“Kau meremehkanku, bajingan!” Bahritunggang menggeram kencang.Swiing!Pedang lebar ia tebaskan secara datar, angin tajam menderu ganas pada Antaguna.Terlepas dari jurus si pemimpin perompak yang hampir sama dengan Memapas Gunung Membelah Bukit miliknya, Antaguna tidak ingin setengah-setengah. Dia mengerahkan tenaga dalamnya ke seluruh tubuh.Tenaga dalam dan kesaktian yang belum lama dia dapatkan dari Puti Champo, Ajian Tangan Malaikat. Dan seketika itu juga kedua tangan Antaguna seolah mengeluarkan cahaya, berpendar redup, putih kekuningan.Meski tanpa pedang besarnya sekalipun yang telah hancur di tangan Datuak Sani di Maninjau sebelumnya, Antaguna justru menggunakan kedua tangannya layaknya sepasang pedang.Crasssh!Dia menyilangkan tangannya di depan wajah, menahan ketajaman angin sabetan dari pedang lawan.Antaguna mengernyit, lalu menghentakkan kedua tangannya ke samping kiri dan kanan disertai teriakan lantang.Slassh!Dhumm! Dhumm!Angin tajam yang dilepas oleh Bahritunggang
Ayunan demi ayunan pedang besar di tangan Bahritunggang semakin lama hanya mengakibatkan kapalnya semakin hancur tak keruan.“Oh, aku akan mencincangmu dan memberikan dagingmu pada anjing jalanan, keparat!Wuush!Si pemimpin perompak melompat tinggi menyusul gerakan menghindar Antaguna dari tebasan angin tajam.Antaguna juga tak ingin selamanya menghindar. Lagi pula, geladak kapal besar itu sudah tidak punya satu apa pun untuk bisa ia jadikan penghalang. Bahkan dua tiang layar yang tersisa sebelumnya juga akhirnya tumbang tertebas serangan Bahritunggang.Jadi, begitu kakinya menjejak lantai kapal, Antaguna memutar tubuhnya dengan setengah merunduk, sekaligus dia menebaskan tangan kirinya secara mendatar, layaknya sedang menggunakan pedang.Wuush!Tidak hanya dengan tangan kiri, tangan kanannya juga ikut bergerak seolah melakukan gerakan menebas dari bawah ke atas dan menekuk ke belakang.Wuush!Swiing!Sondang Tiur yang memerhatikan pertarungan Antaguna dengan Bahritunggang mengernyit
Desgh! Desgh!Dua tinju saling beradu, mementalkan Antaguna ke belakang sembari berjumpalitan, menjejak lantai kapal, dan kembali melontarkan tubuhnya ke depan.Begitu juga yang terjadi kepada Bahritunggang, dia kembali melontarkan tubuhnya ke depan untuk menyongsong serangan Antaguna.Antaguna melesatkan tendangan kaki kanan, mengincar kepala Bahritunggang. Namun si pemimpin perompak dapat menghidari tendangan tersebut dengan memiringkan badannya ke kanan.Satu tendangan lainnya melesak seiring Antaguna memutar badannya.Teph!Bahritunggang justru sengaja memasang badan hingga tendangan kaki kiri lawannya mengenai perutnya, lalu dengan cepat dia menangkap kaki tersebut dengan dua tangan.Antaguna mengernyit sebab lawannya seperti tidak merasakan apa pun dengan tendangan yang dia lesatkan.Sementara Bahritunggang menyeringai. Dengan satu teriakan, dia memutar cengkeramannya di kaki Antaguna sedemikian rupa, dan itu memaksa Antaguna berputar.Duakh!Antaguna melenguh pendek ketika Bahr
Dua pria yang sama tinggi dan berbadan besar berotot kembali saling jual-beli serangan. Jika yang satu dengan cahaya putih kekuningannya yang lembut, maka yang seorang lainnya dengan cahaya merah membara yang sangat ganas.Lesatan-lesatan tenaga dalam atau dentuman-dentuman yang terjadi di sana-sini semakin memperparah keadaan kapal itu sendiri.“Bagaimana dengan pria yang satu lagi itu?” Sondang Tiur melirik si gadis bisu.Puti Bungo Satangkai menggeleng dengan menggerak-gerakkan tangannya. ‘Aku tidak pernah melihat ataupun mendengar jurus dan kesaktian yang dia punya.’“Yaah, aku juga sama …”Si gadis Batak mendesah pajang dengan pandangan kembali pada perkelahian antara Antaguna dan Bahritunggang.Mungkin Tengku Mangkus benar, pikirnya kemudian. Si kepala perompak itu mungkin tidak berasal dari Andalas ini. Tapi, siapa yang bisa tahu pasti dengan hal ini kecuali dia sendiri?Antaguna menghentakkan kakinya ke lantai kapal lalu menghantamkan dua tinjunya sekaligus. Begitu juga halnya
Di dalam kungkungan asap putih tebal, Bahritunggang menggembos lebih kuat lagi tenaga dalamnya hingga kobaran api semakin membesar menyelimuti tubuhnya, lalu membias dengan cepat ke segala arah.Dari tempatnya berdiri, Puti Bungo Satangkai melihat pedang-pedang cahaya yang sejatinya adalah lidah-lidah api dari tubuh si kepala perompak menembus ketebalan asap putih yang mengurungnya.Slash! Slash!Sondang Tiur bergerak ke sana kemari, meliuk-liuk indah laksana gerakan seekor ular demi menghindari pedang-pedang cahaya yang menembus asap putihnya.Bungo menyeringai tipis. Sekali dia bergerak, tubuhnya langsung menghilang dan diikuti oleh Karih Narako yang berdesing ke arah si kepala perompak.“Perempuan keparat!” Bahritunggang menghentakkan dua tangannya tinggi-tinggi.Swoosh!Kobaran api membesar seketika, lalu membias ke segala arah.Sayangnya, upaya si pemimpin perompak tidak membuat Sondang Tiur terluka sama sekali.Kungkungan asap putih tebal memang mampu dia sirnakan. Bahkan, denga
‘Apakah kau pernah mencoba memahami bagaimana perasaan orang tak berdosa yang kau bunuh dengan kejam? Setidaknya, sekali saja?’Puti Bungo Satangkai menatap nanar jasad si kepala perompak. Di memandang ke sekitar, di bagian dalam geladak kapal.‘Kapal ini sudah tidak bisa bertahan lagi!’Dengan kata lain, cepat atau lambat, kapal terakhir ini juga akan tenggelam pada akhirnya.Sang gadis lantas teringat akan Sondang Tiur dan juga Antaguna. Dia melompat lagi ke atas, melesat cepat ke arah sisi kiri kapal.Teriakannya yang tak jelas itu menggema, memanggil-manggil Sondang Tiur dan Antaguna.‘Tiur! Antaguna! Di mana kalian?’Dan ketika suara sang gadis berubah menjadi serak sebab berteriak lagi dan lagi, sesuatu muncul dari arah haluan kapal, melesat dari dalam air ke atas kapal tersebut.‘Tiur!’Bungo dengan segera menghampiri si gadis Batak yang ternyata menghilang untuk mencari Antaguna.Antaguna muntah-muntah dengan setengah merangkak di lantai kapal.“Hei!” Sondang Tiur tersenyum le
Beberapa hari kemudian, ketika Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur melintas di kawasan bernama Boekitkoeboe, di dekat sebuah sungai yang cukup besar yang langsung bermuara ke Teluk Ara, mereka memutuskan untuk beristirahat.Di sana, si gadis Batak berkata pada dua lainnya, “Sekarang ini, kita sudah berada di kawasan kekuasaan Toba Tua. Dan mungkin setelah ini, di sinilah perpisahan kita. Kalian akan meneruskan perjalanan ke arah tenggara untuk kembali ke Batang Kuantan, dan aku pula akan meneruskan perjalanan ke arah selatan untuk kembali ke Tinada.”‘Oh, Tiur …’ Bungo memeluk gadis tersebut dengan penuh kehangatan.Sondang Tiur tersenyum sembari membalas pelukan si gadis bisu, mengusap-usap punggungnya.Antaguna tersenyum senang dengan persahabatan kedua gadis tersebut yang belakangan dia ketahui bahwa Sondang Tiur bersaudara angkat dengan Bungo lewat persaudaraan orang tua mereka. Bahkan juga dengan Rajo Bungsu.‘Kupikir kau sebelumnya berkata hendak mengunjungi makam a
Dengan air mata yang menurui pipinya, Sondang Tiur berlutut di antara dua gundukan tanah dengan seikat bunga liar di tangannnya.Di samping kanannya, Puti Bungo Satangkai telah berlutut pula dengan segenggam bunga liar. Begitu juga dengan Antaguna di sisi kiri si gadis Batak.“Tulang …” Sondang Tiur terisak. “Maafkan aku. Maafkan bapakku yang tidak sempat untuk menjenguk makammu barang sekali. Tapi percayalah, Tulang. Aku dan keturunanmu tetap akan menjaga persahabat kalian, persaudaraan kalian. Aku … aku―”Si gadis Batak tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dia tertunduk dengan tubuh berguncang menahan tangis dan sesak di dalam dada.Bungo sendiri telah berlinang air mata. Dia menjulurkan tangan kirinya, mengusap-usap punggung si gadis Batak.“Bungo …”Keduanya saling berpelukan dalam isak tangis yang sulit untuk dijabarkan.Sementara Antaguna, dia meletakkan seikat bunga liar di gundukkan sebelah kiri. Lalu melirik kedua gadis yang masih saling berangkulan, menguatkan persahabatan
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau