Dua orang yang terdekat dengan Puti Bungo Satangkai langsung melompat dengan membacokkan senjata mereka, satu menggunakan golok, lainnya menggunakan pedang.Si Kumbang Janti bertindak melindungi sang gadis, dengan cepat dia sudah berada di depannya, berhadap-hadapan, dan membiarkan dua senjata tajam itu menebas kepala dan bahunya.Dua penjahat terkesiap. Senjata mereka seolah membentur sesuatu yang keras dan berdenting.Sementara Bungo mengernyit dengan apa yang dilakukan si Kumbang Janti, pria tersebut justru tersenyum.“Aku pasti akan melindungimu,” ujarnya dengan suara pelan.Tentu saja, dia melakukan itu bukan tanpa perhitungan, ajian Kumbang Babega menahan tajamnya dua senjata lawan. Dan begitu dia mendorongkan bahunya ke belakang, angin kuat melontarkan dua penjahat tersebut beberapa langkah ke belakang.Si Kumbang Janti masih tersenyum pada Bungo sebelum dia berbalik yang bersamaan pula dengan datangnya serangan dari yang lainnya.Apa yang dia lakukan? pikir sang gadis terhadap
Di dalam sebuah goa, di dekat air terjun kembar tiga, Puti Champo sedang membalurkan sejenis lumpur ke seluruh tubuh Antaguna yang berbaring telanjang.“M-Maaf, Tuan Gadih,” ujar Antaguna dengan wajah menggelembung. “Aku tidak tahan dengan bau lumpur ini.”“Berhentilah merengek, Anak Muda!” sahut sang wanita dengan tidak menghentikan kegiatannya melumurkan lumpur tersebut ke tubuh Antaguna.“Tapi lumpur ini bau sekali!”“Oh, Dewi Pengasih!” Puti Champo mendelik pada sang pria. “Kau punya usul yang lebih baik lagi, hemm?”“Ti-Tidak,” Antaguna mereguk ludah. “Maaf. Lumpur apa sebenarnya ini, Tuan Gadih?”Dan sepertinya Puti Champo tenang-tenang saja dipanggil dengan gelar itu oleh Antaguna. Bagaimanapun, dia sangat menyadari bahwa di mata orang-orang, tubuhnya yang sangat menggiurkan itu laksana seorang gadis perawan saja, meskipun usianya sendiri telah lebih dari seabad.“Lumpur Emas,” jawabnya dengan singkat.Dan Puti Champo melirik pada Antaguna dengan mendelik sebab pria itu sedang
“Kumohon,” ulang Antaguna. Dia benar-benar tidak bisa berpaling dari keindahan di depan matanya itu. “Lu-Lupakan saja! Aku tidak ingin mengetahui lebih jauh. Biarlah pengobatan dengan Lumpur Emas yang bau ini saja.”Puti Champo tertawa halus, dia mengibaskan rambut panjangnya sedemikian rupa, dan Antaguna tak dapat mengelak dari pamandangan seronok tersebut.“Kutanya sekali lagi,” katanya. “Kau yakin?”“Tentu saja—”Bola mata Antaguna membesar dengan mulut setengah menganga. Puti Champo melepaskan topeng kulit yang selama ini menutupi wajahnya.“Tu-Tuan Gadih, k-kau …”Bahkan dia jauh lebih cantik daripada Bungo! Jerit Antaguna di dalam hati.Untuk beberapa saat, Antaguna hanya bisa tertegun mengagumi kecantikan seorang Puti Champo. Wajahnya benar-benar imut, cantik menggemaskan, dan didukung pula dengan bentuk dan lekuk tubuhnya yang sempurna. Siapa pun laki-laki yang sekarang berada di tempat Antaguna, maka mereka juga pasti tidak akan mampu menolak keindahan itu sendiri.Dia bilang
Sekitar tengah malam, ketika sang rembulan yang mulai kehilangan wajahnya telah berada di titik tertingginya, Ratna terbangun dari tidurnya.Wanita 35 tahun yang kini telah semakin membaik keadaannya itu bangkit. Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa putrinya yang terbaring di dipan di sudut kanan ruangan.Dia tersenyum menemukan si Kapuyuak tertidur sembari duduk bersandar ke dipan itu sendiri, seolah sedang menjaga adiknya.Ratna mengusap kepala putranya itu, lalu mengecup keningnya.Kini pandangannya tertuju pada Ima yang juga pulas dengan tidur menelentang, hanya tertutup selimut kasar. Dan dari bawah dipan, asap tipis berbau rempah-rempah obat masih mengepul, menjadi penyembuh bagi gadis kecilnya.Ia membenahi selimut putrinya itu, mengecup keningnya, lalu ia beranjak ke arah pintu belakang.Meski keadaan sekitar di luar yang cukup gelap, akan tetapi, hal ini tidak menghalangi keinginan Ratna untuk mendatangi sumur yang dikelilingi dinding dari anyaman bambu di belakang sa
Lingga tidak perlu bertanya lebih jauh kepada Ratna. Sebab, dari gerak-geriknya yang malu-malu itu, dia bisa menyimpulkan bahwa Ratna bersedia tinggal bersamanya di rumah tersebut.“Kau tidak perlu bersusah-susah membelikan mereka sebuah rumah, gadis sialan!” ucap Lingga pada Puti Bungo Satangkai. “Aku akan menampung mereka.”Sang gadis tersenyum. Kata-kata kasar itu tak lebih dari menutupi sikap malu-malunya sendiri, pikir Bungo.Entah apa yang sudah terjadi di antara mereka berdua, tapi Bungo yakin bahwa sang tabib menyukai Ratna. Meskipun, wanita tersebut adalah seorang janda dengan dua anak. Dan juga, telah menjadi budak pemuas nafsu si Gagak Api selama bertahun-tahun.Bungo menghela napas dalam-dalam. Apakah dia benar-benar menyukai Ratna atau sekadar untuk memanfaatkannya saja?Maka ia langsung bertanya pada inti permasalahan itu sendiri dengan bahasa isyaratnya, lalu Ratna yang menerjemahkannya.“Anda yakin?” ujar Ratna kepada Lingga dengan membaca gerakan tangan Bungo. “Lagi p
Kabar tentang runtuhnya kedigdayaan Datuak Ambisar yang bergelar si Gagak Api berembus laksana angin petang, menyebar sangat cepat hingga sampai ke telinga orang-orang di Istana Minanga.Sejak siang tadi, si Kabau Sirah sengaja meminta pada Rajo Bungsu untuk mengadakan pertemuan dadakan demi membahas kelanjutan penanganan bandit-bandit gunung yang dulunya berada di bawah perintah Datuak Ambisar.Sampai pada saat itu, Lorana atau Bardan, atau si Balam Putiah masih berada di dalam penjara bawah tanah. Hak atas gelar Datuk Hulubalang Kerajaan pada dirinya telah dicabut oleh Rajo Bungsu.Ke depannya, Rajo Bungsu akan mengadakan lagi sayembara semi mencari bibit pengganti si Balam Putiah.Dan si Kumbang Janti pula sedang tidak berada di lingkungan istana.Jadi, pertemuan dadakan itu hanya dihadiri oleh Rajo Bungsu, Sembilan Cadiak Pandai, dan Lima Datuk Hulubalang saja.Akan halnya tentang keinginan si Kumbang Janti yang memberi tahu kepada Gadih Cimpago bahwa ia telah dengan sukarela mele
Setelah diberitahukan oleh Gadih Cimpago bahwasannya sang raja sedang ada pertemuan dadakan di dalam istana, maka Sondang Tiur yang dikawal oleh dua prajurit memilih untuk menunggu saja di halaman depan istana itu sampai pertemuan di dalam istana berakhir.“Maaf, Kak,” ujar si gadis Batak pada Gadih Cimpago. “Apakah beliau Putra Mahkota?”Gadih Cimpago melirik pada Sondang Tiur, lalu tersenyum dan mengangguk.“Dia anak yang berwajah indah,” puji snag gadis. “Kabar itu ternyata benar.”“Yah …” Gadih Cimpago mengangguk-angguk dengan melipat tangan ke dadanya. “Tapi wajah indah saja tidak mungkin bisa diandalkan untuk bisa mempertahankan adat dan rakyat.”Lagi, ia memandangi gadis Batak di sampingnya dengan tersenyum, lalu mengedipkan sebelah matanya.Sondang Tiur terkikik halus. “Kakak benar,” ujarnya. “Bagaimanapun, pewaris takhta juga harus mampu mempelajari hal ikhwal pertahanan.”“Ngomong-ngomong tentang Toba Tua,” kata Gadih Cimpago. “Apakah engkau tinggal berdekatan dengan Kotaraj
Puti Bungo Satangkai menggebrak Sikumbang, lagi dan lagi. Memaksa kuda hitam milik Antaguna itu untuk terus memacu larinya. Sementara si Kumbang Janti lagi-lagi tertinggal jauh di belakang.“Bungo!” teriak sang pria sekeras mungkin sembari menggebrak kuda betina yang ia tunggangi.Yah, mereka telah berkuda semenjak subuh, sedari rumah Lingga si Tabib Sakti—tidak, bahkan lebih jauh daripada itu. Semenjak mereka dari Gunung Kerinci, hingga sekarang sang mentari telah condong jauh ke arah barat.Dan gadis itu, dia sepertinya belum akan berhenti bila tidak dipaksa, pikir si Kumbang Janti.Bagaimanapun, mereka berdua butuh istirahat. Setidaknya, untuk melepaskan dahaga dan penat badan, soal tidur, itu mungkin bisa nanti saja.Juga, kedua kuda tersebut yang juga sangat membutuhkan istirahat.“Bungo, berhentilah!” teriak si Kumbang Janti. “Jangan memaksakan dirimu! Bungo …”Tidak ada hal lain yang terpikirkan oleh si Kumbang Janti selain bahwa gadis itu pasti punya hubungan istimewa dengan A