Selalu ada sudut lain yang harus di pandang. Begitu juga dengan perjalanan hidup yang mesti di telusuri untuk bisa di berikan hujatan. Jadi, manusia tidak hanya berucap saja pada apa yang mendasari caciannya.Kebahagiaan itu di ciptakan. Semua orang juga tahu itu. Meski katanya tidak akan mati dan abadi, tapi tetap saja, tanpa menjaga semua itu akan luruh.Dan dua kata yang ingin Ayana helakan dalam embusan napasnya adalah hampir dan mampir. Itu untuk Ardika Aksara yang baru saja hengkang dari tempat duduknya. Meringis pilu, nyatanya Ayana sadar jika dirinya bahkan namanya sudah terhapus lama dari hidup Ardika. Faktanya, lelaki itu pergi tanpa mau melihat wajahnya. Tidak sama seperti dulu ketika kebersamaan rajutan cinta terjalin.Ayana sadar diri. Maka untuk dua kata di atas yang tepat hanyalah pernah bersama meski tidak lama mampir. Sudah begitu saja. Karena semua itu bermula dari dirinya yang memberikan kekecewaan pada realita di hidup Ardika. Tapi Ayana tidak kalut mengingat saat-
Sejak dulu Maharaja Askara selalu berulah.Tidak tahu saja kenapa lelaki 30 tahun itu berbuat demikian. Yang terlihat di mata orang lain hanyalah sikapnya yang negatif tidak patut di contoh. Kecuali ketampanan wajahnya yang menjadi pendukung.Kali ini pun ada ulah yang sudah Maha perbuat. Membuat geger seisi lantai di apartemen mewahnya yang tengah pulas tertidur. Jakarta di waktu pagi dan musim hujan serta pandemi Covid-19 yang mendukung membuat sebagian pegawai melakukan tugasnya secara daring. Segala aktivitas dilakukan di dalam rumah atau bekennya work from home."Ya terus?" Maha mainkan kuku-kuku jarinya tanpa mengindahkan tangisan perempuan di depannya.Wajahnya yang tampan tak mengusik sebagian penghuni apartemen. Di perhatikan begitu pun Maha tenang dan santai sekali."Nikahi aku lah!"Nikah embahmu! Maha mendengus. Memalingkan wajah hendak menutup pintu tapi tertahan."Kamu jangan seenak jidat gini dong! Masa mau enaknya doang giliran kebobolan langsung ngacir."Terus salah g
Usai berseteru dengan papanya, Maha putuskan untuk menggali lebih dalam nyalinya.Jadi, setelah mendeklarasi dirinya yang tahan banting akan kemampuan dalam bertahan, Maha jejakkan kedua tungkainya di sini. Di bangunan megah yang cukup membuatnya tersenyum miring, berdecak kagum tapi raut mengejek tak di tutupi.Beberapa jam yang lalu papanya berdalih begini:"Papa juga bertahan. Belajar menjadi orangtua adil untuk kamu dan kakakmu." Hei! Siapa yang percaya? Maha saja membalas dengan dengkusan. "Papa serius Maha.""Aku pun. Di mana mama?"Dan papanya selalu mengalihkan topik. "Selama ini kamu pasti beranggapan papa kejam. Orangtua tunggal yang tidak berperasaan membiarkan kamu bekerja keras sendiri. Tapi papa nggak punya pilihan. Cuma satu yang harus papa lakukan ketika rasa itu muncul: menjaga kamu tapi kalah dalam berperang.""Ayolah pa. Ini bukan perang dunia III yang berlandaskan ketidakharmonisan orangtua dan anak.""Itu faktanya. Ada takdir dan nasib yang berjalan untuk masing-
Karena pekatnya kopi lebih kental dari beningnya gula. Tidak ada kisah yang tertuang indah di dalamnya. Pun dengan gula dan kopi yang selalu di selaraskan. Faktanya, pahit yang tertinggal—sebanyak apapun takaran gulanya—menjadi cita rasa khas kopi. Sama halnya dengan Pulung yang mencoba menerima kenyataan. Menjadi janda di usia muda, pada pernikahannya yang genap satu tahun. Pulung memiliki prinsip enggan meratapi nasibnya. Memang apa salahnya dengan janda?Masyarakat menilai itu tabu. Padahal hanya pilihan itu yang di jadikan jalan akhirnya. Memang, perceraian bukan satu-satunya solusi terbaik selain meninggalkan trauma. Tapi Pulung bukan perempuan drama yang suka memohon untuk di pertahankan. Ketika suaminya memilih pergi, maka Pulung akan lepaskan. Tidak peduli sebesar apa rasa penasarannya.Kini, setelah mendapat penjelasan dari Ardika, Pulung paham kenapa pernikahannya berakhir. Ekonomi hanya alasan. Yang memukul harga dirinya adalah kesetaraan Pulung yang tidak sepadan dengan k
“Papa serius?” Naomi heboh. Ardika mengangguk. “Nggak bohong, kan?” Ardika mencebik kesal. “Nggak boleh marah sama anaknya.”Matilah. Anaknya semakin di depan saja soal omongan. “Papa serius Omi.” Bersorak girang. Anggukan Ardika tidak lebih jelas dari suaranya. Dan begitu saja langsung hengkang yang sejak tadi gelibet di kamar Ardika.“Omi mau es krim.”“Lainnya.”“Es krim Papa.”“Pakai syarat.”“Apa?” Matanya mengerjap lucu. Ardika terkekeh.“Belajar narinya lebih giat lagi.”“Oke.”Sudah begitu saja? Napas Ardika berembus kesal. Anaknya itu akrobat dari mana ketika jebrol model begitu. Seingatnya dulu gaya bercintanya dengan Ayana biasa saja. Tidak pakai model yang kekinian. Penting jadi. Berat sekali. Ardika jadi teringat zaman mencintai Ayana dulu. Tidak mudah karena terpisah jarak. Waktu bertemu juga terbatas. Tentu Ardika terus-terusan menyatakan cinta. Sebelum terlambat dan berakhir dengan kekecewaan.Tapi, manusia memang banyak berharapnya. Ardika tidak kecewa di awal melai
Maha pernah di tanyai perihal impian. Dan yang menjawab secara detail hanya wajahnya yang datar. Pikirnya, di umurnya yang sudah matang—30 tahun—tidak muluk-muluk tentang impian. Cukup menjadi bahagia versi dirinya sudah lebih dari cukup.Tapi ketika kedua kakinya menapaki aula hotel yang megah. Tamu undangan terbatas. Kedua matanya kosong. Pancaran wajahnya redup. Maha tahu, dirinya tidak baik-baik saja.Pagi ini, di sambut gerimis awet mengguyur Jakarta. Dan menempuh jarak ke karawang, Maha butuh ruangan bernapas. Dunia tidak seadil ini untuk perjalanan hidupnya. Terlahir hanya dengan papanya tanpa tahu siapa mamanya. Seperti apa rupanya. Bagaimana hangatnya pelukan mama. Senangnya di sambut, di beri ucapan, di puji karena berhasil dan menikmati masakan tangan mamanya. Tidak sekali pun Maha dapatkan.Begitu dewasa, melemparkan kesakitannya, Maha badung. Mabuk, mencari penghangat ranjang, membawa wanita mana pun untuk bisa dirinya lampiaskan kebejatannya. Sekarang Maha tahu maksud
Ini malam pertama milik Ardika dan Pulung.Usai resepsi yang diadakan keduanya, pulang ke rumah yang setiap harinya di tempati adalah pilihan. Naomi sudah tertidur pulas dalam pangkuan Pulung. Dengkuran halusnya terdengar. Gaunnya tidak serapi pagi tadi. Dan langit gelap disertai gerimis masih berjalan. Di luar, jalanan basah. Sehingga lalu lintas yang seharusnya lengang menjadi padat. Gesekan ban dengan aspal basah melajukan mobil pelan.Senyum Ardika terus tercetak. Kedua matanya memantau dua arah—depan dan belakang—lewat spion tengah. Rasanya bahagia sekali. Pertama kalinya dalam hidup setelah lima tahun menduda, debaran dadanya kembali. Yang Ardika pikir telah selesai, ternyata ini awal baru untuk memulai. Hidupnya. Masa depannya. Dan cintanya.Telah Ardika tetapkan hatinya. Berpegang teguh pada masa lalunya untuk tidak masuk ke lubang yang sama dan menatap Pulung dengan jelas. Cerminan kegagalan terus dirinya anut agar sama-sama berhasil dalam membina.Lantas, apa arti Pulung un
Maha sadar, hidupnya tidak semudah anggapan orang-orang. Terutama momen seorang anak yang membutuhkan orangtuanya lebih dari yang dirinya kira. Misalnya, saat pertama kali anak berjalan. Siapa yang paling tersentuh melihat kita bangun dan bisa berjalan sendiri?Kekehan Maha mengudara. Meski tidak terlalu keras, nyatanya bersedih bisa dirinya rasakan. Itu tidak buruk karena Maha menyimpannya sendiri. Bukan hal yang memalukan mengetahui dirinya tidak baik-baik saja sampai ingin mabuk sampai tertidur.Tapi, hingga fajar menyingsing pun, kedua matanya tetap terjaga. Berbotol-botol alkohol telah kosong berpindah tempat ke lambungnya. Kedua pipinya sudah Maha rasakan sengatan panas. Pun dengan permukaan wajahnya yang memerah. Percuma sekali merenungkan hidupnya sepanjang malam dengan alkohol tapi tidak tumbang. Ingin Maha tertawakan dirinya sendiri. Meyakini sisa-sisa sesal yang menaungi jiwanya pun dengan rasa percaya yang pernah tertanam. Bahwa Tuhan tidak pernah salah menempatkan cinta