Pulung sudah sampai di kost mewah saudaranya. Semua keluh kesahnya terbagi sampai Dante menangis sesenggukan. Pagi ini, sebelum matahari manyapa bumi Jakarta, berita yang lagi-lagi merugikan semua kalangan bawah beredar. Tidak hanya kalangan bawah saja, semua yang masih berstatus sebagai buruh dan mendapat upah dari orang lain, tetap saja berimbas.
Peraturan pemerintah yang keluar tidak mempunyai dampak keuntungan apapun. Terkesan carut-marut, terburu-buru meski selalu di sangkal bahwa keputusan itu sudah terbentuk sejak lama. Meski demikian, tidak bisakah negara memberi perlindungan yang selayaknya? Bukankah tertera jelas warga berhak mendapatkan hak-haknya? Jika sudah begini, akan lari kepada siapa kita?Seperti sudah tidak berlandaskan pada Pancasila. Sekali pun sisi negatif dan positif melaju menuju ranahnya. Nanti, usai pandemi ini, rombakan pemerintah kepada para buruh akan mulai di jalankan. Hanya saja, yang menjadi gejolak saat ini adalah kesan pengesahan yang tidak terbuka. Dan lagi, sangat di sayangkan terjadi kala kondisi menghimpit keluhan rakyat. Jelas, tidak ada lagi rasa percaya rakyat untuk pemerintah.Yang uluran tangannya sangat rakyat harapkan, justru mencekiknya. Yang berakad dengan sejuta janji, nyatanya mengkhianati. Mosi tidak percaya kembali beredar di media sosial. Trending teratas begitu Pulung berselancar.Embusan napasnya terdengar berat. Kepalanya berputar. Otaknya terperas agar bagaimana ekonomi keluarganya di kampung tertolong segera. Negara ini sedang tidak sehat. Negara ini sudah tidak bisa di jadikan harapan. Negara ini—yang katanya memiliki harga mati—bukan lagi tumpuan bagi tiap-tiap penghuninya."Teh ..." Pulung menoleh. Mendapati Dante dengan gaun tidurnya yang masih sama seperti dulu—doraemon. Di umur 20 tahunnya, Dante masih menyukai hal-hal berbau kartun dari jepang itu. "Kenapa nggak ke karawang saja. Teteh, kan bisa nari."Pulung hampir lupa akan keahlian dirinya semasa sekolah dulu. Di kampungnya, Pulung terkenal sebagai penari jaipong handal. Sejak kecil, sebelum menduduki bangku sekolah dasar, ibunya sudah mencekoki dirinya dengan berbagai gerakan tari."Aku dengar ada sanggar di sana. Bukan artinya aku nggak suka teteh di sini. Jujur aku senang. Pulang kerja malam menjelang dini hari dan ada yang nyambut aku, itu rasanya luar biasa banget.""Teteh ngerti Nte." Pulung merasa tidak enak juga jika harus menumpang terlalu lama. Rencana awalnya berada di Fatmawati untuk mencari pekerjaan. Di kawasan ini terdapat beberapa ruko mewah dengan gaji cukup fantastis. Meski hanya penjaga toko bahan."Di sini dengan keadaan kaya gini aku nggak menjamin teh." Dante ada benarnya. Negara ini sakit. Tidak pernah baik-baik saja atau kapan akan menunjukkan kesembuhannya? "Tapi kalau teteh nari, bisa juga masuk ke sanggarnya, perkumpulan di sana erat. Aku yakin, rejeki yang lain pasti bakal datang. Pabrik di sana juga lumayan."Tidak berpikir dua kali, Pulung setuju. Dante dengan semringah memeluknya."Aku bakal kangen banget sama teteh. Kita tuh lucu. Dekat tapi kaya jauhnya nyeberangi pulau."Hiperbola Dante sejak dulu selalu berlebihan. Tapi Pulung sayang sepupunya yang satu ini. Jiwanya mandiri. Sosoknya kuat. Bungsu lima bersaudara yang menjadi tumpuan keluarga tapi mampu menjajaki lantai perkuliahan. Hidupnya keras dan pekerjaannya... tidak ingin Pulung campur tangan. Itu hak Dante."Nanti aku hubungi teman aku yang di sana. Teteh tinggal saja di rumahnya. Dia punya anak kecil."***Sorenya Pulung bersiap. Dante tidak bisa mengantar karena jam kerjanya yang shift sore. Begitu taksi pesanannya tiba di stasiun menteng, KRL tujuan bekasi lekas Pulung masuki. Kondisi gerbong juga lengang lantaran protokol kesehatan yang membatasi jumlah penumpang. Dengan begitu, Pulung bisa duduk sembari memejamkan matanya.Sampai bekasi nanti akan ada yang menjemputnya. Dengan keadaan yang tidak ramai—stabil—KRL melaju dengan kecepatan rata-rata. Beberapa kali berhenti di stasiun. Penumpang naik juga turun.45 menit kemudian, tubuhnya sudah berdiri di stasiun bekasi. Tiba-tiba Pulung merasa loncatan waktu dalam hidupnya terasa dua kali lebih cepat. Kemarin dirinya masih di jakarta. Mengobrolkan banyak hal bersama Dante. Pagi tadi juga sama. Lalu siangnya tidak ada yang aneh. Dan sorenya sudah berubah.Pulung tarik napasnya. Embusannya gusar. Sirat matanya menelisik lebih dalam pada suasana ruangan. Tidak jauh berbeda dengan jakarta, bekasi juga sepi. Menggeret kopernya, secarik nama dan alamat Pulung genggam. Hingga baritone lembut menerka namanya."Teh Pulung?"Punggung Pulung menegang. Kepalanya kaku untuk sekedar menoleh."Saya Ardika. Biasa di panggil Ar." Kenalnya menjulurkan tangan. Yang secara cepat sudah berdiri di hadapan Pulung.Sejenak, Pulung tamatkan matanya dalam memandang. Lelaki bernama Ardika ini ganteng. Tubuhnya tegap tinggi. Rahangnya tegas. Garis wajahnya mendukung setiap pahatan yang ada di wajahnya."Ini anak saya. Omi, Naomi."Bahkan Pulung tidak sadar dengan adanya gadis kecil berambut panjang sepinggang yang Ardika gandeng. Umurnya—mungkin—sekitar empat atau lima tahun."Mama."Tentu Pulung terkejut. Kedua matanya melebar."Aduh sayang. Ini teman papa. Namanya tante Pulung. Ayo salim." Yang langsung menurut. Pulung terenyuh."Ah maaf," ucap Pulung mensejajarkan tinggi badannya dengan milik Omi. "Omi..." Pulung perhatikan sekali lagi. Tangannya tergerak membenarkan anak-anak rambut yang mencuat keluar dari ikatannya. "Sudah makan?"Dulu, sebelum menikah, Pulung bercita-cita memiliki satu anak perempuan dan satu anak lelaki. Sayangnya, usia pernikahannya yang hanya satu tahun belum memberinya amanah untuk dirinya di beri emban tanggungjawab perihal anak. Sampai surat talaknya melayang pun, yang paling Pulung sesalkan ialah tidak hadirnya anak dalam pernikahannya. Karena artikel lama menuliskan, 'ketika tua nanti, yang tersisa hanyalah anak.'Seharusnya Pulung bisa membawa anaknya ketika perpisahan terjadi. Kesepian dirinya tidak akan terlalu mencekam. Tapi Tuhan sangat adil. Ada Omi yang hadir tanpa bisa di duga."Sama papa tadi." Gigi tengahnya yang bolong Omi perlihatkan. Senyumnya manis banget. Sehingga tidak bisa menahan Pulung untuk tidak menciumnya."Ayo teh. Omi suka begitu.""Papa!" protesnya."Nggak apa-apa mas...""Ar saja teh. Biar lebih enak."Hari itu menjadi lembaran baru untuk Pulung. Meski dongkol di hatinya karena Dante tidak memberinya penjelasan soal jenis kelamin temannya—itu salah Pulung juga yang langsung setuju. Faktanya, isi pesan yang Dante kirimkan membuat Pulung melotot."Ini namanya janda ketemu duda atau duda ketemu janda. Selamat berbahagia teh."Duhh! Kenapa jadi begini."Saya sudah siapkan semua keperluan kamu selama di rumah. Tolong jangan sungkan. Dan kalau teteh nggak keberatan, saya pengen Omi di asuh sama teteh. Nanti kita bicarakan tentang gajinya.""Loh?" Pulung terkejut.Ardika tersenyum. "Dante nggak bilang sama teteh? Sudah saya duga." Tangannya memutar setir dan berbelok ke arah kanan. "Keseharian saya di proyek teh. Pekerjaan yang nggak mungkin saya bawa Omi.""Selama ini?" Pulung ingin tahu."Satu minggu ini saya bawa. Dan itu ribet banget. Saya takut kalau ada apa-apa sama Omi. Namanya proyek, kan teh. Banyak material.""Nggak ada pengasuh?"Kekehan Ardika meluncur. "Dia nggak gampang dekat sama orang teh." Yang Ardika lirik putrinya lewat kaca spion. Bibir mungilnya menyerocos pelan bersama boneka di tangannya. "Tapi sewaktu lihat foto teteh yang semalam, Omi langsung setuju buat teteh jagain dia.""Alhamdulillah kalau Omi suka.""Saya harap juga begitu teh."Naomi Aksara. Lahir lima tahun lalu yang telah menjelma menjadi bocah kecil lucu dengan gigi ompong di tengahnya. Persis seperti gerbang masuk. Rambutnya panjang, hitam legam, dengan ciptaan mata bulat sebening air kali. Pulung suka sekali dengan bocah ini. Bibirnya tipis sehingga ceriwis dan mengajukan banyak tanya. Beruntung, Pulung memiliki sejuta jawaban yang tak kalah mengejutkan."Kalau tante Pulung yang jadi mama aku, mau?"Kali ini jawaban model apapun takkan bisa Pulang berikan. Karena salah sedikit, tangisan yang Omi gemakan. Cara ampuh agar permintaannya terkabul. Jadi, hanya senyuman yang bisa Pulung perlihatkan."Ayo di makan.""Suapin." Rengeknya manja.Kata Ardika, putrinya mandiri. Makan dan mandi sendiri menjadi ritual Omi yang tak mau di ganggu siapa pun. Tapi—agaknya—itu tak berlaku ketika bocah itu berhadapan dengan Pulung. Buktinya, pagi-pagi sekali, ketika Pulung sedang mengaji, Omi mengunjungi kamarnya. Meminta di masakkan air panas untuk mandi plus di mandikan.
Sanggar tari yang Ardika janjikan malam harinya terlaksana di kunjungi. Berangkat setelah isak, kondisi jalanan kota Karawang tak jauh berbeda dengan Jakarta. Pengetatan peraturan yang tiap daerah ajukan menjadi kepatuhan tersendiri bagi beberapa lapisan masyarakat. Meski tidak sepenuhnya di jalankan dengan baik karena pekerja yang berseliweran di shift malam. Sebenarnya, keadaan ini masih cukup mengkhawatirkan. Mengingat demo penolakan RUU Cipta Kerja masih berlangsung. Sebaiknya pemerintah segera bertindak lebih tegas. Meski dampak negatif dan positif selalu ada. Tapi konyol tidak, sih, jika urutan pekerja asing bisa masuk ke Indonesia sedang lapangan pekerjaan naudzubillah untuk di cari?Setidaknya mempertimbangkan lebih matang keputusan ini atau dekati saja salah satu buruh pekerja yang kesulitan di masa ini.Tahun ini—Pulung tarik napasnya—sesak sekali rasanya. Cobaan silih berganti. Ujian yang menyapa tak beda dengan tagihan-tagihan rumah tangga setiap bulannya. 2020 banyak yan
Kita beralih ke sini.Lupakan soal demo. Lupakan soal carut-marutnya negara. Lupakan soal negara yang tidak stabil lagi berdirinya. Lupakan semua itu kita rehat sejenak bersama si tokoh cowok.Ardika Aksara namanya. Lelaki 35 tahun, duda beranak satu yang masih fresh segar bugar baik tubuh maupun wajah. Penampilan manlynya mendukung keseluruhan yang menjadi pelopor duren—duda keren. Tidak itu saja. Nilai plusnya adalah: pengusaha sukses yang melejit di kotanya, karawang. Pertanyaan yang di ajukan seperti ini: perempuan mana yang tidak menolak? Tidak ada! Hanya perempuan bodoh yang bisa menolaknya. Mendengar namanya saja sudah tentu membuat sebagian dari mereka kelonjotan. Apalagi di tatap secara langsung. Bisa ambyar berserakan itu jantung ke tanah.Faktor pendukung yang menjadikan Ardika paling di cari tidak hanya bentuk wajah dan tubuhnya. Tentu jaminan hidup enak seumur hidup selalu menjadi incaran perempuan di luar sana. Sayangnya, kualifikasi yang Ardika ajukan bukan hanya soa
Yang sangat bersemangat justru Naomi. Pagi-pagi sekali sebelum matahari menyinari bumi Karawang, racauannya perkara mandi dan pakaian yang ingin di kenakan memekakkan rungu Pulung. Tapi mau bagaimana pun, Pulung hanyalah pengasuh yang bertugas dan di gaji mengikuti keinginan sang tuan putri. Jadi, ketelatenan yang Pulung berikan, selembut mungkin dalam bertindak, sesering yang bisa bibirnya rekahkah senyum, ia lakukan. Dengan harapan, semua rejeki yang sedang di carinya berkah. Kembali mengingat topik keluarga yang mendasari motif semangatnya."Mama harus pakai baju yang sama kaya Omi."Mulai sekarang, pendengaran Pulung harus tebal. Dengan sengaja atau tidak panggilan itu Naomi serukan. Enak tidak enak, Pulung bawa santuy saja. Dasarnya, bocah selalu nggak mau di lawan. Like woman yang merasa benar terus. "Duhh, nggak punya Omi."Wajah cantiknya yang sudah Pulung poles dengan bedak bayi cemberut. Bukannya sangar malah lucu. Yang Pulung towel-towel pelan."Cantik-cantik ngambekan, ya
Pagi itu, datang kurir berseragam orange khas Indonesia. Jarum pendek belum tepat menyentuh angka enam tapi lelaki berkisar umur 45 tahun membunyikan bel di kediaman Ardika. Yang langsung di buka si empunya."Surat, pak," katanya ramah.Ardika terima. Melihat nama yang tertera di sana: Pulung."Terima kasih pak." Setelah Ardika torehkan tanda terima dan bergegas masuk kembali.Bersamaan dengan itu, Pulung melewatinya. Dengan pakaian tidurnya yang tidak mencolok tapi cukup mampu membuat Ardika menelan ludah. Setelah sekian tahun menduda, rasanya cukup aneh mendapati pemandangan lain di dalam rumahnya.Bermain dengan para wanita di luar sana bukan hal sulit untuk Ardika. Tapi Pulung?Kepala Ardika pening dadakan. Kedua matanya terpejam sekedar meredam degup jantungnya yang bertalu. Dalam batinnya bertanya: perasaan apa ini. Jika hanya sesaat yang dirinya rasakan karena napsu, doa dalam hatinya cukup kuatkan imannya saja. Tidak etis jika sampai tindakannya kepada Pulung melampaui batas.
Hal tercepat yang terjadi di dunia?Ada yang tahu?Begini, kamu tidak sadar kapan waktu tepatnya. Kamu juga tidak tahu kenapa bisa terjadi?Masih belum tahu jawabannya?Tck!Jatuh cinta.Itulah hal tercepat yang terjadi di dunia. Kamu tidak bisa memprediksi kapan tepatnya bisa terjadi pun kenapa bisa terjadi bahkan dengan siapa menjatuhkan pilihannya.Itu yang sedang Ardika rasakan saat ini. Setelah satu hari penuh otaknya diisi dengan Pulung, pulang-pulang justru jawaban ini yang dirinya temukan. Tapi apakah pantas?Ardika Aksara seorang anak tunggal merasakan jatuh cinta yang menurutnya waktu berjalan cepat. Dan sebagai seorang anak tunggal yang kesepian, Ardika tahu bahagianya jatuh cinta. Seperti makna: Siapa cepat dapat. Siapa tepat selamat.Tapi sayangnya, setiap jalan memiliki dua arah untuk berlawanan. Maka ada jatuh cinta, ada juga kesakitan lainnya. Jika di setiap pertemuan menghasilkan buih perpisahan di akhir. Maka pernikahan juga memuarakan perceraian. Setelah tidak lagi
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji suci yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda tangani. Pengucapan janji sakral sehidup semati yang sayang terhempas oleh satu surat cerai.Pulung tersenyum miris. Dunia ini memang kejam dan menjengkelkan. Permainan takdir yang berubah haluan secara mendadak hanya bisa Pulung katakan, kita bisa apa? Selain mengikuti derasnya arus, melawan bukan kehendak kita. Yang bisa kita lakukan hanya berjuang sampai akhir hayat.Namun malam ini—dirinya di lamar, kan? Meski tidak secara resmi atau romantis pada umumnya pasangan menyatakan cinta. Ardika Aksara meminta Pulung untuk menjadi ibu sambung Naomi. Yang tanpa Pulung tutupi eksistensi kekehannya membuat lelaki 35 tahun itu mengerutkan dahinya terang-terangan. Pasti heran."Perceraia
Saat hujan turun, orang bisa mengukur besar cinta yang mereka miliki. Bahkan ketika berbagi payung, pandangan manusia menjadi berbeda-beda dengan sudut lain. Mereka mampu melihat jelas betapa besar cinta yang di milikinya. Demikianlah cinta dan hujan saling terhubung satu sama lain.Hujan semalam mengalirkan kenangan yang mendadak berputar dalam pikiran Pulung. Sampai berat kedua matanya dan tertidur pulas di sofa balkon. Bangun-bangun sudah ada selimut hangat melingkupi tubuhnya.Di sambut kekuningan mentari yang belum terik, mata Pulung bercahaya terkena sinarnya. Suara Naomi di dalam rumah terdengar berdebat dengan papanya. Bocah lima tahun itu mulai ngeyel—begitu Ardika mengeluh. Tapi hebatnya, duda keren itu tidak marah. Malahan katanya, 'Saya suka Omi yang rewel ketimbang pendiam. Makasih buat teteh.'Ujungnya itu yang membuat Pulung tidak nyaman. Karena Omi berubah sejak kehadiran dirinya. Karena Omi terus-terusan memanggilnya mama seperti sekarang ini contohnya."Mama kenapa?"