“Dasar penjahat keparat!” ucap si Kumbang Janti dengan masih mencengkeram kerah baju Antaguna.Lalu dia tertawa-tawa sementara Antaguna hanya bisa terkulai dalam cengkeraman tersebut.“Akhirnya!” lanjutnya. “Tiba juga saat di mana kau menerima karmamu, Antaguna. Kau pantas mati dengan lebih menyedihkan!”Si Kumbang Janti mengangkat tangan kirinya, lalu jari-jarinya membantuk cakar unik yang dikenal pasti oleh Antaguna sendiri.Cakar yang sama pernah membuatnya terluka cukup dalam, ketika Antaguna melawan Rajo Bungsu di Istana Minanga.Yah, Cakar Emas!Tapi Antaguna yang sedang sekarat dan kepayahan tidak bisa berbuat banyak.Crass!Si Kumbang Janti seolah melampiaskan semua kemarahan dan kekesalan terhadap Antaguna yang ia anggap masih sejahat yang ia tahu.Crass!Pertama, Cakar Emas itu melukai wajah kanan Antaguna dengan sangat parah. Lalu yang kedua, cakar si Kumbang Janti merobek rusuk kanan Antaguna.“Matilah dengan segala dosa yang kau pikul!” ucap si Kumbang Janti dengan sinis,
Satu sosok muncul di sana yang membuat Ratna, wanita 35 tahun itu menjadi tercekat, dan semakin pucat pasi, bahkan untuk sekadar menelan ludah saja ia tidak mampu.Perubahan wajah wanita itu cukup disadari oleh Puti Bungo Satangkai, lagi pula, pendengarannya telah menangkap kelebat sesuatu yang mendekati mereka.“Bungo?” ujar seseorang tersebut.Sang gadis mengernyit. Bagaimana mungkin dia bisa sampai ke sini? Pikirnya. Rajo Bungsu kah yang telah memberitahukan kepadanya tentang di mana aku?“Oh, Dewata …” sosok yang tak lain adalah si Kumbang Janti tersenyum lebar, menunjukkan wajah yang begitu bergembira. “Ternyata benar engkau, Bungo.”‘Apa yang engkau lakukan di sini?’Dan yah, Bungo seolah lupa bahwa si Kumbang Janti tidak begitu bisa membaca bahasa isyaratnya. Pria itu hanya menyeringai sembari menggaruk kepala saja.Sementara itu, Bungo sendiri kembali menemukan keterkejutan di wajah Ratna.Ratna merasa semakin terpojok meskipun gadis di hadapannya itu tidak mengatakan apa pun.
Puti Bungo Satangkai lantas membimbing Ratna untuk berdiri. ‘Ikutlah denganku,’ pintanya lagi dengan bahasa isyaratnya. ‘Aku akan mempertemukanmu dengan anak-anakmu.’ Akan tetapi, tatapan Ratna kembali tertuju pada si Kumbang Janti, dan Bungo menyadari hal ini. Begitu juga dengan si Kumbang Janti sendiri, sehingga dia berkata, ‘Engkau sedari tadi memerhatikanku. Adakah gerangan yang hendak kau katakan?” Ratna menggeleng dengan cepat dan wajah yang semakin pucat. ‘Hei!’ Bungo memegang lagi bahu sang wanita, mencoba tersenyum, dan meyakinkannya. ‘Jangan khawatir. Kami bukanlah orang-orang jahat. Dia juga, aku mengenalnya. Dia pria yang baik.’ Tidak ada pria baik yang tega membunuh seorang gadis yang sudah tidak berdaya! Jerit Ratna di dalam hati. Bungo lantas berpaling lagi pada si Kumbang Janti, dan kemudian menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa. Pria itu mendesah panjang, dan melirik pada Ratna, lalu berkata, “Apa yang dikatakan Bungo barusan kepadaku, Uni?” Si gadis bis
Sang wanita mendekati Antaguna, memeriksa pria tersebut lebih lanjut, dan memberikan dua tiga totokan lagi ke tubuh yang terbaring tak berdaya itu.“Tapi air juga bisa menjadi sarana penyembuhan …”Srett! Srett!Dalam sekali gerakan tangannya, dia telah membuat Antaguna yang tergolek menjadi bertelanjang di atas batu pualam besar dan pipih.Wanita itu, kemudian mengangkat Antaguna. Seperti tadi, tubuh pria tinggi besar dan berotot itu layaknya seonggok kapas saja baginya.Selangkah demi selangkah, dia membawa Antaguna memasuki kolam yang sangat dingin, hingga permukaan air kolam yang bergemiricik itu mencapai perutnya, sedikit di bawah buah dadanya.Dan dengan gerak perlahan ia melepaskan Antaguna, membiarkan pria tersebut perlahan-lahan tenggelam dalam keadaan terbujur lemah.Begitu wajah Antaguna akhirnya tenggelam, sang wanita mengangkat dua tangan, merentangkan tangannya ke samping dengan masing-masing jari mengembang. Lalu dia menengadah, seolah mengadu pada sang purnama dengan m
Saat mencapai titik di mana Puti Bungo Satangkai meninggalkan Sikumbang dan kuda coklatnya, sang gadis menemukan kedua kuda itu masih berada di sana.Si Kumbang Janti mengernyit ketika mendapati bahwa ada dua ekor kuda di sana. Itu artinya, Bungo datang dengan seseorang bersamanya.Lalu, di mana yang seorang lagi? Tanya di dalam hati.Kuda hitam pekat itu terlihat senang melihat sang gadis, dia mengangkat kepalanya, lalu menoleh ke sana kemari, seolah-olah sedang mencari tuannya.Bungo menghampiri Sikumbang, mengusap-usap lehernya. ‘Maafkan aku, Kumbang, tuanmu jatuh dari tebing, dan aku tidak sempat untuk mencarinya. Maafkan aku …’Seolah memahami apa yang sedang dipikirkan oleh sang gadis, kuda hitam itu meringkik halus sembari menengadah, seolah menangisi kepergian tuannya.Si kuda betina coklat menghampiri Sikumbang, lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke leher kuda jantan hitam tersebut, seakan-akan sedang memberikan dukungan atas kesedihan di kuda hitam.Bungo lantas berpaling pad
Antaguna mengernyit dalam ketidaksadarannya, lalu mata itu mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya terbuka. Dia mengerang pendek demi merasakan kesakitan di sekujur badannya. Saat mencoba untuk bangkit, dia tidak bisa melakukan itu sama sekali.Kepingan-kepingan peristiwa yang ia alami ketika terjatuh dan terguling-guling menuruni lereng timur Gunung Kerinci, kembali muncul dalam ingatannya. Hilang-timbul secara acak dan silih-berganti.Kembali ia mengernyit sebab rasa pusing yang mendera. Dia hendak memijit keningnya demi mengurangi rasa pusing itu, tapi mengangkat tangan saja dia tidak mampu.Antaguna mencoba untuk menenangkan dirinya kemudian. Dan setelah tenang, dia menyadari bahwa kini sedang berada di dalam satu ruangan yang cukup luas.“Di mana aku?” tanyanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.Suara keletik halus dari sebuah api unggun menarik perhatian Antaguna, di sebelah kanan.Dia juga menemukan seseorang berambut panjang tergerai duduk bersila di samping api unggun tersebu
“To-Topeng?” Antaguna membelalak. “Kenapa kau memakai topeng?”Sang wanita terkikik di balik topeng kulitnya yang tipis itu. “Apakah aku harus punya alasan untuk menyembunyikan wajahku?”“Ti-Tidak … Tapi—”“Lupakan saja!” kata sang wanita. “Dan mengenai aku yang memanggilmu dengan kata Anak Muda, kurasa itu sudah menjadi kewajaran saja.”“Wajar?”“Apa kau tahu,” tanya sang wanita, “sudah berapa lama aku hidup di dunia ini?”Tentu saja, sang pria tidak mengetahui hal itu sama sekali. Terlebih lagi, wajah wanita itu dilapisi topeng kulit yang tipis sehingga mempersulit orang lain untuk memperkirakan usianya.“Tapi setidaknya,” kata Antaguna. “Dari suaramu, aku menaksir bahwa kau mungkin baru delapan belas tahun.”Sang wanita tertawa-tawa, tawa yang tidak begitu lantang, tapi begitu merdu dan enak untuk didengar. Perlahan-lahan, Antaguna melupakan kesedihannya untuk sementara.Sang wanita lantas mengeluarkan sesuatu dari balik lipatan pakaian di pinggangnya, lalu memperlihatkan benda ter
“Puti Champo,” ujar sang wanita. “Kau bisa memanggilku dengan nama itu.”“Puti Champo …” ulang Antaguna dengan bergumam.Yah, pikirnya. Sepertinya aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Lalu, siapa dia sesungguhnya?Dia pasti seorang yang sangat sakti sehingga Paduko Dangmudo Basa mempercayainya memegang kepingan kelima Teratai Abadi.Bagaimanapun, ada hal menarik yang ditemukan Antaguna pada suara sang wanita. Bukan lantaran topeng kulit yang membatasi pergerakan mulutnya itu, melainkan logat bicara sang wanita yang seperti menahan-nahan pergerakan lidahnya dalam berkata-kata.Dengan kata lain, wanita itu pasti berasal dari luar Tanah Andalas, pikirnya.Antaguna memang tidak mengetahui sama sekali meskipun wanita itu telah memberikan tanda-tanda dengan menyebut namanya sebagai Puti Champo. Secara harfiah, nama itu berarti Putri Champa, atau seorang anak perempuan raja yang berasal dari negeri Champa—sebuah kerajaan yang pernah muncul di Vietnam bagian tengah dan selatan, men
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau