“To-Topeng?” Antaguna membelalak. “Kenapa kau memakai topeng?”Sang wanita terkikik di balik topeng kulitnya yang tipis itu. “Apakah aku harus punya alasan untuk menyembunyikan wajahku?”“Ti-Tidak … Tapi—”“Lupakan saja!” kata sang wanita. “Dan mengenai aku yang memanggilmu dengan kata Anak Muda, kurasa itu sudah menjadi kewajaran saja.”“Wajar?”“Apa kau tahu,” tanya sang wanita, “sudah berapa lama aku hidup di dunia ini?”Tentu saja, sang pria tidak mengetahui hal itu sama sekali. Terlebih lagi, wajah wanita itu dilapisi topeng kulit yang tipis sehingga mempersulit orang lain untuk memperkirakan usianya.“Tapi setidaknya,” kata Antaguna. “Dari suaramu, aku menaksir bahwa kau mungkin baru delapan belas tahun.”Sang wanita tertawa-tawa, tawa yang tidak begitu lantang, tapi begitu merdu dan enak untuk didengar. Perlahan-lahan, Antaguna melupakan kesedihannya untuk sementara.Sang wanita lantas mengeluarkan sesuatu dari balik lipatan pakaian di pinggangnya, lalu memperlihatkan benda ter
“Puti Champo,” ujar sang wanita. “Kau bisa memanggilku dengan nama itu.”“Puti Champo …” ulang Antaguna dengan bergumam.Yah, pikirnya. Sepertinya aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Lalu, siapa dia sesungguhnya?Dia pasti seorang yang sangat sakti sehingga Paduko Dangmudo Basa mempercayainya memegang kepingan kelima Teratai Abadi.Bagaimanapun, ada hal menarik yang ditemukan Antaguna pada suara sang wanita. Bukan lantaran topeng kulit yang membatasi pergerakan mulutnya itu, melainkan logat bicara sang wanita yang seperti menahan-nahan pergerakan lidahnya dalam berkata-kata.Dengan kata lain, wanita itu pasti berasal dari luar Tanah Andalas, pikirnya.Antaguna memang tidak mengetahui sama sekali meskipun wanita itu telah memberikan tanda-tanda dengan menyebut namanya sebagai Puti Champo. Secara harfiah, nama itu berarti Putri Champa, atau seorang anak perempuan raja yang berasal dari negeri Champa—sebuah kerajaan yang pernah muncul di Vietnam bagian tengah dan selatan, men
Puti Bungo Satangkai tidak mengambil istirahat sama sekali, dia terus saja memacu Sikumbang untuk berlari dengan cepat, meskipun ada Ratna yang membonceng di belakangnya. Yang mau tidak mau, hal ini juga memaksa si Kumbang Janti untuk tidak beristirahat.Dari malam hingga ke pagi, sang gadis terus menggebrak kuda hitam tersebut. Dan tepat ketika sang mentari telah berada di titik sepertiga awalnya, di ufuk timur, mereka telah mencapai pasar rakyat di Nagari Limo Jorong.Untuk seterusnya, mereka langsung menuju ke rumah si tabib di belakang pasar tersebut.Saat tiba di sana, si Kapuyuak sedang membantu sang tabib dengan menjemur rempah-rempah dalam nyiru berbentuk melingkar. Sedangkan Ima, gadis kecil itu sedang duduk di satu bangku sembari bersandar ke dinding rumah, keadaannya telah jauh membaik.“Uni,” ucap si Kapuyuak saat mengetahui siapa yang menghampiri mereka.Namun langkah sang remaja tertahan di saat Bungo melompat turun dengan ringan dari punggung Sikumbang, lalu sosok Ratna
Puti Bungo Satangkai mengangkat satu tangan, sebuah isyarat pada Ratna untuk tidak meneruskan ucapannya. Bagaimanapun, Bungo masih berharap bahwa Antaguna akan selamat dan baik-baik saja.“Ibu,” kata si Kapuyuak. “Uni Bungo lah yang menolong denai dan Ima, lalu mengantarkan Ima berobat ke Tuan Tabib.”Ratna cukup tergugah mendengar itu. “Te-Terima kasih, Bungo,” ujarnya dengan suara yang menjadi serak. “Terima kasih karena telah sudi menolong anak-anakku.”Bungo hanya tersenyum dan menggerak-gerakkan tangannya. Dengan demikian, Ratna semakin tahu bahwa semua perobatan itu telah dibiayai oleh teman sang gadis, Antaguna.“Saya berdoa semoga temanmu baik-baik saja, Bungo,” balas Ratna.Tentu saja, si Kumbang Janti justru menjadi gelisah hatinya demi mendengar hal tersebut. Jika si Antaguna selamat dan masih hidup, maka ada kemungkinan bahwa Bungo akan berbalik membencinya sebab telah membuat Antaguna semakin menderita saat keadaannya yang sedang sekarat, bahkan mungkin dia telah membunuh
“Sudahlah,” kata sang tabib seraya meraih tangan kanan Ratna. “Berikan tanganmu!”“A-Apa yang Anda—”Ratna kemudian terdiam, dia menyadari bahwa sang tabib sedang membaca pergerakan nadinya di pergelangan tangannya.Untuk sesaat, sang tabib memejamkan matanya, dan terlihat sangat tenang sementara jemari tangan kirinya merasai denyutan-denyutan halus di pergelangan tangan Ratna.“Humm …” gumamnya. “Nadimu tidak teratur, kadang cepat kadang lambat.”“Tuan Tabib?”“Baiklah,” kata sang tabib kemudian dengan melepaskan tangan Ratna. “Kau pasti sudah meminum banyak cairan itu.”“Su-Sudah tidak bisa kuingat lagi berapa banyak,” balas Ratna dengan kembali tertunduk.“Turunkan putrimu!” pinta sang tabib. “Dan kau, gadis kecil,” tunjuknya pada Ima di gendongan tangan kiri Ratna. “Kembalilah duduk di tempat tadi, jangan menyia-nyiakan obat-obatanku!”Ratna melirik ke arah bangku yang tadi. Dia seolah baru menyadari bahwa di bawah bangku dari anyaman rotan itu terdapat nyiru persegi empat dengan
“Jangan berkata yang tidak-tidak!” timpal sang tabib. “Noda, noda, noda … Noda apa yang kau bicarakan, hah?”Ratna mengernyit. “Ba-Barusan Anda mengatakan tentang aku dan Datuak Ambisar—”“Lalu kenapa jika aku mengetahui hal ini?” tanya sang tabib. “Kuberi tahu kau satu hal, cairan itu adalah salah satu ramuan karyaku.”Ratna membelalak mendengar itu.“Tidak perlu heran,” sahut sang tabib lagi. “Si Ambisar sialan itu adalah sepupuku. Dia telah mencuri ramuanku lalu memperbanyak ramuan itu dengan cara membuat sendiri berdasarkan apa yang ia ketahui.”Dan semakin guguplah Ratna dengan mengetahui bahwa sang tabib bersaudara jauh dengan si Gagak Api.“Ja-Jadi Anda—”“Kenapa?” tanya si tabib. “Kau berpikir bahwa aku punya sifat seperti si jahanam yang satu itu? Oh, tidak, tidak akan pernah. Aku bahkan bersyukur bila ternyata si Ambisar itu telah mati di tangan si gadis bisu.”Tidak ada yang terpikirkan oleh Ratna saat ini melainkan, mungkin ada satu silang sengketa sang tabib dengan si Gag
Puti Bungo Satangkai akhirnya menyetujui usulan si Kumbang Janti. Mereka beristirahat di pinggir hutan. Sementara sang gadis duduk di bawah satu pohon rindang, si pria mencoba mencari-cari sesuatu, sedangkan dua kuda mereka dibiarkan merumput.Si Kumbang Janti menemukan aliran air yang lebih mirip seperti parit kecil, dan tertutup ketebalan semak belukar.Tapi itu jauh lebih baik, pikirnya.Lagi pula, air yang mengalir pelan itu terlihat sangat bening dan bersih. Dan dia memanfaatkan air itu untuk mencuci tangan, wajah dan kepalanya, lalu meraup air dengan dua telapak tangan, dan meminumnya begitu saja.Dia melirik ke belakang di mana pada saat itu Bungo seperti sedang melamun. Si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam.“Maafkan aku, Bungo,” gumamnya setengah tak terdengar. “Aku tidak bermaksud jahat. Hanya saja, aku mungkin telah salah dengan melukai bahkan membiarkan Antaguna mati. Dengan demikian, engkau pasti akan membenciku bila kau mengetahui perbuatanku itu nantinya.”Ia mend
“Dasar bodoh!” Puti Champo kembali terkikik. “Kenapa kau memanggilku dengan gelar seperti itu?”“Entahlah,” jawab Antaguna, lalu menghela napas lebih dalam. “Jika mendiang Paduko Dangmudo Basa saja menghormatimu, maka sudah sewajarnya aku memanggilmu dengan gelar itu, kan?”“Ya, ya … terserah kau saja.”Puti Champo kembali menggerakkan tangannya sedemikian rupa, seperti seorang gadis yang sedang menari dengan jemari tangannya yang lentik, dan seiring itu, Antaguna yang terbujur menelentang perlahan-lahan terangkat lebih tinggi hingga punggung dan bagian belakang tubuhnya berada sejengkal di atas permukaan air.Seiring sang wanita melangkah meninggalkan kolam air terjun itu, Antaguna melayang, dibawa kembali ke goa yang ada di sisi timur kolam.Di dalam goa yang cukup besar, Antaguna dibuat duduk bersila oleh Puti Champo, menghadap ke api unggun yang kini menyisakan bara yang sedikit menyala.Sepertinya wanita itu benar, pikir Antaguna. Sebab ketika sang wanita menekukkan lututnya, men