“Jangan berkata yang tidak-tidak!” timpal sang tabib. “Noda, noda, noda … Noda apa yang kau bicarakan, hah?”Ratna mengernyit. “Ba-Barusan Anda mengatakan tentang aku dan Datuak Ambisar—”“Lalu kenapa jika aku mengetahui hal ini?” tanya sang tabib. “Kuberi tahu kau satu hal, cairan itu adalah salah satu ramuan karyaku.”Ratna membelalak mendengar itu.“Tidak perlu heran,” sahut sang tabib lagi. “Si Ambisar sialan itu adalah sepupuku. Dia telah mencuri ramuanku lalu memperbanyak ramuan itu dengan cara membuat sendiri berdasarkan apa yang ia ketahui.”Dan semakin guguplah Ratna dengan mengetahui bahwa sang tabib bersaudara jauh dengan si Gagak Api.“Ja-Jadi Anda—”“Kenapa?” tanya si tabib. “Kau berpikir bahwa aku punya sifat seperti si jahanam yang satu itu? Oh, tidak, tidak akan pernah. Aku bahkan bersyukur bila ternyata si Ambisar itu telah mati di tangan si gadis bisu.”Tidak ada yang terpikirkan oleh Ratna saat ini melainkan, mungkin ada satu silang sengketa sang tabib dengan si Gag
Puti Bungo Satangkai akhirnya menyetujui usulan si Kumbang Janti. Mereka beristirahat di pinggir hutan. Sementara sang gadis duduk di bawah satu pohon rindang, si pria mencoba mencari-cari sesuatu, sedangkan dua kuda mereka dibiarkan merumput.Si Kumbang Janti menemukan aliran air yang lebih mirip seperti parit kecil, dan tertutup ketebalan semak belukar.Tapi itu jauh lebih baik, pikirnya.Lagi pula, air yang mengalir pelan itu terlihat sangat bening dan bersih. Dan dia memanfaatkan air itu untuk mencuci tangan, wajah dan kepalanya, lalu meraup air dengan dua telapak tangan, dan meminumnya begitu saja.Dia melirik ke belakang di mana pada saat itu Bungo seperti sedang melamun. Si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam.“Maafkan aku, Bungo,” gumamnya setengah tak terdengar. “Aku tidak bermaksud jahat. Hanya saja, aku mungkin telah salah dengan melukai bahkan membiarkan Antaguna mati. Dengan demikian, engkau pasti akan membenciku bila kau mengetahui perbuatanku itu nantinya.”Ia mend
“Dasar bodoh!” Puti Champo kembali terkikik. “Kenapa kau memanggilku dengan gelar seperti itu?”“Entahlah,” jawab Antaguna, lalu menghela napas lebih dalam. “Jika mendiang Paduko Dangmudo Basa saja menghormatimu, maka sudah sewajarnya aku memanggilmu dengan gelar itu, kan?”“Ya, ya … terserah kau saja.”Puti Champo kembali menggerakkan tangannya sedemikian rupa, seperti seorang gadis yang sedang menari dengan jemari tangannya yang lentik, dan seiring itu, Antaguna yang terbujur menelentang perlahan-lahan terangkat lebih tinggi hingga punggung dan bagian belakang tubuhnya berada sejengkal di atas permukaan air.Seiring sang wanita melangkah meninggalkan kolam air terjun itu, Antaguna melayang, dibawa kembali ke goa yang ada di sisi timur kolam.Di dalam goa yang cukup besar, Antaguna dibuat duduk bersila oleh Puti Champo, menghadap ke api unggun yang kini menyisakan bara yang sedikit menyala.Sepertinya wanita itu benar, pikir Antaguna. Sebab ketika sang wanita menekukkan lututnya, men
Tapi apa pun itu, Puti Bungo Satangkai tidak merasa harus mengetahui alasan di balik si Kumbang Janti yang menanggalkan gelar Datuk Hulubalang-nya tersebut.Bagaimanapun, dia merasa masalah keberadaan Antaguna yang belum ia ketahui tentang hidup dan matinya adalah yang paling utama kini.Akan tetapi, sang gadis juga terbebani dengan keharusannya untuk mengumpulkan semua kepingan Teratai Abadi. Dia telah berjanji pada sang raja, dan pantang baginya untuk menjilat ludah yang sudah terbuang.Tiga hal di atas, kini menari-nari indah di dalam pikirannya.Sementara si Kumbang Janti sendiri tak hendak berbicara lebih jauh tentang pengunduran dirinya tersebut. Ia hanya takut salah berbicara, atau kelepasan mengatakan alasannya karena satu dan lain hal. Jadi, sebelum hal itu terjadi, dia memutuskan untuk memotong sampai di situ saja mengenai hal tersebut.Toh, seandainya gadis itu bertanya pada sang raja langsung sekalipun, dia tidak akan mendapatkan jawabannya, pikirnya.“Di sini pasti banyak
Dua orang yang terdekat dengan Puti Bungo Satangkai langsung melompat dengan membacokkan senjata mereka, satu menggunakan golok, lainnya menggunakan pedang.Si Kumbang Janti bertindak melindungi sang gadis, dengan cepat dia sudah berada di depannya, berhadap-hadapan, dan membiarkan dua senjata tajam itu menebas kepala dan bahunya.Dua penjahat terkesiap. Senjata mereka seolah membentur sesuatu yang keras dan berdenting.Sementara Bungo mengernyit dengan apa yang dilakukan si Kumbang Janti, pria tersebut justru tersenyum.“Aku pasti akan melindungimu,” ujarnya dengan suara pelan.Tentu saja, dia melakukan itu bukan tanpa perhitungan, ajian Kumbang Babega menahan tajamnya dua senjata lawan. Dan begitu dia mendorongkan bahunya ke belakang, angin kuat melontarkan dua penjahat tersebut beberapa langkah ke belakang.Si Kumbang Janti masih tersenyum pada Bungo sebelum dia berbalik yang bersamaan pula dengan datangnya serangan dari yang lainnya.Apa yang dia lakukan? pikir sang gadis terhadap
Di dalam sebuah goa, di dekat air terjun kembar tiga, Puti Champo sedang membalurkan sejenis lumpur ke seluruh tubuh Antaguna yang berbaring telanjang.“M-Maaf, Tuan Gadih,” ujar Antaguna dengan wajah menggelembung. “Aku tidak tahan dengan bau lumpur ini.”“Berhentilah merengek, Anak Muda!” sahut sang wanita dengan tidak menghentikan kegiatannya melumurkan lumpur tersebut ke tubuh Antaguna.“Tapi lumpur ini bau sekali!”“Oh, Dewi Pengasih!” Puti Champo mendelik pada sang pria. “Kau punya usul yang lebih baik lagi, hemm?”“Ti-Tidak,” Antaguna mereguk ludah. “Maaf. Lumpur apa sebenarnya ini, Tuan Gadih?”Dan sepertinya Puti Champo tenang-tenang saja dipanggil dengan gelar itu oleh Antaguna. Bagaimanapun, dia sangat menyadari bahwa di mata orang-orang, tubuhnya yang sangat menggiurkan itu laksana seorang gadis perawan saja, meskipun usianya sendiri telah lebih dari seabad.“Lumpur Emas,” jawabnya dengan singkat.Dan Puti Champo melirik pada Antaguna dengan mendelik sebab pria itu sedang
“Kumohon,” ulang Antaguna. Dia benar-benar tidak bisa berpaling dari keindahan di depan matanya itu. “Lu-Lupakan saja! Aku tidak ingin mengetahui lebih jauh. Biarlah pengobatan dengan Lumpur Emas yang bau ini saja.”Puti Champo tertawa halus, dia mengibaskan rambut panjangnya sedemikian rupa, dan Antaguna tak dapat mengelak dari pamandangan seronok tersebut.“Kutanya sekali lagi,” katanya. “Kau yakin?”“Tentu saja—”Bola mata Antaguna membesar dengan mulut setengah menganga. Puti Champo melepaskan topeng kulit yang selama ini menutupi wajahnya.“Tu-Tuan Gadih, k-kau …”Bahkan dia jauh lebih cantik daripada Bungo! Jerit Antaguna di dalam hati.Untuk beberapa saat, Antaguna hanya bisa tertegun mengagumi kecantikan seorang Puti Champo. Wajahnya benar-benar imut, cantik menggemaskan, dan didukung pula dengan bentuk dan lekuk tubuhnya yang sempurna. Siapa pun laki-laki yang sekarang berada di tempat Antaguna, maka mereka juga pasti tidak akan mampu menolak keindahan itu sendiri.Dia bilang
Sekitar tengah malam, ketika sang rembulan yang mulai kehilangan wajahnya telah berada di titik tertingginya, Ratna terbangun dari tidurnya.Wanita 35 tahun yang kini telah semakin membaik keadaannya itu bangkit. Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa putrinya yang terbaring di dipan di sudut kanan ruangan.Dia tersenyum menemukan si Kapuyuak tertidur sembari duduk bersandar ke dipan itu sendiri, seolah sedang menjaga adiknya.Ratna mengusap kepala putranya itu, lalu mengecup keningnya.Kini pandangannya tertuju pada Ima yang juga pulas dengan tidur menelentang, hanya tertutup selimut kasar. Dan dari bawah dipan, asap tipis berbau rempah-rempah obat masih mengepul, menjadi penyembuh bagi gadis kecilnya.Ia membenahi selimut putrinya itu, mengecup keningnya, lalu ia beranjak ke arah pintu belakang.Meski keadaan sekitar di luar yang cukup gelap, akan tetapi, hal ini tidak menghalangi keinginan Ratna untuk mendatangi sumur yang dikelilingi dinding dari anyaman bambu di belakang sa
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau