilang. Kini Golok Melasa Kepappang telah jadi ia kuasai sepenuhnya.Tewasnya Balin yang merupakan Tumenggung Mukha Upang menyebabkan sisa-sisa prajurit Mukha Upang yang masih melawan otomatis menyerah. Mereka kemudian melemparkan senjata ke tanah dan mengangkat tangan. Sementara, sorak sorai kemenangan yang dipekikkan oleh prajurit Dapunta Hyang makin ramai."Hidup Sadnya! Hidup Sadnya!", kerumunan prajurit hiruk mengelu-elukan Sadnya.Mendengar teriakan itu, Sadnya mengangkat tangan kanannya yang memegang Golok Melasa Kepappang. Seluruh prajurit Sriwijaya yang melihatnya sontak diam. Sadnya lalu menurunkan tangan."Prajurit Sriwijaya yang gagah perkasa! Tumenggung Mukha Upang telah kubunuh! Kemenangan ada di tangan Sriwijaya yang agung! Hidup Sriwijaya! Hidup Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa!""Hidup Sriwijaya!""Hidup Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa!""Hidup Sadnya!"Sadnya kembali mengangkat tangannya. Lalu berkata."Pertempuran hari ini telah usai! Aku minta, rawat baik-baik mayat Tumenggung Balin! Juga perlakukan seluruh prajurit Mukha Upang dengan baik!""Siap Senapati!" perintah Sadnya dipatuhi oleh seluruh prajurit Sriwijaya. Mereka bubar dari kerumunan. Melakukan apa yang diperintahkan senapatinya. Sadnya sendiri berjalan mendekati Senapati Utama Buntala. Keadaan senapati tua Sriwijaya itu kini sudah lebih baik setelah beristirahat sebentar.Setelah Sadnya sampai di hadapan Senapati Utama Buntala, Sadnya langsung menyembah. Rebah ke tanah. Lalu terdengar Senapati Utama Bunta berbicara."Sadnya! Anak harimau! Seharusnya kau tak selamatkan aku tadi. Bagi seorang prajurit, mati dalam pertempuran adalah kemuliaan. Sedangkan sekarang aku berdiri dengan rasa malu!"Mendengar kalimat Buntala, Sadnya segara menjawabnya."Ampuni hamba. Bukan hamba bermaksud membuat malu Senapati. Tapi hamba rasa, Sriwijaya masih sangat memerlukan Senapati," ujar Sadnya seolah ia tak sedang berhadapan dengan seorang senapati utama Sriwijaya yang paling disegani."Anak Harimau. Kau bukan saja buat aku malu hari ini. Tapi juga membuatku berhutang nyawa padamu."Sadnya terdiam. Tak ada jawaban dari mulutnya. Buntala kembali meneruskan kalimatnya."Bangunlah Anak Harimau""Hamba Senapati."Sadnya lalu bangun. Saat ia berdiri tegak, Buntala telah berdiri di depannya. Buntala lantas tanpa sungkan memeluk Sadnya. Seperti seorang ayah memeluk anak sendiri."Anak Harimau, tak percuma aku menemukanmu beberapa tahun yang lalu. Kau anak yang mengerti bakti. Dengan kemampuan seperti tadi, aku yakin bukan hanya Balin yang bisa kau kalahkan. Apalagi bersama Golok Melasa Kepappang yang miliki kini. Ke depan, pasti akan lebih banyak prajurit dan pendekar hebat yang akan kau kalahkan!" puji Buntala pada Sadnya."Hamba Senapati," jawab Sadnya takzim. Jauh di dalam hatinya, Sadnya risau. Hati dan pikirannya selalu diganggu oleh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Tak mungkin ia terlahir dari seekor harimau. Lalu, siapakah orang tua kandung yang melahirkannya?Catatan:[1] Suku Tumi adalah sebuah suku purba yang hidup di lereng Gunung Pesagi, Lampung Barat. Beberapa sumber mengatakan bernama suku Tumi suku Tumi kemungkinan berasal dari India Selatan dan merupakan bagian dari etnis Tamil.[2] Batu Kepapang salah satu peninggalan dari peradaban Sekala Bghak kuno. Batu tersebut berfungsi untuk memenggal leher bujang dan gadis atau orang yang melakukan kesalahan untuk dipersembahkan kepada leluhur mereka. Situs Batu Kepappang terletak di Pekon (desa) Kenali, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.Senapati Utama Buntala telah kembali ke kemahnya. Ia perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga setelah pertarungan tadi.Setelah Buntala pergi, Sadnya memilih beristirahat di bawah pohon tembesu yang rindang. Beberapa orang prajurit menemaninya.Sambil beristirahat, Sandya ingat, hari ini adalah tanggal tujuh Jesta.Hari ini tepat 27 hari setelah berangkat dari Kutaraja Sriwijaya, Minanga Tamwan, yang terletak di Sungai Komering.Sadnya adalah salah satu dari 20.000 prajurit yang ikut dalam rombongan bala tentara yang mengawal Dapunta Hyang melalui jalur sungai. Selain itu, 1312 prajurit berjalan kaki mengiringi di sepanjang Sungai Komering hingga Sungai Musi.Tujuan perjalanan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah melakukan siddhayatra atau perjalanan suci. Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa melakukannya setelah mendapat firasat baik.Di sisi lain, perjalanan besar ini akan merebut Mukha Upang dari tangan Tumenggung Balin. Jika semua rencana itu lancar, maka kehendak Sang Dapunta Hyang
Sepeninggal Sadnya, suasana tenda Sang Dapunta Hyang kembali sunyi. Sang Dapunta Hyang terlihat meneguk air minum dari sebuah cangkir Tiongkok yang terletak di sebelah kursi yang ia duduki. Senapati Utama Buntala yang duduk di hadapannya sama sekali tak bergeser.Di awal kemunculannya, asal usul lelaki bertubuh tinggi tegap dengan wajah tampan itu seperti misteri. Misteri yang tidak bisa dijawab hingga hari ini. Sampai akhir hayat, rakyat Sriwijaya percaya sepenuhnya bahwa Datu pertama Sriwijaya itu merupakan titisan Sang Hyang Adi Buddha.Rakyat Sriwijaya mengenal Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai seorang sakti yang mampu menguasai ilmu alam, bahasa hewan, dan perubahan cuaca. Datu pendiri Kedatuan Sriwijaya itu juga dikenal memiliki sifat arif. Karena kesaktian dan sifatnya itu, semua rakyat Sriwijaya mempercayai jika Sang Dapunta Hyang adalah titisan Sang Hyang Adi Buddha.Kesaktian dan sifat welas Sang Dapunta Hyang makin lengkap dengan kehadiran Putri Sobakencana sebagai pe
Abad ke-7 Masehi. Minanga Tamwan merupakan sebuah kota yang sibuk, tertib, dan bersih. Letak di pinggir Sungai Komering, menyebabkan Minanga Tamwan dilayari kapal-kapal berukuran sedang dan kecil. Selain menjadi transportasi manusia, kapal-kapal tersebut juga mengangkut hasil hutan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Di antara sekian banyak kapal itu terlihat satu dua kapal-kapal dagang asing yang berasal dari India dan Tiongkok.Hampir semua kapal asing itu mengangkut pinang. Pinang memang menjadi salah satu komoditi perdagangan penting dunia saat itu. Beberapa kapal dan perahu juga mengangkut damar, gaharu, gading gajah, emas, dan lainnya.Pinang yang diperjualbelikan kebanyakan berasal dari daerah sepanjang sungai Komering dan anak-anak sungainya. Banyak juga yang didatangkan dari daerah Danau Ranau yang diangkut melalui Sungai Selabung.Waktu memasuki seperempat malam. Saat itu, di pinggir Minanga Tamwan, dua sosok tubuh manusia berjalan di antara rumah-rumah panggung. Keduanya tamp
Bagi Rajaputra Aruna, persekutuannya dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik belaka. Rajaputra memerlukan Balin sebagai sekutu hanya untuk meruntuhkan ayahnya semata. Tak lebih. Jika ayahnya berhasil diruntuhkan, maka sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna cukup liar. Ia tak lagi peduli posisinya sebagai seorang anak Datu Sriwijaya.Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna itu. Ia juga harus memanfaatkan situasi dan mendapatkan keuntungan besar untuk dirinya sendiri. Maka, saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan untuk memberontak nanti, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna semakin gembira dengan semua ucapannya."Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya pada Sarpa dengan mimik serius."Amba Tuanku. Semua berjalan sesuai rencana.""Bag
Hampir tengah malam Sadnya kembali ketendanya. Setibanya di tenda, Sadnya langsung tertidur pulas. Tak sempat lagi ia berganti pakaian. Golok Melasa Kepappang tergeletak sampingnya. Menjelang dini hari, saat ayam hutan jantan berkokok, Sadnya bermimpi. Dalam mimpinya, Sadnya didatangi oleh sepasang bujang gadis berkebat pakaian putih. Keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. Si Bujang yang berbadan tegap dan tampan, mengaku bernama Arutala. Sedang Si Gadis yang berwajah rupawan bernama Leena. Yang mengherankan, keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. "Sadnya. Aku bernama Arutala. Kekasihku ini bernama Leena. Kami berdua adalah ruh penghuni Golok Melasa Kepappang yang kini kau miliki" "Apa maksud kalian berdua datang padaku?" "Kami mohon kau bisa membantu kami Sadnya." "Aku? Aku tak kenal siapa kalian berdua? Terus kenapa aku harus membantu kalian berdua?" "Sadnya. Jika kau tak mau menolong kami, kami akan selalu jadi arwah penasaran yang menghuni golok haus darag ini. Ruh
Sebenarnya, waktu Sadnya lebih banyak dihabiskan dengan bersantai di tendanya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena Mukha Upang telah ditaklukan. Oleh sebab itu, dia hanya tidur dan berputar-putar di sekitar perkemahan saja. Pertemuannya dengan Ruh Arutala dan Leena seakan membangkitkan gairah hidupnya. Namun, itu tidak bertahan lama karena Sadnya akhirnya menyerah untuk mencari jawaban mimpinya. Namun, sejak saat itu, dari hanya mengelilingi perkemahan, Sadnya memutuskan untuk pergi berkeliling Mukha Upang. Ia pergi sendiri, tanpa siapapun menemaninya. Mukha Upang pada Abad Tujuh Masehi, adalah kota yang dibangun sebagian besar di atas rawa-rawa yang dikeringkan. Apabila dilihat sekilas, Mukha Upang adalah sebuah kota yang semrawut. Hampir seluruh rumah di Mukha Upang mengapung di sepanjang tepi aliran Sungai Musi. Rumah-rumah itu sengaja dibuat terapung agar bisa menyesuaikan diri dengan pasang surut air sungai. Dengan begitu rumah-rumah apung itu tak akan tenggelam atau hanyut
"Senapati, aku berasal dari Bintan. Salah satu pulau di antara beribu pula di Selat Malaka. Aku yakin kau belum pernah ke sana. Aku adalah anak dari Suku Laut. Kami, Suku Laut, adalah penguasa laut sesungguhnya. Kami orang-orang merdeka yang selalu dipersekutu oleh Datu-Datu dari Melayu, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Bahkan panglima perang dan pedagang dari negeri jauh seperti India dan Tiongkok juga mempersekutu kami. Mereka sadar apa yang akan terjadi jika menganggap kami angin lalu. Kami hapal setiap teluk dan tanjung di sepanjang Pantai Timur Swarnadwipa beserta hantu dan peri penunggunya." Rampog benar. Leluhur sukunya, suku laut adalah orang-orang pemberani penguasa lautan. Desas-desus mengatakan bahwa leluhur mereka adalah sisa dari orang-orang purba yang telah hidup di dunia sejak tiga ribu dua ratus sebelum Sadnya dilahirkan. Sekitar tahun dua ribu lima ratus sebelum Masehi. Walaupun pengetahuan Sadnya belum sejauh itu, ia yakin bahwa leluhur Rampog digjaya di samudera. Setah
Di sisi lain ....Pada siang hari, kesibukan tengah terjadi di sebuah tempat rahasia di Gunung Batu. Daerah yang terletak agak jauh dari Minanga Tamwan itu tampak menggeliat dalam beberapa hari terakhir. Ratusan laki-laki hilir mudik membawa tombak dan pedang. Tanah lapang di tengah perkampungan prajurit ramai oleh prajurit yang berlatih. "Trang...! Trang...!" Suara tombak dan pedang yang beradu, makin membuat hari semakin panas. Semua prajurit tampak tak mengenakan pakaian bagian atas. Memamerkan otot-otot yang kekar dan menonjol keluar. Peluh mengalir deras di dada dan punggung mereka. Berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Tidak hanya berlatih silat, mereka juga berlatih membentuk formasi tempur. Formasi bertahan atau menyerang. Formasi tempur yang terus menerus mereka latih dengan disiplin adalah cakrabyuha. Cakrabyuha merupakan salah satu bentuk formasi tempur yang berasal dari formasi tempur India kuno. Cakrabyuha bermakna formasi lingkaran dan pertama kali dipelajari dari K
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!