“Apa yang telah terjadi di sini?” Sondang Tiur membelalak.Si gadis Batak lalu turun dari punggung kudanya. Begitu juga halnya dengan Puti Bungo Satangkai.Gubuk-gubuk warga yang hanya berjumlah belasan saja di kawasan itu telah luluh-lantak, rata dengan tanah. Sebagian bahkan hanya menyisakan tumpukan arang yang masih mengepulkan asap tipis.Beberapa tubuh bergeletakkan di banyak titik, semuanya dalam kondisi mengenaskan. Orang tua, dewasa, hingga anak-anak.Sondang Tiur mereguk ludah, menatap Bungo dengan kemarahan yang begitu nyata dari sorot matanya itu.‘Sesuatu telah membunuh penduduk di sini!’Si gadis Batak mengangguk. Dia mengajak Bungo untuk mencari-cari di sekitar sana, barangkali ada warga yang masih hidup atau setidaknya, selamat dari apa pun yang telah menyerang mereka sebelumnya.Kedua gadis itu tertegun ketika menemukan seseorang yang sepertinya selamat dari kematian, di sisi barat dari kawasan pantai tersebut.Seorang pria yang sudah sangat tua. Kumis dan jenggotnya b
Pria tua menghela napas dalam-dalam, tatapannya kembali ke tengah-tengah laut.“Apakah yang kalian maksud adalah Mangkus si orang Senoi itu?”Sondang Tiur melirik Puti Bungo Satangkai, dan di gadis bisu kemudian mengangguk, memastikan bahwa pemilik nama itulah yang hendak mereka temui.Akan tetapi, baik Bungo maupun Sondang Tiur sama sekali tidak tahu pria bernama Mangkus itu berasal dari suku apa. Mungkin dia memang dari Suku Senoi seperti yang dikatakan pria tua barusan.“Benar, Apa Tua.”“Aku tidak bisa melarang kalian untuk pergi ke pulau itu, kalian punya kaki dan tujuan sendiri.” Pria tua berbalik, melangkah pelan menuju satu gubuk yang telah roboh.Sondang Tiur kembali melirik pada Bungo, keduanya hanya bisa mengendikkan bahu.Yaah, pikir Bungo. Memang tidak mungkin untuk memaksa seseorang yang sedang dalam suasana berduka yang besar.“Hei!” Si gadis Batak berbisik pada si gadis Minanga. “Kupikir mungkin itu gubuknya.”Bungo mengernyit lalu menggerak-gerakkan tangannya. ‘Kau pi
“Oh, aku benci perjalanan laut!” Sondang Tiur memonyongkan bibirnya sedemikian rupa. “Ini membuat kepalu pening. Kau tahu itu? Bisa-bisa aku muntah di sampan ini.”Puti Bungo Satangkai hanya bisa tertawa-tawa menanggapi. Meski berkata demikian, si gadis Batak itu kenyataannya tidak muntah sama sekali. Entah dia sedang bergurau atau pula bersungguh-sungguh. Tapi yang pasti, mimik wajah dan tubuhnya itu sangat konyol, pikirnya.“Kau terbiasa dengan laut, hah?”Sondang Tiur menemukan bahwa si gadis bisu sangat piawai mendayung sampan. Bahkan, dia terkesan mendayung pelan dan hanya sesekali saja. Akan tetapi, sampan mereka melaju dengan cukup cepat, seolah didayung oleh sepuluh orang sekaligus.‘Aku tinggal di satu pulau terpencil,’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.“Pulau terpencil?” Sondang Tiur mengernyit. “Ahh … benar juga. Bodohnya aku.” Dia terkikik sendiri. “Padahal, Tulang Masuga sudah memberi tahu aku perihal dirimu. Astaga!” Sang gadis menepuk keningnya sendiri
Saat sang mentari telah berada di titik sepertiga awalnya di ufuk timur, Puti Bungo Satangkai dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Pulau Pusong atau Pulau Telaga Tujuh, di pantai bagian selatan pulau.Hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa pulau itu seperti tidak berpenghuni saja atau setidaknya, telah lama ditinggalkan entah oleh siapa pun yang pernah tinggal di sana.Dan si gadis bisu mulai meragukan hikayat tentang Aulia Tujuh yang pernah disinggung Sondang Tiur kepadanya sehari yang lalu.‘Lihat semak belukar ini! Rumpun mereka terlalu subur seolah tidak pernah terinjak kaki manusia.’Si gadis Batak menghela napas dalam-dalam. “Kita akan periksa lebih jauh. Tapi yang pasti, mari kita amankan terlebih dahulu sampan ini.”Meski sampan kecil itu terlihat berat, bagi keduanya itu terasa lebih ringan. Sampan kecil mereka simpan ke balik sebuah belukar sebelum akhirnya masuk lebih dalam ke belantara pulau.Lama mencari, mereka tidak menemukan sebarang gubuk pun, tidak pula tujuh tel
“Puluhan tahun,” Tengku Mangkus memerhatikan si gadis bisu di hadapannya. “Tidak pernah ada orang yang mengetahui bahwa aku memegang kelopak ketujuh Teratai Abadi. Lalu kini, kalian tiba-tiba muncul di sini dan menyinggung perihal benda itu. Katakan padaku, apa tujuan kalian sebenarnya?”“Tengku Mangkus!” Sondang Tiur melihat gelagat yang tidak baik dari pria paruh baya. “Tunggu sebentar. Jangan salah menyangka. Hei, Bungo, katakan sesuatu! Dan aku, aku baru mendengar tentang ini. Apa itu Teratai Abadi?”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam. Dari balik pakaiannya, dia mengeluarkan dua kelopak Teratai Abadi dan memperlihatkannya pada mereka, terutama pada Tengku Mangkus agar pria itu percaya kepadanya.“Dari siapa kau mendapatkan kedua kelopak itu?” Tengku Mangkus semakin menaruh curiga pada si gadis biru. “Jawab aku!”Bungo mahfum dengan sikap yang ditunjukkan oleh pria paruh baya padanya. Dia sama sekali tidak tersinggung.Toh, memang sudah menjadi kewajiban bagi si pria u
“Benar!” Tengku Mangkus menghela napas lebih dalam. “Aku melihat kalian berdua bukanlah gadis sembarangan. Jadi, mungkin aku akan bisa meminta bantuan kalian dengan apa yang sedang terjadi di kawasan ini.”Sondang Tiur memandang Puti Bungo Satangkai, keduanya saling mengangguk.“Apakah yang Tengku maksudkan itu tentang kejadian yang menimpa penduduk di desa seberang?” Si gadis Batak menunjuk ke arah selatan.Pria paruh baya mengangguk dan tertunduk, seolah sedang menekan rasa duka yang begitu besar.Bungo kembali memastikan ketika Sondang Tiur meliriknya. Lagi pula, dia ingin segera menuntaskan tugasnya di sini, lalu kembali ke Kerinci untuk mendapatkan kelopak kelima, mengantarkan semua kelopak yang telah dia dapat pada Rajo Bungsu si Batang Kuantan, dan kemudian menghilang dari Tanah Andalas ini.Jadi, apa pun syarat yang diberikan, Bungo berniat untuk menerima semua itu.Sondang Tiur memahami arti pandangan si gadis bisu dan juga mimik tubuhnya.“Baiklah, Tengku,” ujarnya. “Katakan
“Baiklah, baiklah!” Tengku Mangkus mendesah panjang.Bagaimanapun, membiarkan kedua gadis itu berhadapan dengan ratusan perompak sepertinya ini adalah sebuah gagasan buruk. Tapi semua sudah terlanjur, pikirnya. Lagi pula, dia sangat berharap bahwa kemampuan dua gadis itu melebihi apa yang dia duga.“Tapi berjanjilah padaku,” lanjutnya. “Jika keadaan tidak memungkinkan, tolong kembalilah. Jangan memaksakan diri kalian!”Puti Bungo Satangkai tersenyum dan mengangguk.“Ayo, Bungo!” Sondang Tiur mendahului si gadis bisu untuk menuju ke sampan yang tersembunyi di sisi kanan. “Kita habisi jahanam-jahanam itu!”Sementara Bungo dan Sondang Tiur perlahan-lahan menuju ke tengah laut dalam kegelapan, Tengku Mangkus berpindah dari balik batu karang besar itu ke satu dahan pohon yang cukup besar dan tinggi.Dari pijakannya sekarang ini, pria paruh baya dapat melihat sedikit lebih baik ke tengah-tengah laut.“Oh, Simpai Gilo … Kuharap aku tidak mencelakakan muridmu,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Jeritan kesakitan dan kematian bercampur baur dengan teriakan-teriakan dari Bahritunggang yang terus memaksa anak buahnya untuk membawa kapal-kapal mereka ke Pulau Telaga Tujuh, terdengar sahut menyahut di tengah-tengah laut.Dengan pedang besarnya, Bahritunggang memerhatikan aksi Sondang Tiur yang bergerak dengan sangat cepat sehingga terlihat seperti kepulan asap putih, juga pada Puti Bungo Satangkai yang berada di dalam laut dengan kemampuan yang bisa mendatangkan pilar-pilar air.“Jadi, kalian dua gadis yang bukan sembarangan, hah?” gumamnya lalu menyeringai tipis seraya satu tangan mengusap selangkangannya. “Menarik. Kalian berdua sangat menarik!”Tengku Mangkas di ujung sana, cukup terkesima dengan kesaktian dua gadis tersebut. Keduanya seolah saling melengkapi satu sama lain dalam pertarungan itu.Si gadis Batak bertugas menjatuhkan para perompak di atas kapal-kapal mereka, dan si gadis Minanga pula bertugas menerjang dan menghancurkan kapal-kapal yang ada.‘Dan mereka bilang m