Perhatian yang ditunjukkan oleh sikap dan ucapan si Kumbang Janti itu akhirnya mampu membuat Puti Bungo Satangkai menjadi lebih tenang.Mungkin benar, pikirnya. Untuk sekarang aku harus melupakan terlebih dahulu soal Antaguna. Bila umur sama panjang, dan jodoh pertemuan masihlah terbentang, maka kami pasti akan bertemu kembali.Pada akhirnya sang gadis mengangguk yang mendatangkan senyuman manis di wajah si Kumbang Janti.“Baiklah,” ujar sang pria seraya berdiri. “Aku akan mencari sesuatu untuk kita makan. Tunggulah sekejap di sini.”Si Kumbang Janti meninggalkan sang gadis guna mencari sesuatu yang bisa mereka makan di tepian sungai tersebut, tidak jauh-jauh dari keberadaan gadis itu sendiri.Saat sang pria sibuk mencari sesuatu, Bungo membasuh kaki, tangan, dan wajahnya di aliran air bening yang menyegarkan dari sungai tersebut.Ia menghela napas dalam-dalam seraya memandang permukaan air sungai yang seperti sedang berkejaran itu.Bagaimanapun, rasa sesak di dalam dadanya masih bers
“Suamiku benar, Tiur,” timpal Ratu Nan Sabatang. “Tiada guna diungkit hal yang telah lama berlalu.”Rajo Bungsu mengangguk-angguk. “Engkau harus mendengarkan istriku itu, Tiur,” ujarnya. “Lagi pula, istriku adalah tetangga yang bersebelahan rumah dengan Sialang Babega sebelumnya.”“Benarkah?” sang gadis melirik pada sang ratu.Ratu Nan Sabatang tersenyum dan mengangguk. “Kami telah menjadi keluarga dekat. Aku bahkan sering menjaga anak mereka ketika itu.”Sondang Tiur menghela napas dalam-dalam. Pasti cukup berat bagi Ratu Nan Sabatang atas kehilangan Sialang Babega dan keluarganya, pikirnya.“Tapi kamu tidak perlu khawatir, Tiur,” ujar sang ratu, lagi. “Bagaimanapun, Sialang Babega punya dua keturunan yang masih hidup.”Hei, tunggu dulu! Sondang Tiur mengernyit memandangi orang-orang itu satu per satu.“Tapi kabar yang kami dengar,” katanya dengan gugup. “Semua anggota keluarga Tuan Sialang Babega juga ikut tewas.”“Tidak,” kata Rajo Bungsu. “Dua anak Sialang Babega dan Zuraya selama
“Tentang kedatangan Sondang Tiur,” ujar Rajo Bungsu pada istrinya.Sang ratu menghela napas dalam-dalam. “Sudah kuduga,” ucapnya. “Ini pasti ada kena mengena dengan anak gadis dari sahabat baikmu itu. Lalu, apa yang membuat Uda menjadi kusut pikiran seperti ini?”“Kau tahu, Istriku,” kata sang raja. “Kami bertiga begitu akrab dan saling menyayangi satu sama lain. Sampai suatu ketika, Sialang Babega mengusulkan satu hal pada kami.”Sang ratu menatap ke dalam mata sang raja. Dia tidak menemukan kebohongan di sana. Lagi pula, sang suami tidak pernah membohonginya selama ini.“Sebuah usulan?”Rajo Bungsu mengangguk. “Sialang berpikir bahwa persahabatan kami harus dipertahankan bahkan sampai ke anak cucu kami nanti, harus tetap dijaga, dan selalu diperkuat.”“Ahh …” Ratu Nan Sabatang mengangguk-angguk. “Sepertinya aku dapat menebak usulan yang disampaikan oleh Sialang Babega itu.”“Yah,” sahut Rajo Bungsu dan diikuti dengan helaan napas yang panjang. “Engkau benar. Sebuah perjodohan.”Baru
Sondang Tiur berdiri tenang di tepi kolam dengan air mengalir di belakang istana. Pemandangan taman belakang istana cukup mengagumkan baginya, terutama dengan keberadaan kolam besar dengan bermacam ikan hias di dalamnya, juga rumpun-rumpun bunga dan tanaman hias yang menghiasi taman tersebut.Di sudut lain, Rajo Bungsu dan Gadih Cimpago memerhatikannya dari jauh.“Kenapa tidak memberitahukan saja kepadanya,” ujar Gadih Cimpago. “Paduko?”Rao Bungsu mengernyit dan melirik wanita sakti di sampingnya. “Apa yang engkau maksudkan, Gadih?”Sang wanita tersenyum. “Paduko pasti tahu dengan baik kemampuanku, bukan?”Rajo Bungsu menghela napas dalam-dalam. “Kurasa tidak satu pun rahasia di istano ini yang tidak engkau ketahui.”Gadih Cimpago tersenyum saja menanggapi. “Jika Paduko meminta pendapatku, maka aku akan berkata tidak ada yang salah di sini. Semua terjadi tanpa dapat dikendalikan oleh manusia, bahkan seorang raja sekalipun. Lagi pula, gadis itu datang hanya demi menyambung tali persau
Dengan langkah yang santai, Sondang Tiur dan Gadih Cimpago meninggalkan Gerbang Utara. Para penjaga gerbang yang mengenal keduanya sama menyapa dengan hangat.“Uni Gadih,” ujar si gadis Batak. “Engkau tidak perlu berpenat-penat mengantarku begini.”Namun perempuan yang tidak muda lagi itu justru terkikik menanggapi.“Oh, percayalah padaku, Tiur,” balasnya. “Ini rahasia di antara kita berdua.”Sondang Tiur mengernyit.“Aku sering meninggalkan istana,” lanjut Gadih Cimpago. “Terutama, di malam hari. Kau tahu, terkadang suasana yang menyenangkan mampu membuat kita terlena dan bermalas-malasan.”Si gadis Batak tersenyum lebar. “Ahh, sepertinya aku dapat memahami maksud Uni.”“Itu yang aku harapkan!” Gadih Cimpago terkikik seraya menowel pipi Sondang Tiur. “Jadi, kau tidak perlu sungkan. Kuharap, tidak saja ayahmu dengan Yang Mulia Paduko menjalin persaudaraan, tapi juga aku dan dirimu.”“Oh, Dewa …” Sondang Tiur tersenyum lebih manis. “Dengan senang hati, Uni. Dengan senang hati. Bukankah
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari dengan berkuda, Puti Bungo Satangkai dan si Kumbang Janti tiba di satu kawasan bernama Nagari Muara Tais. Kelak, kawasan ini berada di segitiga perbatasan Provinsi Sumatra Barat dengan Provinsi Riau di sebelah timur, dan Provinsi Sumatra Utara di bagian utara.“Bungo!” teriak si Kumbang Janti. “Sebaiknya kita beristirahat saja di sini. Lihat, di depan ada aliran sungai!”Sang gadis hanya menjawab dengan senyumannya saja, dia sudah melihat aliran sungai kecil tersebut.Bungo melompat turun dari kudanya, lalu membiarkan kuda hitam legam itu untuk merumput dan beristirahat.“Perjalanan kita masih sangat jauh, Bungo.” Si Kumbang Janti membiarkan kuda betina coklat itu untuk beristirahat pula. “Tidak ada gunanya berkuda tanpa istirahat.”Sang gadis berjongkok di tepian sungai, membasuh tangan dan mukanya.Tidak banyak hal yang bisa dibicarakan dengan sepupu jauhnya tersebut lantaran dia yang tidak begitu memahami bahasa isyarat.‘Oh, Dewata … perjal
“Tuan Gadih, apakah engkau yakin? Aku merasa tidak pantas menerima apa pun darimu. Lagi pula, engkau sudah dengan bermurah hati menyembuhkanku. Aku tidak merasa bahwa aku harus―”“Oh, berhentilah berkicau, Antaguna. Kau bukan seorang anak kecil!”“Maafkan aku.” Antaguna tertunduk.“Kecuali bila kau memandang rendah kesaktianku, maka aku―”“Tidak, Tuan Gadih,” ucap Antaguna. “Bagaimana mungkin aku akan berpikiran seperti itu? Meskipun orang-orang mengenalku sebagai seorang yang jahat sebelum ini, aku tidak pernah melupakan kebaikan seseorang kepadaku.”Puto Champo yang bernama asli Hoa Nhai itu terkikik halus.“Aku tidak peduli dengan masa lalu seseorang, Anak Muda,” balasnya. “Bagiku, sudah sangat jelas engkau berjodoh denganku. Untuk itulah, aku akan menurunkan kesaktianku padamu. Suka ataupun tidak.”“Kupikir pertemuan kita hanyalah kebetulan semata, Tuan Gadih. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Meski demikian, tetap saja, aku sangat berterima kasih padamu.” Antaguna membungkuk
Puluhan tombak ke arah hulu sungai, Puti Bungo Satangkai dan si Kumbang Janti menemukan perkelahian dari belasan orang di satu tanah datar, tepat di samping sungai itu sendiri.Perkelahian itu terlihat sangat tidak seimbang. Selusin orang dengan tombak, golok, dan pedang mengeroyok lima orang lainnya.“Hei!” bisik si Kumbang Janti pada sang gadis. “Kurasa orang-orang yang bertombak itu adalah orang-orang Kerajaan Toba Tua.”Bungo melirik sepupu jauhnya tersebut dengan kening mengernyit seolah bertanya dari mana dia mengetahui hal ini.“Lihat pakaian mereka,” balas si Kumbang Janti seakan memahami arti pandangan sang gadis. “Sama. Mereka memakai pakaian yang sama. Sedangkan lima orang lainnya, mereka terlihat seperti para penjahat. Entahlah, ini penilaianku saja.”Berarti mayat pria muda yang aku temukan tadi adalah bagian dari lima orang yang dikeroyok itu, pikir Bungo.Tapi ada yang aneh, pikir sang gadis lebih lanjut. Mayat yang tadi, dan lima orang yang bertarung mati-matian melawa