Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Tahun 2020 adalah tahun keterpurukan bagi seluruh manusia. Tidak satu atau dua negara yang merasakan dampaknya, hampir seluruh dunia merasakan. Merosotnya perekonomian yang tajam, angka pengangguran yang berjubel naik, kemiskinan yang tidak bisa di elakkan dan kasus-kasus lainnya yang ikut mendukung.Covid-19 menyapa Indonesia di bulan ketiga tahun ini—Maret. Bagi sebagian orang, mereka yang pegawai kantoran akan memanfatkan waktu work from home sebagai sarana mempererat tali keluarga atau mengganti waktu rodinya untuk bertukar cerita. Sedang bagi kaum bawahan, babu katakanlah begitu, akan menjerit tangis, legowo lan nerimo karena kehilangan pekerjaannya. Berusaha segigih apa pun, jika atasan sudah mencantumkan namanya masuk daftar di rumahkan, tetap saja say good bye.Pulung Narendra salah satunya. Perempuan berusia 26 tahun yang harus menghela napas berkali-kali. Ibu kota begitu kejam untuk dirinya yang hanya lulusan SMA. Sudah sangat beruntung baginya mengenyam pendidikan sampai SM
Pulung sudah sampai di kost mewah saudaranya. Semua keluh kesahnya terbagi sampai Dante menangis sesenggukan. Pagi ini, sebelum matahari manyapa bumi Jakarta, berita yang lagi-lagi merugikan semua kalangan bawah beredar. Tidak hanya kalangan bawah saja, semua yang masih berstatus sebagai buruh dan mendapat upah dari orang lain, tetap saja berimbas. Peraturan pemerintah yang keluar tidak mempunyai dampak keuntungan apapun. Terkesan carut-marut, terburu-buru meski selalu di sangkal bahwa keputusan itu sudah terbentuk sejak lama. Meski demikian, tidak bisakah negara memberi perlindungan yang selayaknya? Bukankah tertera jelas warga berhak mendapatkan hak-haknya? Jika sudah begini, akan lari kepada siapa kita?Seperti sudah tidak berlandaskan pada Pancasila. Sekali pun sisi negatif dan positif melaju menuju ranahnya. Nanti, usai pandemi ini, rombakan pemerintah kepada para buruh akan mulai di jalankan. Hanya saja, yang menjadi gejolak saat ini adalah kesan pengesahan yang tidak terbuka.
Naomi Aksara. Lahir lima tahun lalu yang telah menjelma menjadi bocah kecil lucu dengan gigi ompong di tengahnya. Persis seperti gerbang masuk. Rambutnya panjang, hitam legam, dengan ciptaan mata bulat sebening air kali. Pulung suka sekali dengan bocah ini. Bibirnya tipis sehingga ceriwis dan mengajukan banyak tanya. Beruntung, Pulung memiliki sejuta jawaban yang tak kalah mengejutkan."Kalau tante Pulung yang jadi mama aku, mau?"Kali ini jawaban model apapun takkan bisa Pulang berikan. Karena salah sedikit, tangisan yang Omi gemakan. Cara ampuh agar permintaannya terkabul. Jadi, hanya senyuman yang bisa Pulung perlihatkan."Ayo di makan.""Suapin." Rengeknya manja.Kata Ardika, putrinya mandiri. Makan dan mandi sendiri menjadi ritual Omi yang tak mau di ganggu siapa pun. Tapi—agaknya—itu tak berlaku ketika bocah itu berhadapan dengan Pulung. Buktinya, pagi-pagi sekali, ketika Pulung sedang mengaji, Omi mengunjungi kamarnya. Meminta di masakkan air panas untuk mandi plus di mandikan.
Sanggar tari yang Ardika janjikan malam harinya terlaksana di kunjungi. Berangkat setelah isak, kondisi jalanan kota Karawang tak jauh berbeda dengan Jakarta. Pengetatan peraturan yang tiap daerah ajukan menjadi kepatuhan tersendiri bagi beberapa lapisan masyarakat. Meski tidak sepenuhnya di jalankan dengan baik karena pekerja yang berseliweran di shift malam. Sebenarnya, keadaan ini masih cukup mengkhawatirkan. Mengingat demo penolakan RUU Cipta Kerja masih berlangsung. Sebaiknya pemerintah segera bertindak lebih tegas. Meski dampak negatif dan positif selalu ada. Tapi konyol tidak, sih, jika urutan pekerja asing bisa masuk ke Indonesia sedang lapangan pekerjaan naudzubillah untuk di cari?Setidaknya mempertimbangkan lebih matang keputusan ini atau dekati saja salah satu buruh pekerja yang kesulitan di masa ini.Tahun ini—Pulung tarik napasnya—sesak sekali rasanya. Cobaan silih berganti. Ujian yang menyapa tak beda dengan tagihan-tagihan rumah tangga setiap bulannya. 2020 banyak yan