'Jangan mengutuk apapun dari masa lalumu.’Dante berdecih membaca sepenggal kalimat yang berbaris. Kalau bisa, Dante sangat ingin mengutuk siapa pemilik pena dalam selembar kertas ini. Masa lalu di ambil menjadi bagian cerita. Ya kali!Masa lalu hadir memang untuk di sesali—itu Dante dan pikiran pendeknya. Meski seorang mahasiswa pun, Dante selalu menilai segala sesuatu dari segala arah. Dan bukan simpulan yang baik untuk ia terapkan. Paling banter menghujatnya. Dante paling suka hal itu.‘Barangkali Tuhan mengirimkan seseorang hanya untuk menguji seberapa hebat kamu menjadi penyabar.’Menyebalkan sekali rasanya. Kebodohan macam apa ini? Seharusnya di tuntut saja agar tidak menabur dusta.Pertanyaannya: Masih perlukah cinta di harapkan?Selanjutnya, ‘hati baik sepertimu, tidak akan pernah dibiarkan Tuhan dipeluk dan dicintai oleh orang yang salah.’Halah basi! Kalau memang tidak jodoh, ya Dante paksakan agar berjodoh. Dengan Ardika misalnya. Karena apa? Karena Dante nggak mau hidup su
Yang Ayana abaikan bagian Rambe ingin memulai bersama dengan dirinya. Kalaupun ingin mengulang kisah pernikahan, hanya bersama Ardika puncak cintanya. Tidak dengan lelaki lain. Sudah cukup kearoganan di masa lalunya yang membawa petaka. Kini, Ayana inginkan hidup yang sebenar-benarnya hidup. Memiliki keluarga utuh. Membina rumah tangga yang tentram. Menua bersama pasangan dan Omi yang menjadi pegangan masa depannya.Karena Ayana mulai sadar. Kebohongan yang dulunya dilakukan nyatanya tak membawa dampak apapun selain menorehkan luka. Entah untuk dirinya, untuk Ardika dan terlebih untuk putrinya. Layaknya semua yang telah dirinya jalankan di masa lampau tak menghasilkan apa-apa selain sesal mendalam.Hidup… Ayana embuskan napasnya. Semilir angin siang hari memeluk wajahnya. Menjadi kebanggaan seseorang adalah hal tersulit. Harus bersembunyi dan menyembunyikan banyak hal karena takut mengecewakan. Harus pandai berpura-pura hebat untuk tetap baik-baik saja.Itu Ayana dan kehidupannya yang
Ada yang nenek sayangkan.”Bicara-bicara Maha kembali lagi mengunjungi sang nenek. Alasan rindu menjadi tema awal begitu memasuki pekarangan kedai yang merangkap rumah. Sang nenek tahu, bukan itu perkaranya. Meski demikian, ketimbang memprotes apa yang Maha lontarkan, lebih baik menghiburnya.Dan benar saja. Terlukis jelas di kelamnya mata Maha, sekelebat bayangan lampau menyeruak masuk. Yang kepalanya tengah di tidurkan dalam paha sang nenek. Dan elusan di kepala yang melenturkan urat-urat tegang di dahi Maha.Nenek ceritakan soal tindakannya yang dianggapnya lucu. Tawa dan umpatan saling mengisi. Keduanya terlihat klop dalam urusan berkata kasar.“Andai kita bertemu lebih awal. Nenek yakin semuanya menjadi lebih mudah atau setidaknya lebih baik begitu.”Senyum Maha terpancar. Belum ada keinginan untun merespon setelah tawanya mereda.Namun itu benar. Barusan terlintas di pikiran Maha jika seandainya dulu dirinya bertemu nenek lebih awal dari takdir yang telah menentukan. Atau buatla
Dulu, Pulung punya mimpi. Sederhana dan terbilang konyol pada usianya.Saat membantu ibunya yang sewaktu itu berjualan di depan rumahnya. Ada sepasang kekasih duduk bersua di ujung warungnya. Dua gelas kopi tersaji di hadapannya. Cerita-cerita yang mengalir dari bibir keduanya. Hujan sore hari menjadi latar pemandangan yang asri.Rintiknya tergambar pelan. Tidak deras juga tidak kencang. Jadi, ketika bertemu dengan atap rumah, sangat merdu menyapa rungu.Hingga Pulung terbuai oleh kisah pasangan romantis di umurnya yang masih kecil. Secuil doa tersemat di hatinya. Bahwa nanti, harapannya tidak muluk-muluk. Bisa memiliki seseorang yang membuatnya jatuh cinta sampai lupa caranya berpaling. Juga bisa Pulung ajak ke mana pun bahkan jika ke kedai kopi sekali pun. Untuk menikmati sensasi kopi yang pekat di temani obrolan-obrolan ringan seputar kehidupan.Mungkin akan sangat menyenangkan memiliki pasangan yang bersedia diajak berlama-lama bercerita di sana.Sampai di hari ini, Pulung duduk m
Seseorang mengatakan: ‘Setiap pertemuan akan membawa perpisahan. Setiap awalan akan ada akhiran.’Jadi, Pulung terdiam saja. Mulutnya kesulitan untuk berbicara. Hatinya juga bimbang untuk memutuskan. Begitu sampai rumah, duduk termenung kerjaannya. Memutuskan kesepakatan final untuk rumah tangganya di kala hati sedang gundah, akan membawa dampak tak baik di kemudian hari.Tapi, setelah semuanya terlihat begitu nyata, haruskah Pulung tetap bertahan?Itu menunjukkan seberapa bodoh dirinya, kan?Lantas jika bertahan, alasan apa yang hendak Pulung lontarkan?Naomi?Pasti kedengarannya konyol. Ya karena setelah Pulung terdepak dari sini akan ada ibu baru yang masuk. Jadi, ayo lanjutkan saja untuk berakhir. Tidak apa-apa usianya masih dini. Pun jika dilanjutkan akan percuma. Terlalu banyak perubahan yang Ardika lakukan dan hati Pulung kebas untuk sekadar bertahan.Yang menyakitkan hanyalah, posisi di mana Pulung belum bisa membawa serta keturunan asli darinya dan Ardika lebih dulu berpaling
Kisah ini belum berakhir seperti yang di bayangkan. Meski sang tokoh utama telah hengkang mencari kehidupannya yang baru. Ada tokoh lain yang tengah terpuruk dalam luka. Juga ada tokoh baru yang muncul mempertontonkan eksistensinya.Kehidupan di dunia ini berputar. Tidak hanya melulu pada satu titik untuk di jadikan sebagai fokus. Pun juga garus seimbang. Semua yang pernah memiliki akan merasakan kehilangan. Yang sedih akan menemukan bahagianya. Yang hancur akan ada saatnya untuk bangkit kembali. Bahkan hukum alam sudah menuliskan tiap-tiap karma dari perbuatan yang akan di balaskan.Bicara-bicara soal manusia. Skenarionya bisa sepanjang gerbong kereta atau malah lebih. Panjangnya jalan pun akan kalah dengan pembicaraan mengenai manusia. Karena manusia tidak bisa ditebak sama seperti kehidupan. Tidak bisa di prediksi sama sekali entah dalam segi tindakannya atau caranya berpikir. Atau dalam menentukan keputusan yang akan di ambilnya.Dan pandangan manusia yang sudah rumit sejak awal.
Pulung kira, keluar dari rumah Ardika hanya membawa barang-barangnya saja. Tanpa ada sisa yang dirinya ambil dari sana selain kenangan pendek yang cukup membekas di hatinya. Nyatanya ada keajaiban lain yang di bawanya serta. Ucapan syukur tak henti Pulung panjatkan. Rekahan senyum tak luntur barang semenit pun. Sehingga yang melihat pemandangan itu akan terheran dan menganggapnya aneh.Andai… seandainya Pulung sadar lebih awal, alangkah baiknya kabar ini bisa di bagi. Tapi kini, berhubung semuanya telah usai, berdua—dengan calon bayinya—melewati bahagia lebih dari cukup. Oh tidak. Tunggu. Ada Maharaja Askara yang turut serta berbahagia. Lelaki 30 tahun itu tak henti-hentinya meneteskan liquid beningnya. Katanya: ‘Ini terlalu membuncahkan relung hatinya.’Tangis Pulung pun pecah. Di kala perkataan Maha yang tidak memiliki status apapun dengannya selain sebagai sahabat. Memberinya ucapan selamat dan petuah untuknya menjaga sang jabang bayi. Mendadak, perpisahan yang terjadi hari itu ada
Sudah berbelanja. Membeli segala kebutuhan untuk memenuhi kulkas dan berkutat dengan dapur. Pulung cepol rambut panjangnya ala messy bun dan kemejanya di gulung hingga siku.Maha yang melihat pemandangan itu tak urung menghentikan aktivitas memasukkan buah dan sayur ke dalam kulkas. Matanya mengerling nakal dan menatap penuh minat. Kecantikan Pulung berkali-kali lipat atau memang biasa begitu kondisi seseorang yang tengah hamil muda?“Katanya mau cerita?”Lekas Maha alihkan kepalanya. Gugup menyerang mulutnya dan kaku di lehernya menjelaskan seberapa kotornya pikiran Maha membayangkan sesuatu hal terjadi antara dirinya dan Pulung.“Oh itu,” jawabnya canggung.“Iya yang soal analogi lucu.”“Oh.”Membuat Pulung membalikkan badan dan mendapati tubuh Maha yang menghadap kulkas. Terlihat, kedua tangan lelaki itu bergerak pelan menata semua belanjaan yang di plastik sesuai urutan. Buah dan sayur di bagian paling bawah. Lalu ayam, daging dan udang masuk ke freezer. Beberapa kotak susu dan ju