Saat sang mentari telah berada di titik sepertiga awalnya di ufuk timur, Puti Bungo Satangkai dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Pulau Pusong atau Pulau Telaga Tujuh, di pantai bagian selatan pulau.Hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa pulau itu seperti tidak berpenghuni saja atau setidaknya, telah lama ditinggalkan entah oleh siapa pun yang pernah tinggal di sana.Dan si gadis bisu mulai meragukan hikayat tentang Aulia Tujuh yang pernah disinggung Sondang Tiur kepadanya sehari yang lalu.‘Lihat semak belukar ini! Rumpun mereka terlalu subur seolah tidak pernah terinjak kaki manusia.’Si gadis Batak menghela napas dalam-dalam. “Kita akan periksa lebih jauh. Tapi yang pasti, mari kita amankan terlebih dahulu sampan ini.”Meski sampan kecil itu terlihat berat, bagi keduanya itu terasa lebih ringan. Sampan kecil mereka simpan ke balik sebuah belukar sebelum akhirnya masuk lebih dalam ke belantara pulau.Lama mencari, mereka tidak menemukan sebarang gubuk pun, tidak pula tujuh tel
“Puluhan tahun,” Tengku Mangkus memerhatikan si gadis bisu di hadapannya. “Tidak pernah ada orang yang mengetahui bahwa aku memegang kelopak ketujuh Teratai Abadi. Lalu kini, kalian tiba-tiba muncul di sini dan menyinggung perihal benda itu. Katakan padaku, apa tujuan kalian sebenarnya?”“Tengku Mangkus!” Sondang Tiur melihat gelagat yang tidak baik dari pria paruh baya. “Tunggu sebentar. Jangan salah menyangka. Hei, Bungo, katakan sesuatu! Dan aku, aku baru mendengar tentang ini. Apa itu Teratai Abadi?”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam. Dari balik pakaiannya, dia mengeluarkan dua kelopak Teratai Abadi dan memperlihatkannya pada mereka, terutama pada Tengku Mangkus agar pria itu percaya kepadanya.“Dari siapa kau mendapatkan kedua kelopak itu?” Tengku Mangkus semakin menaruh curiga pada si gadis biru. “Jawab aku!”Bungo mahfum dengan sikap yang ditunjukkan oleh pria paruh baya padanya. Dia sama sekali tidak tersinggung.Toh, memang sudah menjadi kewajiban bagi si pria u
“Benar!” Tengku Mangkus menghela napas lebih dalam. “Aku melihat kalian berdua bukanlah gadis sembarangan. Jadi, mungkin aku akan bisa meminta bantuan kalian dengan apa yang sedang terjadi di kawasan ini.”Sondang Tiur memandang Puti Bungo Satangkai, keduanya saling mengangguk.“Apakah yang Tengku maksudkan itu tentang kejadian yang menimpa penduduk di desa seberang?” Si gadis Batak menunjuk ke arah selatan.Pria paruh baya mengangguk dan tertunduk, seolah sedang menekan rasa duka yang begitu besar.Bungo kembali memastikan ketika Sondang Tiur meliriknya. Lagi pula, dia ingin segera menuntaskan tugasnya di sini, lalu kembali ke Kerinci untuk mendapatkan kelopak kelima, mengantarkan semua kelopak yang telah dia dapat pada Rajo Bungsu si Batang Kuantan, dan kemudian menghilang dari Tanah Andalas ini.Jadi, apa pun syarat yang diberikan, Bungo berniat untuk menerima semua itu.Sondang Tiur memahami arti pandangan si gadis bisu dan juga mimik tubuhnya.“Baiklah, Tengku,” ujarnya. “Katakan
“Baiklah, baiklah!” Tengku Mangkus mendesah panjang.Bagaimanapun, membiarkan kedua gadis itu berhadapan dengan ratusan perompak sepertinya ini adalah sebuah gagasan buruk. Tapi semua sudah terlanjur, pikirnya. Lagi pula, dia sangat berharap bahwa kemampuan dua gadis itu melebihi apa yang dia duga.“Tapi berjanjilah padaku,” lanjutnya. “Jika keadaan tidak memungkinkan, tolong kembalilah. Jangan memaksakan diri kalian!”Puti Bungo Satangkai tersenyum dan mengangguk.“Ayo, Bungo!” Sondang Tiur mendahului si gadis bisu untuk menuju ke sampan yang tersembunyi di sisi kanan. “Kita habisi jahanam-jahanam itu!”Sementara Bungo dan Sondang Tiur perlahan-lahan menuju ke tengah laut dalam kegelapan, Tengku Mangkus berpindah dari balik batu karang besar itu ke satu dahan pohon yang cukup besar dan tinggi.Dari pijakannya sekarang ini, pria paruh baya dapat melihat sedikit lebih baik ke tengah-tengah laut.“Oh, Simpai Gilo … Kuharap aku tidak mencelakakan muridmu,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Jeritan kesakitan dan kematian bercampur baur dengan teriakan-teriakan dari Bahritunggang yang terus memaksa anak buahnya untuk membawa kapal-kapal mereka ke Pulau Telaga Tujuh, terdengar sahut menyahut di tengah-tengah laut.Dengan pedang besarnya, Bahritunggang memerhatikan aksi Sondang Tiur yang bergerak dengan sangat cepat sehingga terlihat seperti kepulan asap putih, juga pada Puti Bungo Satangkai yang berada di dalam laut dengan kemampuan yang bisa mendatangkan pilar-pilar air.“Jadi, kalian dua gadis yang bukan sembarangan, hah?” gumamnya lalu menyeringai tipis seraya satu tangan mengusap selangkangannya. “Menarik. Kalian berdua sangat menarik!”Tengku Mangkas di ujung sana, cukup terkesima dengan kesaktian dua gadis tersebut. Keduanya seolah saling melengkapi satu sama lain dalam pertarungan itu.Si gadis Batak bertugas menjatuhkan para perompak di atas kapal-kapal mereka, dan si gadis Minanga pula bertugas menerjang dan menghancurkan kapal-kapal yang ada.‘Dan mereka bilang m
Dash!Whuuung!Bahritunggang menggeram marah sebab seseorang berhasil menahan ayunan pedangnya, bahkan hanya dengan tangan kosong saja.Sedangkan Puti Bungo Satangkai yang kemudian langsung merapal Menjejak Langit Menggenggam Awan berhasil menarik Sondang Tiur dari jarak jauh, lalu mereka jatuh bergulingan di geladak kapal.Keduanya bangkit dengan cepat, dan sama-sama menyadari kemunculan seorang pria yang memiliki tinggi tubuh yang hampir sama dengan Bahritunggang sendiri, besar, dan berotot pula.Bungo membelalak. ‘Antaguna! Antaguna!’ tapi lagi-lagi yang keluar dari mulutnya hanyalah suara ha-hu ha-hu saja.Sondang Tiur mengernyit. “Kau mengenal pria besar yang satu lagi itu?”Pria besar yang menahan pedang lebar Bahritunggang dengan menjepit bilah pedang di antara dua telapak tangannya itu bukan lain adalah Antaguna. Dia juga yang tadi muncul dan menyapa Tengku Mangkus.Saat dia mendengar suara si gadis bisu, Antaguna hanya tersenyum saja tanpa berani memandang balik padanya.“Kep
Angin tebasan pedang besar kembali menderu. Kali ini bahkan terlihat lebih menakutkan. Dan Antaguna dapat menghindari itu dengan melontarkan tubuhnya melewati laju angin tebasan, berputar-putar seperti kitiran sebelum menjejakkan kakinya kembali ke atap kabin.Tring! Tring!Pedang besar beradu dengan pedang kecil. Masing-masing saling menekan dan mencari celah untuk menghabisi nyawa yang satu terhadap lainnya.Pada satu kesempatan, Antaguna menjatuhkan tubuhnya dengan menyamping. Satu kakinya berhasil menyapu kaki Bahritunggang hingga pria besar itu menjadi limbung dan jatuh.Duakh!Dengan kaki lainnya, Antaguna berhasil menendang perut Bahritunggang dengan sangat keras sehingga membuat pria tersebut terpental jauh, lalu menubruk sisa tiang layar yang telah buntung, dan terhempas ke lantai.Tapi si pemimpin perompak sama sekali tidak terluka, dia bangkit dengan tawa halus yang menyebalkan.Antaguna mengernyit. “Apakah dia punya semacam ilmu kebal?” gumamnya.Lalu tatapannya tertuju pa
“Kau meremehkanku, bajingan!” Bahritunggang menggeram kencang.Swiing!Pedang lebar ia tebaskan secara datar, angin tajam menderu ganas pada Antaguna.Terlepas dari jurus si pemimpin perompak yang hampir sama dengan Memapas Gunung Membelah Bukit miliknya, Antaguna tidak ingin setengah-setengah. Dia mengerahkan tenaga dalamnya ke seluruh tubuh.Tenaga dalam dan kesaktian yang belum lama dia dapatkan dari Puti Champo, Ajian Tangan Malaikat. Dan seketika itu juga kedua tangan Antaguna seolah mengeluarkan cahaya, berpendar redup, putih kekuningan.Meski tanpa pedang besarnya sekalipun yang telah hancur di tangan Datuak Sani di Maninjau sebelumnya, Antaguna justru menggunakan kedua tangannya layaknya sepasang pedang.Crasssh!Dia menyilangkan tangannya di depan wajah, menahan ketajaman angin sabetan dari pedang lawan.Antaguna mengernyit, lalu menghentakkan kedua tangannya ke samping kiri dan kanan disertai teriakan lantang.Slassh!Dhumm! Dhumm!Angin tajam yang dilepas oleh Bahritunggang
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau