Maharaja tidak pernah tahu kenapa tubuhnya di bawa ke masa kini. Setelah sekian tahun tidak pernah bertandang, dengan sadar, kedua tungkainya sudah berdiri tegap di sini. Di depan bangunan serupa kedai yang menampilkan keramaian pelanggan. Dan ketika kedua maniknya bersirobok dengan mata tua yang menyorotkan kerinduan mendalam, Maha tahu bahwa ini saatnya melepas topeng yang melekat di wajahnya.Rasanya seperti … entahlah. Sulit untuk Maha jabarkan. Tapi keinginan memeluk tubuh ringkih yang sedang menepuki punggungnya sangat ingin Maha lakukan. Tidak peduli pada ocehan yang keluar dari bibir keriputnya. Maha lebih dari tahu bahwa wanita tua ini amatlah mencintai dirinya.“Kenapa baru datang. Bocah nakal.”Mulut adalah sumber api dan ucapan adalah bara. Itu yang selalu Maha sematkan pada wanita ini. Umurnya boleh saja sudah berabad, tapi tenaganya, jangan di ragukan. Maha bisa mengeluhkan sakit akan tepukan-tepukan yang berubah menjadi pukulan.“Maha sibuk nenek.”Begitulah jati diri M
Sudah Ayana katakan. Bahwa apa yang dirinya inginkan tidak bisa di sentuh sembarang orang. Terlebih itu berharga, akan terus Ayana kejar sampai dapat.Susunan rencana versi dirinya sudah berjalan. Pun begitu dengan milik Maha yang menjalankan biduknya. Nilainya akan Ayana anggap imbang: 1:1. Tinggal melihat siapa yang unggul di akhir.“Jadi memang beneran ada neng?”Itu pertanyaan—memastikan—yang sudah ke berapa kalinya. Dan Ayana hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Merasa muak, jelas. Orang-orang di sini tak bisa di sepelekan tapi Ayana terus memompa adrenalinnya. Masih ingat penyebab Ardika menceraikannya?“Di kota bu, semuanya bisa jadi mungkin. Apa yang kita anggap—di sini—biasa saja, nyatanya merusak. Ya kaya itu tadi. Masalah teman saya itu. Teman loh bu, otomatis paling dekat sama kita tapi malah yang paling nyakitin kita. Apa namanya kalau nggak nusuk?”Semuanya tentu terpancing. Nggak ada yang nggak ke makan sama omongan Ayana. Sejatinya, perempuan cantik itu memang ular.
Sore itu, Pulung harus terkikik menahan tawa. Bagaimana tidak? Pulang-pulang suaminya minta di manja. Pulung sih tidak keberatan. Tapi di sore hari main raba sana raba sini, kok rasanya kaya agak ehm gitu ya.Maka dari itu, Ardika yang mengabaikan titahan Pulung untuk mandi, ciumannya justru menggebu-gebu. Sedikit terburu tidak seperti biasanya. Seolah sedang ada yang di kejar—tentu kenikmatan. Pun Pulung ikuti arusnya. Toh, kapan lagi menyenangkan suami.Kali ini ada pembeda yang tak bisa Pulung jabarkan. Buaian Ardika pada titik sensitif tubuhnya membuat mulutnya bungkam. Sudah tersumpal ciuman masih di buat menggelinjang. Lebur sudah pengakusisian Ardika pada tubuhnya.“Kenapa buru-buru, sih?” Pulung baru bisa meraup oksigen untuk bisa bersuara. Semua fungsi tubuhnya mati total terseret alur permainan. Sekarang, jari-jari Ardika sungguh nakal melesak di antara pangkal pahanya yang membasah.Dan tidak ada jawaban yang ingin Pulung dengar selain kekehan. Senyum Ardika sungguh menawan
"Lo punya pandangan apa dalam memandang dunia?”Adalah Rambe yang datang-datang berceramah. Mengganggu jam tidur Ayana yang lelah selama perjalanan.“Ada cerita yang bisa lo kuak sesuka hati. Ada yang bisa lo pendam biar orang nggak tahu. Ada bagian dari daftar isi yang mesti lo rusak karena pengen adanya sebuah perubahan. Tapi…” Terdiam. Rambe lebarkan matanya menatapi gedung-gedung pencakar langit dengan nuansa lampu kerlap-kerlip. Sensasi lain yang tak pernah dirinya dapatkan selama ini. Ternyata, Jakarta di malam hari menyapa dini hari bisa seesensial ini. “Gimana lo ngelihat dunia selama tiga puluh enam tahun ini?”Rasa-rasanya Ayana belum pernah menceritakan semelankolis apa seorang Rambe. Lelaki itu tahu betul dasar-dasar menyentuh sanubari manusia lain untuk menarik perhatian. Atau membawanya masuk ke dalam cerita yang hendak Rambe jabarkan. Ayana suka namun tetap saja di perpaduan kurangnya tidur dan kepala yang pening itu terdengar menyebalkan.“Lo cuma perlu tahu sebuah cer
'Jangan mengutuk apapun dari masa lalumu.’Dante berdecih membaca sepenggal kalimat yang berbaris. Kalau bisa, Dante sangat ingin mengutuk siapa pemilik pena dalam selembar kertas ini. Masa lalu di ambil menjadi bagian cerita. Ya kali!Masa lalu hadir memang untuk di sesali—itu Dante dan pikiran pendeknya. Meski seorang mahasiswa pun, Dante selalu menilai segala sesuatu dari segala arah. Dan bukan simpulan yang baik untuk ia terapkan. Paling banter menghujatnya. Dante paling suka hal itu.‘Barangkali Tuhan mengirimkan seseorang hanya untuk menguji seberapa hebat kamu menjadi penyabar.’Menyebalkan sekali rasanya. Kebodohan macam apa ini? Seharusnya di tuntut saja agar tidak menabur dusta.Pertanyaannya: Masih perlukah cinta di harapkan?Selanjutnya, ‘hati baik sepertimu, tidak akan pernah dibiarkan Tuhan dipeluk dan dicintai oleh orang yang salah.’Halah basi! Kalau memang tidak jodoh, ya Dante paksakan agar berjodoh. Dengan Ardika misalnya. Karena apa? Karena Dante nggak mau hidup su
Yang Ayana abaikan bagian Rambe ingin memulai bersama dengan dirinya. Kalaupun ingin mengulang kisah pernikahan, hanya bersama Ardika puncak cintanya. Tidak dengan lelaki lain. Sudah cukup kearoganan di masa lalunya yang membawa petaka. Kini, Ayana inginkan hidup yang sebenar-benarnya hidup. Memiliki keluarga utuh. Membina rumah tangga yang tentram. Menua bersama pasangan dan Omi yang menjadi pegangan masa depannya.Karena Ayana mulai sadar. Kebohongan yang dulunya dilakukan nyatanya tak membawa dampak apapun selain menorehkan luka. Entah untuk dirinya, untuk Ardika dan terlebih untuk putrinya. Layaknya semua yang telah dirinya jalankan di masa lampau tak menghasilkan apa-apa selain sesal mendalam.Hidup… Ayana embuskan napasnya. Semilir angin siang hari memeluk wajahnya. Menjadi kebanggaan seseorang adalah hal tersulit. Harus bersembunyi dan menyembunyikan banyak hal karena takut mengecewakan. Harus pandai berpura-pura hebat untuk tetap baik-baik saja.Itu Ayana dan kehidupannya yang
Ada yang nenek sayangkan.”Bicara-bicara Maha kembali lagi mengunjungi sang nenek. Alasan rindu menjadi tema awal begitu memasuki pekarangan kedai yang merangkap rumah. Sang nenek tahu, bukan itu perkaranya. Meski demikian, ketimbang memprotes apa yang Maha lontarkan, lebih baik menghiburnya.Dan benar saja. Terlukis jelas di kelamnya mata Maha, sekelebat bayangan lampau menyeruak masuk. Yang kepalanya tengah di tidurkan dalam paha sang nenek. Dan elusan di kepala yang melenturkan urat-urat tegang di dahi Maha.Nenek ceritakan soal tindakannya yang dianggapnya lucu. Tawa dan umpatan saling mengisi. Keduanya terlihat klop dalam urusan berkata kasar.“Andai kita bertemu lebih awal. Nenek yakin semuanya menjadi lebih mudah atau setidaknya lebih baik begitu.”Senyum Maha terpancar. Belum ada keinginan untun merespon setelah tawanya mereda.Namun itu benar. Barusan terlintas di pikiran Maha jika seandainya dulu dirinya bertemu nenek lebih awal dari takdir yang telah menentukan. Atau buatla
Dulu, Pulung punya mimpi. Sederhana dan terbilang konyol pada usianya.Saat membantu ibunya yang sewaktu itu berjualan di depan rumahnya. Ada sepasang kekasih duduk bersua di ujung warungnya. Dua gelas kopi tersaji di hadapannya. Cerita-cerita yang mengalir dari bibir keduanya. Hujan sore hari menjadi latar pemandangan yang asri.Rintiknya tergambar pelan. Tidak deras juga tidak kencang. Jadi, ketika bertemu dengan atap rumah, sangat merdu menyapa rungu.Hingga Pulung terbuai oleh kisah pasangan romantis di umurnya yang masih kecil. Secuil doa tersemat di hatinya. Bahwa nanti, harapannya tidak muluk-muluk. Bisa memiliki seseorang yang membuatnya jatuh cinta sampai lupa caranya berpaling. Juga bisa Pulung ajak ke mana pun bahkan jika ke kedai kopi sekali pun. Untuk menikmati sensasi kopi yang pekat di temani obrolan-obrolan ringan seputar kehidupan.Mungkin akan sangat menyenangkan memiliki pasangan yang bersedia diajak berlama-lama bercerita di sana.Sampai di hari ini, Pulung duduk m