Kabar tentang runtuhnya kedigdayaan Datuak Ambisar yang bergelar si Gagak Api berembus laksana angin petang, menyebar sangat cepat hingga sampai ke telinga orang-orang di Istana Minanga.Sejak siang tadi, si Kabau Sirah sengaja meminta pada Rajo Bungsu untuk mengadakan pertemuan dadakan demi membahas kelanjutan penanganan bandit-bandit gunung yang dulunya berada di bawah perintah Datuak Ambisar.Sampai pada saat itu, Lorana atau Bardan, atau si Balam Putiah masih berada di dalam penjara bawah tanah. Hak atas gelar Datuk Hulubalang Kerajaan pada dirinya telah dicabut oleh Rajo Bungsu.Ke depannya, Rajo Bungsu akan mengadakan lagi sayembara semi mencari bibit pengganti si Balam Putiah.Dan si Kumbang Janti pula sedang tidak berada di lingkungan istana.Jadi, pertemuan dadakan itu hanya dihadiri oleh Rajo Bungsu, Sembilan Cadiak Pandai, dan Lima Datuk Hulubalang saja.Akan halnya tentang keinginan si Kumbang Janti yang memberi tahu kepada Gadih Cimpago bahwa ia telah dengan sukarela mele
Setelah diberitahukan oleh Gadih Cimpago bahwasannya sang raja sedang ada pertemuan dadakan di dalam istana, maka Sondang Tiur yang dikawal oleh dua prajurit memilih untuk menunggu saja di halaman depan istana itu sampai pertemuan di dalam istana berakhir.“Maaf, Kak,” ujar si gadis Batak pada Gadih Cimpago. “Apakah beliau Putra Mahkota?”Gadih Cimpago melirik pada Sondang Tiur, lalu tersenyum dan mengangguk.“Dia anak yang berwajah indah,” puji snag gadis. “Kabar itu ternyata benar.”“Yah …” Gadih Cimpago mengangguk-angguk dengan melipat tangan ke dadanya. “Tapi wajah indah saja tidak mungkin bisa diandalkan untuk bisa mempertahankan adat dan rakyat.”Lagi, ia memandangi gadis Batak di sampingnya dengan tersenyum, lalu mengedipkan sebelah matanya.Sondang Tiur terkikik halus. “Kakak benar,” ujarnya. “Bagaimanapun, pewaris takhta juga harus mampu mempelajari hal ikhwal pertahanan.”“Ngomong-ngomong tentang Toba Tua,” kata Gadih Cimpago. “Apakah engkau tinggal berdekatan dengan Kotaraj
Puti Bungo Satangkai menggebrak Sikumbang, lagi dan lagi. Memaksa kuda hitam milik Antaguna itu untuk terus memacu larinya. Sementara si Kumbang Janti lagi-lagi tertinggal jauh di belakang.“Bungo!” teriak sang pria sekeras mungkin sembari menggebrak kuda betina yang ia tunggangi.Yah, mereka telah berkuda semenjak subuh, sedari rumah Lingga si Tabib Sakti—tidak, bahkan lebih jauh daripada itu. Semenjak mereka dari Gunung Kerinci, hingga sekarang sang mentari telah condong jauh ke arah barat.Dan gadis itu, dia sepertinya belum akan berhenti bila tidak dipaksa, pikir si Kumbang Janti.Bagaimanapun, mereka berdua butuh istirahat. Setidaknya, untuk melepaskan dahaga dan penat badan, soal tidur, itu mungkin bisa nanti saja.Juga, kedua kuda tersebut yang juga sangat membutuhkan istirahat.“Bungo, berhentilah!” teriak si Kumbang Janti. “Jangan memaksakan dirimu! Bungo …”Tidak ada hal lain yang terpikirkan oleh si Kumbang Janti selain bahwa gadis itu pasti punya hubungan istimewa dengan A
Perhatian yang ditunjukkan oleh sikap dan ucapan si Kumbang Janti itu akhirnya mampu membuat Puti Bungo Satangkai menjadi lebih tenang.Mungkin benar, pikirnya. Untuk sekarang aku harus melupakan terlebih dahulu soal Antaguna. Bila umur sama panjang, dan jodoh pertemuan masihlah terbentang, maka kami pasti akan bertemu kembali.Pada akhirnya sang gadis mengangguk yang mendatangkan senyuman manis di wajah si Kumbang Janti.“Baiklah,” ujar sang pria seraya berdiri. “Aku akan mencari sesuatu untuk kita makan. Tunggulah sekejap di sini.”Si Kumbang Janti meninggalkan sang gadis guna mencari sesuatu yang bisa mereka makan di tepian sungai tersebut, tidak jauh-jauh dari keberadaan gadis itu sendiri.Saat sang pria sibuk mencari sesuatu, Bungo membasuh kaki, tangan, dan wajahnya di aliran air bening yang menyegarkan dari sungai tersebut.Ia menghela napas dalam-dalam seraya memandang permukaan air sungai yang seperti sedang berkejaran itu.Bagaimanapun, rasa sesak di dalam dadanya masih bers
“Suamiku benar, Tiur,” timpal Ratu Nan Sabatang. “Tiada guna diungkit hal yang telah lama berlalu.”Rajo Bungsu mengangguk-angguk. “Engkau harus mendengarkan istriku itu, Tiur,” ujarnya. “Lagi pula, istriku adalah tetangga yang bersebelahan rumah dengan Sialang Babega sebelumnya.”“Benarkah?” sang gadis melirik pada sang ratu.Ratu Nan Sabatang tersenyum dan mengangguk. “Kami telah menjadi keluarga dekat. Aku bahkan sering menjaga anak mereka ketika itu.”Sondang Tiur menghela napas dalam-dalam. Pasti cukup berat bagi Ratu Nan Sabatang atas kehilangan Sialang Babega dan keluarganya, pikirnya.“Tapi kamu tidak perlu khawatir, Tiur,” ujar sang ratu, lagi. “Bagaimanapun, Sialang Babega punya dua keturunan yang masih hidup.”Hei, tunggu dulu! Sondang Tiur mengernyit memandangi orang-orang itu satu per satu.“Tapi kabar yang kami dengar,” katanya dengan gugup. “Semua anggota keluarga Tuan Sialang Babega juga ikut tewas.”“Tidak,” kata Rajo Bungsu. “Dua anak Sialang Babega dan Zuraya selama
“Tentang kedatangan Sondang Tiur,” ujar Rajo Bungsu pada istrinya.Sang ratu menghela napas dalam-dalam. “Sudah kuduga,” ucapnya. “Ini pasti ada kena mengena dengan anak gadis dari sahabat baikmu itu. Lalu, apa yang membuat Uda menjadi kusut pikiran seperti ini?”“Kau tahu, Istriku,” kata sang raja. “Kami bertiga begitu akrab dan saling menyayangi satu sama lain. Sampai suatu ketika, Sialang Babega mengusulkan satu hal pada kami.”Sang ratu menatap ke dalam mata sang raja. Dia tidak menemukan kebohongan di sana. Lagi pula, sang suami tidak pernah membohonginya selama ini.“Sebuah usulan?”Rajo Bungsu mengangguk. “Sialang berpikir bahwa persahabatan kami harus dipertahankan bahkan sampai ke anak cucu kami nanti, harus tetap dijaga, dan selalu diperkuat.”“Ahh …” Ratu Nan Sabatang mengangguk-angguk. “Sepertinya aku dapat menebak usulan yang disampaikan oleh Sialang Babega itu.”“Yah,” sahut Rajo Bungsu dan diikuti dengan helaan napas yang panjang. “Engkau benar. Sebuah perjodohan.”Baru
Sondang Tiur berdiri tenang di tepi kolam dengan air mengalir di belakang istana. Pemandangan taman belakang istana cukup mengagumkan baginya, terutama dengan keberadaan kolam besar dengan bermacam ikan hias di dalamnya, juga rumpun-rumpun bunga dan tanaman hias yang menghiasi taman tersebut.Di sudut lain, Rajo Bungsu dan Gadih Cimpago memerhatikannya dari jauh.“Kenapa tidak memberitahukan saja kepadanya,” ujar Gadih Cimpago. “Paduko?”Rao Bungsu mengernyit dan melirik wanita sakti di sampingnya. “Apa yang engkau maksudkan, Gadih?”Sang wanita tersenyum. “Paduko pasti tahu dengan baik kemampuanku, bukan?”Rajo Bungsu menghela napas dalam-dalam. “Kurasa tidak satu pun rahasia di istano ini yang tidak engkau ketahui.”Gadih Cimpago tersenyum saja menanggapi. “Jika Paduko meminta pendapatku, maka aku akan berkata tidak ada yang salah di sini. Semua terjadi tanpa dapat dikendalikan oleh manusia, bahkan seorang raja sekalipun. Lagi pula, gadis itu datang hanya demi menyambung tali persau
Dengan langkah yang santai, Sondang Tiur dan Gadih Cimpago meninggalkan Gerbang Utara. Para penjaga gerbang yang mengenal keduanya sama menyapa dengan hangat.“Uni Gadih,” ujar si gadis Batak. “Engkau tidak perlu berpenat-penat mengantarku begini.”Namun perempuan yang tidak muda lagi itu justru terkikik menanggapi.“Oh, percayalah padaku, Tiur,” balasnya. “Ini rahasia di antara kita berdua.”Sondang Tiur mengernyit.“Aku sering meninggalkan istana,” lanjut Gadih Cimpago. “Terutama, di malam hari. Kau tahu, terkadang suasana yang menyenangkan mampu membuat kita terlena dan bermalas-malasan.”Si gadis Batak tersenyum lebar. “Ahh, sepertinya aku dapat memahami maksud Uni.”“Itu yang aku harapkan!” Gadih Cimpago terkikik seraya menowel pipi Sondang Tiur. “Jadi, kau tidak perlu sungkan. Kuharap, tidak saja ayahmu dengan Yang Mulia Paduko menjalin persaudaraan, tapi juga aku dan dirimu.”“Oh, Dewa …” Sondang Tiur tersenyum lebih manis. “Dengan senang hati, Uni. Dengan senang hati. Bukankah