“Tuan Gadih, apakah engkau yakin? Aku merasa tidak pantas menerima apa pun darimu. Lagi pula, engkau sudah dengan bermurah hati menyembuhkanku. Aku tidak merasa bahwa aku harus―”“Oh, berhentilah berkicau, Antaguna. Kau bukan seorang anak kecil!”“Maafkan aku.” Antaguna tertunduk.“Kecuali bila kau memandang rendah kesaktianku, maka aku―”“Tidak, Tuan Gadih,” ucap Antaguna. “Bagaimana mungkin aku akan berpikiran seperti itu? Meskipun orang-orang mengenalku sebagai seorang yang jahat sebelum ini, aku tidak pernah melupakan kebaikan seseorang kepadaku.”Puto Champo yang bernama asli Hoa Nhai itu terkikik halus.“Aku tidak peduli dengan masa lalu seseorang, Anak Muda,” balasnya. “Bagiku, sudah sangat jelas engkau berjodoh denganku. Untuk itulah, aku akan menurunkan kesaktianku padamu. Suka ataupun tidak.”“Kupikir pertemuan kita hanyalah kebetulan semata, Tuan Gadih. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Meski demikian, tetap saja, aku sangat berterima kasih padamu.” Antaguna membungkuk
Puluhan tombak ke arah hulu sungai, Puti Bungo Satangkai dan si Kumbang Janti menemukan perkelahian dari belasan orang di satu tanah datar, tepat di samping sungai itu sendiri.Perkelahian itu terlihat sangat tidak seimbang. Selusin orang dengan tombak, golok, dan pedang mengeroyok lima orang lainnya.“Hei!” bisik si Kumbang Janti pada sang gadis. “Kurasa orang-orang yang bertombak itu adalah orang-orang Kerajaan Toba Tua.”Bungo melirik sepupu jauhnya tersebut dengan kening mengernyit seolah bertanya dari mana dia mengetahui hal ini.“Lihat pakaian mereka,” balas si Kumbang Janti seakan memahami arti pandangan sang gadis. “Sama. Mereka memakai pakaian yang sama. Sedangkan lima orang lainnya, mereka terlihat seperti para penjahat. Entahlah, ini penilaianku saja.”Berarti mayat pria muda yang aku temukan tadi adalah bagian dari lima orang yang dikeroyok itu, pikir Bungo.Tapi ada yang aneh, pikir sang gadis lebih lanjut. Mayat yang tadi, dan lima orang yang bertarung mati-matian melawa
“Ahh, ternyata begitu permasalahannya rupanya.” Si Kumbang Janti mengangguk-angguk.Meski dengan sebelah telinga kanannya saja, namun Puti Bungo Satangkai dapat mendengar percakapan si Kumbang Janti dengan keempat prajurit yang berjuluk Tambok Babiat atau Benteng Harimau tersebut.“Menyingkir sekarang atau aku tidak akan segan-segan mencabik-cabik wajah indahmu itu, gadis asing!” teriak si wanita yang dicap sebagai pengkhianat itu oleh para prajurit.Bungo menyeringai tipis.“Saudara,” ucap salah seorang prajurit pada si Kumbang Janti. “Jangan biarkan gadis cantik itu berhadapan dengan mereka. Mereka orang-orang yang bengis!”“Jangan khawatir,” balas si Kumbang Janti dengan senyuman. “Meskipun dia bisu, tapi kesaktiannya jauh di atasku.”Empat prajurit mengernyit.“Bisu?” ulang prajurit ketiga.Si Kumbang Janti mengangguk.“Tapi orang-orang itu―”“Lihat saja!” kata si Kumbang Janti seraya memandang pada Bungo di depan sana.“Menyingkirlah kau, gadis asing!” Wanita yang sama mengacungk
Meskipun sudah mengejar perempuan yang membawa lari pedang pusaka itu dengan ajian Kumbang Babega, namun si Kumbang Janti cukup terkejut sata mendapati si perempuan ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup mumpuni.‘Tentu saja! Bila tidak, tidak mungkin dia bisa mencuri Piso Gading!’Tidak ingin perempuan itu berlalu begitu saja, si Kumbang Janti mengalirkan tenaga dalam ke kedua tangannya.Teph!Memanfaatkan sebuah pohon untuk mendorong tubuhnya lebih cepat, si Kumbang Janti lantas melepaskan pukulan jarak jauh ke arah si perempuan.Dua gelombang angin menderu dengan ganas dari tangan si Kumbang Janti bergantian. Lebih cepat dengan mengandung hawa membunuh yang sangat kuat.Perempuan itu menggeram dalam langkahnya yang cepat. Lalu dia mengibaskan Piso Gading di tangannya ke arah belakang.Swing!Si Kumbang Janti membelalak dan langsung melontarkan tubuhnya ke kanan. Angin tajam dari tebasan pedang pusaka itu bahkan terlihat berwarna kehitaman. Begitu ganas dan begitu dingi
Akan tetapi, si Kumbang Janti berhasil memperpendek jarak di antara keduanya sehingga tendangan itu tidak bisa dilepaskan dengan sepenuhnya. Justru, gerakan itu membuat Langkupa Sibirong terdorong ke belakang dan menjadi limbung.Si Kumbang Janti semakin merunduk rendah hingga hampir menyentuh permukaan tanah. Dia menggunakan satu tangannya sebagai tumpuan, lalu memutar tubuhnya sedemikian rupa.Dugh! Dugh!Heck!Langkupa Sibirong yang dalam keadaan terhuyung karena dorongan si Kumbang Janti sebelumnya lalu terkena dua tendangan berturut-turut, di perut dan dadanya.Dia melenguh pendek dan terpental, lalu terguling sekali, dan kembali bangkit dengan cepat.“Keparat kau!”Si mantan Datuk Hulubalang menyeringai. “Bukankah kau mengatakan aku akan mati dalam jurus selanjutnya? Atau, kau hanya menggertak sambal saja?”“Oh, akan kucincang kau sampai tak berbentuk, orang Minanga!”Swing!Langkupa Sibirong kembali melesat dengan tangan mengembang ke samping. Sementara si Kumbang Janti telah b
Baru saja keempat Tambok Babiat tercengang dengan kecepatan Puti Bungo Satangkai yang menjatuhkan pria bergolok, kini mereka kembali dibuat terkagum-kagum dengan sang gadis yang tahu-tahu telah mencengkeram leher pria berpisau melengkung.“Le-Lepaskan aku, jahanam!” Sang pria menggerakkan senjatanya.Namun dengan cepat, Bungo menghentikan pergerakan tangan kanan sang pria dengan tangan kirinya.Krakk!Sang pria menjerit setinggi langit. Tangan kanannya patah terkena tinju tangan kiri sang gadis, dan pisau melengkungnya terlepas, lalu jatuh dan menancap ke tanah.Pria ketiga melompat ke belakang Bungo, lalu mengebutkan tangannya berkali-kali. Belasan jarum hortuk melesat dan bahkan mengeluarkan suara berdesing seolah jarum-jarum itu terbuat dari besi.Mengira bahwa serangan membokongnya itu akan berhasil, si pria justru semakin kesal dengan kemarahan yang menggelegak.Bungo yang tak hendak tersentuh oleh jarum-jarum besar beracun itu dengan sengaja berpindah tempat dengan memutar tubuh
Puti Bungo Satangkai menggerakan jari-jari tangan kanannya sedemikian rupa. Karih Narako melesat kembali kepadanya, berputar perlahan sejengkal di atas telapak tangannya, sebelum akhirnya ia genggam, dan disimpan ke balik pakaiannya.Empat Tambok Babiat hanya bia menganga dengan mata tak berkedip menyaksikan kesaktian si gadis bisu.“Kalian lihat yang barusan?” Prajurit pertama menelan ludah, dan tiga temannya hanya mampu mengangguk saja.Begitu sang gadis hendak melangkah ke arah lainnya, salah seorang dari Tambok Babiat menghentikannya.“Nona, kau mau kemana?”Bungo memandangi empat pria yang berada belasan langkah di sisi lain. Lalu pada prajurit kedua yang barusan bertanya kepadanya.Dia ragu jika para pria itu akan memahami bahasa isyaratnya. Dan untuk itu, dia hanya menunjuk ke satu arah, arah di mana tadi si Kumbang Janti mengejar seorang perempuan yang membekal Piso Gading.Seolah memahami, prajurit kedua mengajak tiga temannya untuk mengikuti sang gadis.“Hei, kita harus meng
Sondang Tiur menyeringai tipis. Tatapan tajamnya tertuju pada Piso Gading di tangan Langkupa Sibirong.Tanpa bertanya sekalipun, sang gadis sudah maklum jika wanita yang satu itu telah mencuri pusaka milik Kerajaan Toba Tua.Dengan alasan apa pun, tidak pernah Piso Gading jatuh ke tangan orang sembarangan, apalagi digunakan untuk membunuh orang lain, pikirnya.“Jawab aku, gadis keparat!”Meskipun Langkupa Sibirong tidak mengenal Sondang Tiur, tapi dia cukup merasa gemetar dengan kesaktian yang dimiliki oleh sang gadis yang ia sebut sebagai Begu Bontar tadi. Atau bermakna, Hantu Putih.Satu-satunya pendekar di Tanah Batak yang sangat terkenal dengan kesaktian serupa dengan nama aslinya adalah Begu Bontar Tinada atau Hantu Putih dari Tinada itu adalah Sohatahutan.Dan tentu saja, dengan alasan yang sama jugalah Langkupa Sibirong merasa sedikit cemas. Sebab, mungkin saja gadis di hadapannya itu adalah muridnya si Sohatahutan. Setidaknya, inilah yang dipikirkan oleh perempuan tersebut ke
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau