Sudah Ayana katakan. Bahwa apa yang dirinya inginkan tidak bisa di sentuh sembarang orang. Terlebih itu berharga, akan terus Ayana kejar sampai dapat.Susunan rencana versi dirinya sudah berjalan. Pun begitu dengan milik Maha yang menjalankan biduknya. Nilainya akan Ayana anggap imbang: 1:1. Tinggal melihat siapa yang unggul di akhir.“Jadi memang beneran ada neng?”Itu pertanyaan—memastikan—yang sudah ke berapa kalinya. Dan Ayana hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Merasa muak, jelas. Orang-orang di sini tak bisa di sepelekan tapi Ayana terus memompa adrenalinnya. Masih ingat penyebab Ardika menceraikannya?“Di kota bu, semuanya bisa jadi mungkin. Apa yang kita anggap—di sini—biasa saja, nyatanya merusak. Ya kaya itu tadi. Masalah teman saya itu. Teman loh bu, otomatis paling dekat sama kita tapi malah yang paling nyakitin kita. Apa namanya kalau nggak nusuk?”Semuanya tentu terpancing. Nggak ada yang nggak ke makan sama omongan Ayana. Sejatinya, perempuan cantik itu memang ular.
Sore itu, Pulung harus terkikik menahan tawa. Bagaimana tidak? Pulang-pulang suaminya minta di manja. Pulung sih tidak keberatan. Tapi di sore hari main raba sana raba sini, kok rasanya kaya agak ehm gitu ya.Maka dari itu, Ardika yang mengabaikan titahan Pulung untuk mandi, ciumannya justru menggebu-gebu. Sedikit terburu tidak seperti biasanya. Seolah sedang ada yang di kejar—tentu kenikmatan. Pun Pulung ikuti arusnya. Toh, kapan lagi menyenangkan suami.Kali ini ada pembeda yang tak bisa Pulung jabarkan. Buaian Ardika pada titik sensitif tubuhnya membuat mulutnya bungkam. Sudah tersumpal ciuman masih di buat menggelinjang. Lebur sudah pengakusisian Ardika pada tubuhnya.“Kenapa buru-buru, sih?” Pulung baru bisa meraup oksigen untuk bisa bersuara. Semua fungsi tubuhnya mati total terseret alur permainan. Sekarang, jari-jari Ardika sungguh nakal melesak di antara pangkal pahanya yang membasah.Dan tidak ada jawaban yang ingin Pulung dengar selain kekehan. Senyum Ardika sungguh menawan
"Lo punya pandangan apa dalam memandang dunia?”Adalah Rambe yang datang-datang berceramah. Mengganggu jam tidur Ayana yang lelah selama perjalanan.“Ada cerita yang bisa lo kuak sesuka hati. Ada yang bisa lo pendam biar orang nggak tahu. Ada bagian dari daftar isi yang mesti lo rusak karena pengen adanya sebuah perubahan. Tapi…” Terdiam. Rambe lebarkan matanya menatapi gedung-gedung pencakar langit dengan nuansa lampu kerlap-kerlip. Sensasi lain yang tak pernah dirinya dapatkan selama ini. Ternyata, Jakarta di malam hari menyapa dini hari bisa seesensial ini. “Gimana lo ngelihat dunia selama tiga puluh enam tahun ini?”Rasa-rasanya Ayana belum pernah menceritakan semelankolis apa seorang Rambe. Lelaki itu tahu betul dasar-dasar menyentuh sanubari manusia lain untuk menarik perhatian. Atau membawanya masuk ke dalam cerita yang hendak Rambe jabarkan. Ayana suka namun tetap saja di perpaduan kurangnya tidur dan kepala yang pening itu terdengar menyebalkan.“Lo cuma perlu tahu sebuah cer
'Jangan mengutuk apapun dari masa lalumu.’Dante berdecih membaca sepenggal kalimat yang berbaris. Kalau bisa, Dante sangat ingin mengutuk siapa pemilik pena dalam selembar kertas ini. Masa lalu di ambil menjadi bagian cerita. Ya kali!Masa lalu hadir memang untuk di sesali—itu Dante dan pikiran pendeknya. Meski seorang mahasiswa pun, Dante selalu menilai segala sesuatu dari segala arah. Dan bukan simpulan yang baik untuk ia terapkan. Paling banter menghujatnya. Dante paling suka hal itu.‘Barangkali Tuhan mengirimkan seseorang hanya untuk menguji seberapa hebat kamu menjadi penyabar.’Menyebalkan sekali rasanya. Kebodohan macam apa ini? Seharusnya di tuntut saja agar tidak menabur dusta.Pertanyaannya: Masih perlukah cinta di harapkan?Selanjutnya, ‘hati baik sepertimu, tidak akan pernah dibiarkan Tuhan dipeluk dan dicintai oleh orang yang salah.’Halah basi! Kalau memang tidak jodoh, ya Dante paksakan agar berjodoh. Dengan Ardika misalnya. Karena apa? Karena Dante nggak mau hidup su
Yang Ayana abaikan bagian Rambe ingin memulai bersama dengan dirinya. Kalaupun ingin mengulang kisah pernikahan, hanya bersama Ardika puncak cintanya. Tidak dengan lelaki lain. Sudah cukup kearoganan di masa lalunya yang membawa petaka. Kini, Ayana inginkan hidup yang sebenar-benarnya hidup. Memiliki keluarga utuh. Membina rumah tangga yang tentram. Menua bersama pasangan dan Omi yang menjadi pegangan masa depannya.Karena Ayana mulai sadar. Kebohongan yang dulunya dilakukan nyatanya tak membawa dampak apapun selain menorehkan luka. Entah untuk dirinya, untuk Ardika dan terlebih untuk putrinya. Layaknya semua yang telah dirinya jalankan di masa lampau tak menghasilkan apa-apa selain sesal mendalam.Hidup… Ayana embuskan napasnya. Semilir angin siang hari memeluk wajahnya. Menjadi kebanggaan seseorang adalah hal tersulit. Harus bersembunyi dan menyembunyikan banyak hal karena takut mengecewakan. Harus pandai berpura-pura hebat untuk tetap baik-baik saja.Itu Ayana dan kehidupannya yang
Ada yang nenek sayangkan.”Bicara-bicara Maha kembali lagi mengunjungi sang nenek. Alasan rindu menjadi tema awal begitu memasuki pekarangan kedai yang merangkap rumah. Sang nenek tahu, bukan itu perkaranya. Meski demikian, ketimbang memprotes apa yang Maha lontarkan, lebih baik menghiburnya.Dan benar saja. Terlukis jelas di kelamnya mata Maha, sekelebat bayangan lampau menyeruak masuk. Yang kepalanya tengah di tidurkan dalam paha sang nenek. Dan elusan di kepala yang melenturkan urat-urat tegang di dahi Maha.Nenek ceritakan soal tindakannya yang dianggapnya lucu. Tawa dan umpatan saling mengisi. Keduanya terlihat klop dalam urusan berkata kasar.“Andai kita bertemu lebih awal. Nenek yakin semuanya menjadi lebih mudah atau setidaknya lebih baik begitu.”Senyum Maha terpancar. Belum ada keinginan untun merespon setelah tawanya mereda.Namun itu benar. Barusan terlintas di pikiran Maha jika seandainya dulu dirinya bertemu nenek lebih awal dari takdir yang telah menentukan. Atau buatla
Dulu, Pulung punya mimpi. Sederhana dan terbilang konyol pada usianya.Saat membantu ibunya yang sewaktu itu berjualan di depan rumahnya. Ada sepasang kekasih duduk bersua di ujung warungnya. Dua gelas kopi tersaji di hadapannya. Cerita-cerita yang mengalir dari bibir keduanya. Hujan sore hari menjadi latar pemandangan yang asri.Rintiknya tergambar pelan. Tidak deras juga tidak kencang. Jadi, ketika bertemu dengan atap rumah, sangat merdu menyapa rungu.Hingga Pulung terbuai oleh kisah pasangan romantis di umurnya yang masih kecil. Secuil doa tersemat di hatinya. Bahwa nanti, harapannya tidak muluk-muluk. Bisa memiliki seseorang yang membuatnya jatuh cinta sampai lupa caranya berpaling. Juga bisa Pulung ajak ke mana pun bahkan jika ke kedai kopi sekali pun. Untuk menikmati sensasi kopi yang pekat di temani obrolan-obrolan ringan seputar kehidupan.Mungkin akan sangat menyenangkan memiliki pasangan yang bersedia diajak berlama-lama bercerita di sana.Sampai di hari ini, Pulung duduk m
Seseorang mengatakan: ‘Setiap pertemuan akan membawa perpisahan. Setiap awalan akan ada akhiran.’Jadi, Pulung terdiam saja. Mulutnya kesulitan untuk berbicara. Hatinya juga bimbang untuk memutuskan. Begitu sampai rumah, duduk termenung kerjaannya. Memutuskan kesepakatan final untuk rumah tangganya di kala hati sedang gundah, akan membawa dampak tak baik di kemudian hari.Tapi, setelah semuanya terlihat begitu nyata, haruskah Pulung tetap bertahan?Itu menunjukkan seberapa bodoh dirinya, kan?Lantas jika bertahan, alasan apa yang hendak Pulung lontarkan?Naomi?Pasti kedengarannya konyol. Ya karena setelah Pulung terdepak dari sini akan ada ibu baru yang masuk. Jadi, ayo lanjutkan saja untuk berakhir. Tidak apa-apa usianya masih dini. Pun jika dilanjutkan akan percuma. Terlalu banyak perubahan yang Ardika lakukan dan hati Pulung kebas untuk sekadar bertahan.Yang menyakitkan hanyalah, posisi di mana Pulung belum bisa membawa serta keturunan asli darinya dan Ardika lebih dulu berpaling
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da