Baru saja keempat Tambok Babiat tercengang dengan kecepatan Puti Bungo Satangkai yang menjatuhkan pria bergolok, kini mereka kembali dibuat terkagum-kagum dengan sang gadis yang tahu-tahu telah mencengkeram leher pria berpisau melengkung.“Le-Lepaskan aku, jahanam!” Sang pria menggerakkan senjatanya.Namun dengan cepat, Bungo menghentikan pergerakan tangan kanan sang pria dengan tangan kirinya.Krakk!Sang pria menjerit setinggi langit. Tangan kanannya patah terkena tinju tangan kiri sang gadis, dan pisau melengkungnya terlepas, lalu jatuh dan menancap ke tanah.Pria ketiga melompat ke belakang Bungo, lalu mengebutkan tangannya berkali-kali. Belasan jarum hortuk melesat dan bahkan mengeluarkan suara berdesing seolah jarum-jarum itu terbuat dari besi.Mengira bahwa serangan membokongnya itu akan berhasil, si pria justru semakin kesal dengan kemarahan yang menggelegak.Bungo yang tak hendak tersentuh oleh jarum-jarum besar beracun itu dengan sengaja berpindah tempat dengan memutar tubuh
Puti Bungo Satangkai menggerakan jari-jari tangan kanannya sedemikian rupa. Karih Narako melesat kembali kepadanya, berputar perlahan sejengkal di atas telapak tangannya, sebelum akhirnya ia genggam, dan disimpan ke balik pakaiannya.Empat Tambok Babiat hanya bia menganga dengan mata tak berkedip menyaksikan kesaktian si gadis bisu.“Kalian lihat yang barusan?” Prajurit pertama menelan ludah, dan tiga temannya hanya mampu mengangguk saja.Begitu sang gadis hendak melangkah ke arah lainnya, salah seorang dari Tambok Babiat menghentikannya.“Nona, kau mau kemana?”Bungo memandangi empat pria yang berada belasan langkah di sisi lain. Lalu pada prajurit kedua yang barusan bertanya kepadanya.Dia ragu jika para pria itu akan memahami bahasa isyaratnya. Dan untuk itu, dia hanya menunjuk ke satu arah, arah di mana tadi si Kumbang Janti mengejar seorang perempuan yang membekal Piso Gading.Seolah memahami, prajurit kedua mengajak tiga temannya untuk mengikuti sang gadis.“Hei, kita harus meng
Sondang Tiur menyeringai tipis. Tatapan tajamnya tertuju pada Piso Gading di tangan Langkupa Sibirong.Tanpa bertanya sekalipun, sang gadis sudah maklum jika wanita yang satu itu telah mencuri pusaka milik Kerajaan Toba Tua.Dengan alasan apa pun, tidak pernah Piso Gading jatuh ke tangan orang sembarangan, apalagi digunakan untuk membunuh orang lain, pikirnya.“Jawab aku, gadis keparat!”Meskipun Langkupa Sibirong tidak mengenal Sondang Tiur, tapi dia cukup merasa gemetar dengan kesaktian yang dimiliki oleh sang gadis yang ia sebut sebagai Begu Bontar tadi. Atau bermakna, Hantu Putih.Satu-satunya pendekar di Tanah Batak yang sangat terkenal dengan kesaktian serupa dengan nama aslinya adalah Begu Bontar Tinada atau Hantu Putih dari Tinada itu adalah Sohatahutan.Dan tentu saja, dengan alasan yang sama jugalah Langkupa Sibirong merasa sedikit cemas. Sebab, mungkin saja gadis di hadapannya itu adalah muridnya si Sohatahutan. Setidaknya, inilah yang dipikirkan oleh perempuan tersebut ke
Empat Tambok Babiat sama tercekat. Sementara Sondang Tiur mengernyit menyaksikan bagaimana kepala Langkupa Sibirong hancur menjadi serpihan bersamaan dengan darah dan cairan otaknya yang berhamburan.Yaah, Puti Bungo Satangkai yang dalam kemurkaannya telah menggunakan Telapak Penghancur Raga untuk membunuh Langkupa Sibirong.Tubuh tanpa kepala itu masih berdiri untuk sesaat dan bergetar hebat sebelum akhirnya tumbang, tertelungkup di tanah. Sementara Piso Gading telah berpindah ke tangan si gadis bisu.‘Senjata ini bukan hakmu!’Bungo menatap gadis cantik berwajah tegas yang tubuhnya diselubungi asap putih. Dari keadaan yang hanya beberapa saat saja ia saksikan sebelumnya, Bungo berkesimpulan bahwa gadis yang satu itu bukanlah seorang yang jahat, atau seseorang yang harus ia khawatirkan.Bagaimanapun, dia tidak merasakan hawa membunuh dari gadis tersebut.Lalu dia berpaling ke belakang, pada empat Tambok Babiat yang masih berdiri di dekat mayat si Kumbang Janti.Dengan langkah yang se
Puti Bungo Satangkai hanya berdiri dengan tatapan nanar pada api membara yang membakar tumpukan kayu dan ranting di hadapannya. Di tengah-tengah tumpukan ranting dan kayu itulah jasad si Kumbang Janti berada, di antara kobaran api.Air matanya terus bergulir menuruni pipinya yang memerah. Sementara di samping kirinya Sondang Tiur berdiri dengan keheningan.Begitu juga dengan empat Tambok Babiat yang tersisa, semua hening dalam duka yang besar.Sebelumnya, keempat prajurit Kerajaan Toba Tua itu telah mengubur jasad-jasad teman mereka yang gugur. Pun demikian dengan mayat Langkupa Sibirong serta keempat rekannya. Dan ketika mereka menawarkan untuk mengubur si Kumbang Janti, Bungo menolak itu.Sang gadis hendak membawa si Kumbang Janti kembali ke Tanah Minanga setelah dia menyelesaikan tugasnya nanti. Dan satu-satunya cara adalah dengan hanya membawa abu pembakarannya.Itu pula alasannya mengapa Bungo lebih memilih membakar jasad si Kumbang Janti.Setidaknya, dia melakukan ini demi membe
“Aku tahu.” Sondang Tiur menghela napas dalam-dalam. “Tulang Masuga juga sudah menyampaikan padaku bahwa abangmu, si Buyung Kacinduaan itu telah menjadi suami bagi Ratu Mudo. Mana mungkin aku akan menjadi orang ketiga di antara mereka, kan?”Dengan masih sedikit kebingungan, Puti Bungo Satangkai hanya mengangguk saja. Sementara keempat prajurit cukup tertarik untuk mendengar lebih jauh tentang hal tersebut dari Sondang Tiur.“Aku tidak mau dimadu. Lagi pula, telah berulang kali orang-orang Istana Minanga mengutus prajurit untuk mencari keberadaan keduanya. Dan sampai terakhir kali aku di Minanga, tidak seorang pun yang mengetahui di mana abangmu dan kakak iparmu itu berada.”‘Ya. Aku sendiri pun belum pernah bertemu dengan abangku itu, juga kakak iparku sama sekali.’“Itulah yang aku dengar dari orang-orang di Istano Minanga.” Sondang Tiur terkikik lagi sembari merangkul bahu Bungo.‘Oh, tidak. Jangan bilang kau―’“Apa?” Justru kini Sondang Tiur lah yang membelalak lebar. “Dasar gila!
Tiga hari berselang, Rajo Bungsu menerima tiga tamu yang datang dari Utara di Istano Minanga. Ketiga tamu itu adalah Tambok Parjolo, kelompok tertinggi dari Tambok Babiat, prajurit Toba Tua yang datang dengan membawa sebuah kendi.Rajo Bungsu, Ratu Nan Sabatang, para Hulubalang Kerajaan yang kini hanya tersisa lima orang saja sebab si Balam Putiah masih berada di dalam penjara, dan Sembilan Cadiak Pandai hanya bisa terdiam dengan duka yang mendalam.Sang Raja Minanga bersedih hati sembari memeluk kendi tersebut, kendi yang berisi abu pembakaran jasad si Kumbang Janti.Sementara Gadih Cimpago hanya bisa diam, mendengarkan semua pembicaraan itu dari ruangan berbeda sebab dia sedang mengasuh Pangeran Rupawarman yang masih kecil.Dari ketiga Tambok Parjolo itu pula Rajo Bungsu dan yang lainnya mengetahui perihal kematian si Kumbang Janti. Tentang jasanya yang membantu mengembalikan Piso Gading, pusaka Toba Tua bersama dengan Puti Bungo Satangkai.Mereka juga mengabarkan pada orang-orang d
Selat Malaka, sebelah timur Pulau Telaga Tujuh. Sebuah sampan kecil terombang-ambing di tengah-tengah kegelapan. Tapi ajaibnya, sampan itu tidak maju tidak pula mundur. Tetap kembali pada titiknya meski permukaan laut cukup bergelombang dengan embusan angin yang cukup kencang.Seseorang berdiri dengan sangat tenang di atas sampan itu. Perhatiannya tertuju pada cahaya-cahaya pelita yang bergoyang-goyang perlahan.Pelita-pelita itu berasal dari tiga kapal yang entah dengan alasan apa sengaja berhenti di tengah-tengah laut.Tatapan seseorang tersebut bukanlah sebuah kekaguman pada cahaya-cahaya pelita yang seperti cahaya kunang-kunang yang sedang menari, melainkan ada kebencian dan kemarahan dalam sorot matanya.Dia punya alasan yang cukup kuat untuk itu. Sebab, tiga kapal besar itu adalah kapal-kapal milik satu kelompok bajak laut.Dan seseorang yang berdiri tenang di atas sampannya itu adalah seorang pria kisaran 60 tahun dengan kumis dan jenggotnya yang cukup panjang dan awut-awutan d