Maha pernah di tanyai perihal impian. Dan yang menjawab secara detail hanya wajahnya yang datar. Pikirnya, di umurnya yang sudah matang—30 tahun—tidak muluk-muluk tentang impian. Cukup menjadi bahagia versi dirinya sudah lebih dari cukup.Tapi ketika kedua kakinya menapaki aula hotel yang megah. Tamu undangan terbatas. Kedua matanya kosong. Pancaran wajahnya redup. Maha tahu, dirinya tidak baik-baik saja.Pagi ini, di sambut gerimis awet mengguyur Jakarta. Dan menempuh jarak ke karawang, Maha butuh ruangan bernapas. Dunia tidak seadil ini untuk perjalanan hidupnya. Terlahir hanya dengan papanya tanpa tahu siapa mamanya. Seperti apa rupanya. Bagaimana hangatnya pelukan mama. Senangnya di sambut, di beri ucapan, di puji karena berhasil dan menikmati masakan tangan mamanya. Tidak sekali pun Maha dapatkan.Begitu dewasa, melemparkan kesakitannya, Maha badung. Mabuk, mencari penghangat ranjang, membawa wanita mana pun untuk bisa dirinya lampiaskan kebejatannya. Sekarang Maha tahu maksud
Ini malam pertama milik Ardika dan Pulung.Usai resepsi yang diadakan keduanya, pulang ke rumah yang setiap harinya di tempati adalah pilihan. Naomi sudah tertidur pulas dalam pangkuan Pulung. Dengkuran halusnya terdengar. Gaunnya tidak serapi pagi tadi. Dan langit gelap disertai gerimis masih berjalan. Di luar, jalanan basah. Sehingga lalu lintas yang seharusnya lengang menjadi padat. Gesekan ban dengan aspal basah melajukan mobil pelan.Senyum Ardika terus tercetak. Kedua matanya memantau dua arah—depan dan belakang—lewat spion tengah. Rasanya bahagia sekali. Pertama kalinya dalam hidup setelah lima tahun menduda, debaran dadanya kembali. Yang Ardika pikir telah selesai, ternyata ini awal baru untuk memulai. Hidupnya. Masa depannya. Dan cintanya.Telah Ardika tetapkan hatinya. Berpegang teguh pada masa lalunya untuk tidak masuk ke lubang yang sama dan menatap Pulung dengan jelas. Cerminan kegagalan terus dirinya anut agar sama-sama berhasil dalam membina.Lantas, apa arti Pulung un
Maha sadar, hidupnya tidak semudah anggapan orang-orang. Terutama momen seorang anak yang membutuhkan orangtuanya lebih dari yang dirinya kira. Misalnya, saat pertama kali anak berjalan. Siapa yang paling tersentuh melihat kita bangun dan bisa berjalan sendiri?Kekehan Maha mengudara. Meski tidak terlalu keras, nyatanya bersedih bisa dirinya rasakan. Itu tidak buruk karena Maha menyimpannya sendiri. Bukan hal yang memalukan mengetahui dirinya tidak baik-baik saja sampai ingin mabuk sampai tertidur.Tapi, hingga fajar menyingsing pun, kedua matanya tetap terjaga. Berbotol-botol alkohol telah kosong berpindah tempat ke lambungnya. Kedua pipinya sudah Maha rasakan sengatan panas. Pun dengan permukaan wajahnya yang memerah. Percuma sekali merenungkan hidupnya sepanjang malam dengan alkohol tapi tidak tumbang. Ingin Maha tertawakan dirinya sendiri. Meyakini sisa-sisa sesal yang menaungi jiwanya pun dengan rasa percaya yang pernah tertanam. Bahwa Tuhan tidak pernah salah menempatkan cinta
Cinta bagi sebagian orang memiliki gambaran sebuah penerimaan yang menjadikan ikatan sah di dalamnya. Cinta dalam pernikahan tentu berbeda makna dengan cinta yang sebelumnya. Dalam pernikahan, gelora mencinta berbeda. Tertimbun oleh masalah silih berganti dan percekcokan yang tidak berkesudahan. Lain halnya dengan cinta sebelum keterikatan pernikahan menjerat. Percikan panas yang terciprat mampu meletupkan sejuta elemen untuk terus merongrong hingga terjadi pemujaan.Namun demikian, ikatan pernikahan tidak bisa membuyarkan goyahan cinta yang menyapa. Sama halnya dengan Hesa Ardika. Di usia pernikahannya yang menginjak angka enam dan berbuntut satu—Ardika Aksara berusia lima tahun—godaan rumah tangganya menyapa.Hesa di ombang-ambingkan pada pesona wanita secantik Diana Patih. Perempuan muda asal Bandung penari jaipong yang merantau ke Jakarta. Parasnya ayu, rambutnya panjang hitam legam. Tubuhnya langsing tinggi proposonal. Lelaki pada masanya—kala itu—sangat mengejar-ngejar Diana sam
Ayana tidak tahu sejak kapan menguntit menjadi kegiatan barunya. Aktivitasnya hanya duduk di balik kemudi mobil hitamnya dengan mata tertutup kaca mata dan mengarah ke satu titik. Di mana tubuh kecil Naomi bisa Ayana pandangi puas-puas tanpa takut ketahuan. Melihat senyum rekah dari bibir putri kecilnya … Ayana merasa apakah pantas disebut putri? Sedang dirinya tidak hadir di momen Naomi tumbuh berkembang. Atau pada masa berdiri dari duduknya dan berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain. Seharusnya Ayana berada di sana agar bahagia membuncah. Tapi Ayana egois. Patut sesalnya menggelayuti.Andai ada kesempatan dalam memilih, Ayana ingin memiliki satu langkah untuk memulai dari awal. Mengisi hidupnya dengan yang pertama dan terakhir. Langkah pertamanya yaitu piknik. Langkah kedua dan untuk yang terakhir kali ialah cinta pertamanya. Ayana ingin menghentikan waktu untuk bisa kembali ke masa lampaunya meski tak pernah terjadi.Setiap orang hidup dengan ingatan mereka yang menyakitkan. Tid
Mulut Mahar kejam.Berucap tanpa tulang, lidahnya lancar mengumpat. Membuat Ayana bersitatap tegang. Perempuan setengah mabuk itu berdecih. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya merah padam. Tapi demikian, perlakuan Mahar demi kebaikan. Bosan—boleh saya di katakan begitu. Siapa pun orangnya di keluhkan pada kubangan masa lalu akan merasa kenyang.Namun Ayana seolah mendoktrin diri bahwa masa lalunya akan selalu buruk sehingga masa depannya yang putih telah tercemar pekatnya hitam. Entah bagaimana lagi taktik Mahar agar perempuan setengah gilanya kembali waras. Ke jalur yang semestinya paling tidak seperempat otaknya.Mahar pun punya sisi lain di dirinya yang tidak tersentuh. Meski terlihat welcome pada semua orang. Mahar adalah lelaki pemendam. Sudah tentu bisa di simpulkan seperti apa perjalanan hidupnya. Di lalui sepi dan hampa.Walau begitu, Mahar percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Meskipun di setiap harinya—ketika kedua matanya terbuka—ia tahu sesuatu yang buruk terjadi. Tapi tidak
Bumerang yang sesungguhnya sedang di letupkan. Hanya tentara perang—ksatria sesungguhnya—berani berjalan di ladang ranjau. Tokoh lain—yang baru—sedang Maha ciptakan. Mata bengisnya tajam menelisik. Maha bukan lelaki kejam yang suka menindas orang lain. Namun masa kecilnya yang pernah menjadi korban perundungan, kekuasaan yang saat ini tengah dirinya genggam memunculkan sisi iblisnya.Pikirnya, jika dengan menghancurkan Ardika Aksara adalah jalan terbaik mendapatkan Pulung, maka senjatanya ada di hadapannya kini. Yang membalas mata elang Maha tanpa gurat takut yang terpancar. Yang menyeringaikan seujung bibir kanannya—entah mengapa Maha suka. Seolah ingin mencicipi dosa yang sudah dirinya tinggalkan.“Lupakan saja lah.” Tangan Maha mengibas. Jarinya bertopang dagu. Alis tampannya berkerut. “Coba lo tanya ke diri sendiri. Hari ini—mungkin—lo baik-baik saja. Esok ketika lo terbangun, masih dengan tanya yang sama. Yakin lo nggak apa-apa? Munafik semisal ‘ya’.”Dante benci bertatap muka de
Sebelum bertindak, ada baiknya pikirkan lagi keputusan apa yang hendak di ambil. Pikirkan lagi, apakah menguntungkan atau malah merugikan. Pikirkan lagi, sebanyak apa orang yang menjadi bidik sasaranmu adalah yang paling tepat. Atau akan meninggalkan sesal di ujung dadamu. Lagi pula, istilah sederhananya begini: ketika kamu meninggalkan seseorang, bisakah seseorang yang menjadi pilihanmu mengerti, memahami bahkan mencintaimu selayaknya sebelum ini? Mampu berkorban sebanyak yang bisa dilakukan seperti sebelumnya. Ingatlah, tidak mudah membuka diri kembali dan belum tentu ada yang bisa memahami kita seperti yang sebelumnya.Ardika juga berpikir tentang itu.Pagi ini setelah mengantar anak dan istri ke sanggar tari, pekerjaan yang longgar menyita lamunan. Benaknya menari-nari pada apa yang putrinya sampaikan. Sehingga Ardika menebak-nebak: mungkinkah?Pasti tidak pasti. Jika kakinya sudah menginjak di area rumahnya artinya ucapan Maha ada benarnya. Dan ketika Ardika temukan faktanya nant