Tiga hari berselang, Rajo Bungsu menerima tiga tamu yang datang dari Utara di Istano Minanga. Ketiga tamu itu adalah Tambok Parjolo, kelompok tertinggi dari Tambok Babiat, prajurit Toba Tua yang datang dengan membawa sebuah kendi.Rajo Bungsu, Ratu Nan Sabatang, para Hulubalang Kerajaan yang kini hanya tersisa lima orang saja sebab si Balam Putiah masih berada di dalam penjara, dan Sembilan Cadiak Pandai hanya bisa terdiam dengan duka yang mendalam.Sang Raja Minanga bersedih hati sembari memeluk kendi tersebut, kendi yang berisi abu pembakaran jasad si Kumbang Janti.Sementara Gadih Cimpago hanya bisa diam, mendengarkan semua pembicaraan itu dari ruangan berbeda sebab dia sedang mengasuh Pangeran Rupawarman yang masih kecil.Dari ketiga Tambok Parjolo itu pula Rajo Bungsu dan yang lainnya mengetahui perihal kematian si Kumbang Janti. Tentang jasanya yang membantu mengembalikan Piso Gading, pusaka Toba Tua bersama dengan Puti Bungo Satangkai.Mereka juga mengabarkan pada orang-orang d
Selat Malaka, sebelah timur Pulau Telaga Tujuh. Sebuah sampan kecil terombang-ambing di tengah-tengah kegelapan. Tapi ajaibnya, sampan itu tidak maju tidak pula mundur. Tetap kembali pada titiknya meski permukaan laut cukup bergelombang dengan embusan angin yang cukup kencang.Seseorang berdiri dengan sangat tenang di atas sampan itu. Perhatiannya tertuju pada cahaya-cahaya pelita yang bergoyang-goyang perlahan.Pelita-pelita itu berasal dari tiga kapal yang entah dengan alasan apa sengaja berhenti di tengah-tengah laut.Tatapan seseorang tersebut bukanlah sebuah kekaguman pada cahaya-cahaya pelita yang seperti cahaya kunang-kunang yang sedang menari, melainkan ada kebencian dan kemarahan dalam sorot matanya.Dia punya alasan yang cukup kuat untuk itu. Sebab, tiga kapal besar itu adalah kapal-kapal milik satu kelompok bajak laut.Dan seseorang yang berdiri tenang di atas sampannya itu adalah seorang pria kisaran 60 tahun dengan kumis dan jenggotnya yang cukup panjang dan awut-awutan d
Setelah berkuda berhari-hari tanpa halangan yang berarti, kini Puti Bungo Satangkai dan Sondang Tiur di satu kawasan yang dipenuhi oleh hutan bakau yang begitu lebat.Mereka tidak lagi memacu kuda masing-masing dengan cepat melainkan melangkah dengan cukup santai. Lagi pula, mereka tidak ingin kuda-kuda itu terperosok karena salah menginjak tanah yang lembek.Saat sedang beristirahat di satu titik yang tanahnya lebih keras dan tidak terlalu rapat oleh pohon-pohon bakau, Bungo bertanya pada si gadis Batak.‘Apakah kau tahu di mana kita berada sekarang ini?’Sondang Tiur mendesah halus seraya memutar pandangannya ke sekitar. “Jika aku tidak salah menduga, kita sudah berada di kawasan Tamiang. Sedikit lagi, kita akan bisa melanjutkan perjalanan ke Pulau Telaga Tujuh dengan perahu. Kurasa pulau itu berada di sisi barat laut dari pantai terdekat dari sini.”Bungo mengangguk-angguk saja. Bagaimanapun, dia sangat mengandalkan Sondang Tiur untuk dapat membawanya ke pulau tujuan mereka.“Orang
“Apa yang telah terjadi di sini?” Sondang Tiur membelalak.Si gadis Batak lalu turun dari punggung kudanya. Begitu juga halnya dengan Puti Bungo Satangkai.Gubuk-gubuk warga yang hanya berjumlah belasan saja di kawasan itu telah luluh-lantak, rata dengan tanah. Sebagian bahkan hanya menyisakan tumpukan arang yang masih mengepulkan asap tipis.Beberapa tubuh bergeletakkan di banyak titik, semuanya dalam kondisi mengenaskan. Orang tua, dewasa, hingga anak-anak.Sondang Tiur mereguk ludah, menatap Bungo dengan kemarahan yang begitu nyata dari sorot matanya itu.‘Sesuatu telah membunuh penduduk di sini!’Si gadis Batak mengangguk. Dia mengajak Bungo untuk mencari-cari di sekitar sana, barangkali ada warga yang masih hidup atau setidaknya, selamat dari apa pun yang telah menyerang mereka sebelumnya.Kedua gadis itu tertegun ketika menemukan seseorang yang sepertinya selamat dari kematian, di sisi barat dari kawasan pantai tersebut.Seorang pria yang sudah sangat tua. Kumis dan jenggotnya b
Pria tua menghela napas dalam-dalam, tatapannya kembali ke tengah-tengah laut.“Apakah yang kalian maksud adalah Mangkus si orang Senoi itu?”Sondang Tiur melirik Puti Bungo Satangkai, dan di gadis bisu kemudian mengangguk, memastikan bahwa pemilik nama itulah yang hendak mereka temui.Akan tetapi, baik Bungo maupun Sondang Tiur sama sekali tidak tahu pria bernama Mangkus itu berasal dari suku apa. Mungkin dia memang dari Suku Senoi seperti yang dikatakan pria tua barusan.“Benar, Apa Tua.”“Aku tidak bisa melarang kalian untuk pergi ke pulau itu, kalian punya kaki dan tujuan sendiri.” Pria tua berbalik, melangkah pelan menuju satu gubuk yang telah roboh.Sondang Tiur kembali melirik pada Bungo, keduanya hanya bisa mengendikkan bahu.Yaah, pikir Bungo. Memang tidak mungkin untuk memaksa seseorang yang sedang dalam suasana berduka yang besar.“Hei!” Si gadis Batak berbisik pada si gadis Minanga. “Kupikir mungkin itu gubuknya.”Bungo mengernyit lalu menggerak-gerakkan tangannya. ‘Kau pi
“Oh, aku benci perjalanan laut!” Sondang Tiur memonyongkan bibirnya sedemikian rupa. “Ini membuat kepalu pening. Kau tahu itu? Bisa-bisa aku muntah di sampan ini.”Puti Bungo Satangkai hanya bisa tertawa-tawa menanggapi. Meski berkata demikian, si gadis Batak itu kenyataannya tidak muntah sama sekali. Entah dia sedang bergurau atau pula bersungguh-sungguh. Tapi yang pasti, mimik wajah dan tubuhnya itu sangat konyol, pikirnya.“Kau terbiasa dengan laut, hah?”Sondang Tiur menemukan bahwa si gadis bisu sangat piawai mendayung sampan. Bahkan, dia terkesan mendayung pelan dan hanya sesekali saja. Akan tetapi, sampan mereka melaju dengan cukup cepat, seolah didayung oleh sepuluh orang sekaligus.‘Aku tinggal di satu pulau terpencil,’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.“Pulau terpencil?” Sondang Tiur mengernyit. “Ahh … benar juga. Bodohnya aku.” Dia terkikik sendiri. “Padahal, Tulang Masuga sudah memberi tahu aku perihal dirimu. Astaga!” Sang gadis menepuk keningnya sendiri
Saat sang mentari telah berada di titik sepertiga awalnya di ufuk timur, Puti Bungo Satangkai dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Pulau Pusong atau Pulau Telaga Tujuh, di pantai bagian selatan pulau.Hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa pulau itu seperti tidak berpenghuni saja atau setidaknya, telah lama ditinggalkan entah oleh siapa pun yang pernah tinggal di sana.Dan si gadis bisu mulai meragukan hikayat tentang Aulia Tujuh yang pernah disinggung Sondang Tiur kepadanya sehari yang lalu.‘Lihat semak belukar ini! Rumpun mereka terlalu subur seolah tidak pernah terinjak kaki manusia.’Si gadis Batak menghela napas dalam-dalam. “Kita akan periksa lebih jauh. Tapi yang pasti, mari kita amankan terlebih dahulu sampan ini.”Meski sampan kecil itu terlihat berat, bagi keduanya itu terasa lebih ringan. Sampan kecil mereka simpan ke balik sebuah belukar sebelum akhirnya masuk lebih dalam ke belantara pulau.Lama mencari, mereka tidak menemukan sebarang gubuk pun, tidak pula tujuh tel
“Puluhan tahun,” Tengku Mangkus memerhatikan si gadis bisu di hadapannya. “Tidak pernah ada orang yang mengetahui bahwa aku memegang kelopak ketujuh Teratai Abadi. Lalu kini, kalian tiba-tiba muncul di sini dan menyinggung perihal benda itu. Katakan padaku, apa tujuan kalian sebenarnya?”“Tengku Mangkus!” Sondang Tiur melihat gelagat yang tidak baik dari pria paruh baya. “Tunggu sebentar. Jangan salah menyangka. Hei, Bungo, katakan sesuatu! Dan aku, aku baru mendengar tentang ini. Apa itu Teratai Abadi?”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam. Dari balik pakaiannya, dia mengeluarkan dua kelopak Teratai Abadi dan memperlihatkannya pada mereka, terutama pada Tengku Mangkus agar pria itu percaya kepadanya.“Dari siapa kau mendapatkan kedua kelopak itu?” Tengku Mangkus semakin menaruh curiga pada si gadis biru. “Jawab aku!”Bungo mahfum dengan sikap yang ditunjukkan oleh pria paruh baya padanya. Dia sama sekali tidak tersinggung.Toh, memang sudah menjadi kewajiban bagi si pria u
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau